Keempat puluh orang terpilih itu sudah berkumpul, senjata, kuda telah disiapkan, kemudian Senapati membagi-bagikan uang dan perhiasan kepada keempat puluh orang pasukan Khusus. Bagi yang menerima sangat senang sekali karena mendapat harta yang cukup banyak. Bagi Senapati ing Ngalaga itu sebagai dana krama (danakrama=membeli jiwa) .
Dalam hatinya, mereka sudah dapat menduganya ;” inilah harga sebuah kepala kami untuk dipersembahkan pada pemimpin kami, tetapi semoga Hyang Widi memberikan keselamatan ”serentak menyampaikan sembah sebagai penghormatan terakhir. Keempat puluh pasukan khusus dari Mataram melesat kearah utara menerobos Krendhawahana dan mendahului pasukan Pajang menunggu di seputar wilayah Kedu. (Lama perjalanan dari Pajang tidak diceritakan).
Ketika sampai di desa Jatijajar lereng barat gunung Merapi, pasukan berkuda dari bumi Mataram bertemu dengan rombongan pengawal terpidana Tumenggung Mayang. Pasukan pengawal Tumenggung Mayang yang ada di depan diterjang pasukan dari Mataram menjadi bubar.
40 orang pasukan berkuda dari Mataram, merupakan orang-orang yang yang telah terbiasa melakukan pertempuran, dan tanpa rasa takut. Pengawal yang berjumlah seribu orang karena memang tidak dipersiapkan dari awal untuk bertempur, maka ketika mendapat serangan mendadak, tak bisa berbuat banyak.
Pasukan dari bumi Mataram setelah mengetahui sasarannya, yakni seorang lelaki yang diikat kedua tangannya, jelas bahwa itulah yang harus diamankan. Maka empat puluh orang berkuda menerjang ke depan Tumenggung Mayang ditarik keatas kudanya dan dibawa kabur kearah selatan, dan diikuti oleh teman-temannya yang lain.
Pajang menyerbu Mataram
Pasukan dari Pajang sudah kocar-kacir, ada yang luka, kemudian semua kembali kearah semula melaporkan kejadiannya ke Sultan Pajang. Semua peristiwa yang terjadi di desa Jatijajar dilaporkan kepada Sultan Pajang.
“ pejah gesang katura Gusti Nata, tiwas rumeksèng dasih pun Tumenggung Mayang, rinebat ing dusun Jatijajar déning tiyang kawandasa cacahipun saking Mataram “ ( hidup mati hamba kami srahkan kepda Sultan, tawanan ki Tumenggung Mayang, telah direbut oleh 40 pasukan dari Mataram, ketika kami sampai didesa Jatijajar).
Sultan Pajang ketika mendengar laporan komandan Pasukan, dengan suara keras bersabda:” wis nyata yèn Sénapati wis cetha ing pambalikira, déné wis wani murwa aprang, lah payo padha dilurugi Senapati, kabèh prajurit pada dandana aglis” ( sudah jelas sekarang ini Senapati ing Ngalaga melakukan pembelotan, dan bahkan sudah berani mendahului perang terbuka, Patih, segera kumpulkan para prajurit kita menuju ke bumi Mataram).
Sultan Pajang meninggalkan bale Manguntur , dan masuk ke istana untuk berganti busana prang. Semua piyandel disiapkan untuk menghadapi lawan yang tangguh. Seluruh pasukan tempur kerajaan disiapkan untuk menghantam pasukan Mataram, pasukan dipimpin langsung oleh Kanjeng Sultan Hadiwijaya.
Ini jarang terjadi seorang raja memimpin perang sendiri, padahal banyak para Panglima muda yang sakti mandraguna. Tetapi pertimbangan Sultan Pajang berbeda, karena yang dihadapi adalah anak angkatnya sendiri, Danang Sutawijaya.
Aba-aba pemberangkatan prajurit diiringi kendang, bende yang dipukul bertalu-talu gong maguru gangsa, gaung gong memberi isyarat berkumpulnya para wadyabala. Sultan mengenakan busana kapraboning prang dengan mahkota emas bertatahkan intan berlian. Dengan letusan meriam sekali, sebagai pertanda pasukan bergerak, suara gemuruh pasukan diiringi tambur dan terompet.