Mohon tunggu...
Rochani Sastra Adiguna
Rochani Sastra Adiguna Mohon Tunggu... wiraswasta -

sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sutawijaya Mbalela (2)

7 Juni 2010   00:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:42 2772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sultan Pajang menjadi lemas tubuhnya, setelah mendengar penuturan ki Juru Kunci makam Sunan Tembayat. Karena sudah penat, Sultan Pajang tidur di Bale Kencur, baru kali ini sang Prabu merasakan nikmatnya tidur. Seluruh kadang sentana tidurnya bergantian, para prajurit juga bergantian istirahat.Keesokan harinya mereka sudah merasa bugar kembali, Sultan Pajang memerintahkan kepada segenap wadyabala dan sentana nayakapraja untuk kembali ke Pajang. Sultan Pajang naik Gajah, dalam perjalanan kearah timur di pertigaan jalan kearah Pajang, Sultan jatuh dari tunggangannya. Kemudian para prajurit, mengangkat Sultan Pajang ke dalam tandu.

Senapati ing Ngalaga mendengar laporan dari prajurit sandi tentang perjalanan Sultan Pajang ketika di makam Sunan Tembayat hingga perjalanan pulang dan jatuh dari tunggangannya. Senapati ing Ngalaga dengan dikawal 40 prajurit pinilih, bergegas menyeberangi kali Opak untuk menjenguk ramandanya yang menderita sakit.

Sementara itu wadyabala Mataram membubarkan diri dari Pakuwon Randulawang, dan bergerak kearah utara membuat baris pendhem mengepung pasukan Pajang. Hal ini berjaga-jaga jika keadaan menjadi semakin memburuk. Para nayakapraja dan kadang sentana Pajang sama sekali tidak menduga jika Senapati akan menyusul secepat itu.

“ inggih punika pun kakang Senapati, nusul lan wadya tut pungkur antawis kawandasa, yèn suwawi ing karsa paduka, pan pinethuk winangsulan, déné wadyanipun sakedhik. Amba purun methuk yuda, déné wadya paduka kathah “ ( ini kakang Senapati datang beserta 40 pengawalnya, jia baginda mengijinkan kan amba hadapi seluruh prajuritnya agar kembali ke Mataram. Hamba juga bersedia bertempur dengannya, mereka itu hanya sedikit, sedangkan kita banyak). Usul Adipati Tuban yang sudah berkali-ali menginginkan untuk bertempur melawan Senapati.

Sultan Pajang bersabda;” ya kabèh putraningwang, aja sira wani andon yuda mring kakangmu Senapati ing Ngalaga, minangka gegantiningsun yèn lalis. Sadulur tuwa sinembah, awit kakangira Senapati sayekti abanget tresna maring sun, iku angater maring wang saking mirma wruh lamun gerah ingsun, gumati marang wong tuwa, bektènira angluwihi. Mbesuk ing sapungkuring wang, yèn sun lalis poma dèn atut sami kalawan kakangirèku ( semua anakku, jangan ada yang berani melawan kakakmu Senapati ing Ngalaga, kakrena dialah kelak yang akan menggantikanku ketika aku telah meninggal. Sebagai saudara yang tertua maka ia wajib dihormati, kakakmu Senapati itu karena sangat sayang padaku, maka kedatangannya itu untuk mengantarkan aku, agar tak terjadi benturan dengan pasukannya. Kelak sepeninggalku jika aku sudah meninggal supaya kalian menurut pada kakakmu Senapati).

Pangeran Benawa setelah mendengar ramandanya menasehati dengan suara yang lirih, dalam hatinya menangis. Para pangeran dan putra sentana menangis terisak-isak dalam perjalanan. Singkat cerita perjalanan Sultan Hadiwijaya telah sampai di kerajaan Pajang. Setelah sang Prabu masuk ke dalam kedaton, Senapati ing Ngalaga beseerta 40 pengawalnya melanjutkan perjalanannya menuju kearah desa persembunyian Tumenggung Mayang.

Sultan Pajang di bunuh makhluk halus

Sultan Pajang menerima laporan bahwa Senapati ing Ngalaga tidak singgah di Pajang, tetapi melanjutkan perjalanannya untuk menemui saudaranya di desa Mayang. Kemudian Sultan Pajang mengutus wimbasara untuk memanggil Senapati masuk ke dalam istana( perjalanannya tidak diceritakan)

Wimbasara ;” jengandika tinimbalan mring kadhatun, dening ramanta nJeng Sultan “ ( kanjeng Senapati, paduka diminta untuk menghadap di istana oleh baginda Sultan) “ katanya pelan dan sambil bersembah.

Senapati ;” hèh dhuta sira matura mring njeng Rama, lenggana ulun iki amit mulih nging tan mantuk angantos karsaning hywang” (wahai utusan, katakanlah pada ayahanda, aku menyadari bahwa sebenarnya sudah pamit meninggalkan Pajang, tetapi menunggu kehendak Hyang Widhi).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun