Mohon tunggu...
Eka Maryono
Eka Maryono Mohon Tunggu... -

penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gatutkaca Gugat

27 Maret 2012   15:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:23 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika pesawat itu akhirnya tiba, Gatutkaca segera menggelar acara selamatan. Bodypesawat  disiram air kembang, tak lupa puja mantra pun dirapalkan. Keluarga Pandawa berbondong-bondong menghadiri selamatan tersebut. Mereka bangga karena Gatutkaca adalah Pandawa pertama yang sukses sebagai raja, makmur sebagai pengusaha, dan sekarang jadi raja pertama yang punya pesawat keistanaan.

“Selamat ya,” kata Yudhistira.

“Selamat, selamat!” seru Arjuna.

“Wah, njenengan hebat betul, hehehe,” ujar Nakula dan Sadewa berbarengan.

Tak ketinggalan istri-istri dan anak-anak Gatutkaca memberi selamat, disusul oleh Bimasena dan Dewi Arimbi yang datang agak terlambat. Belum terhitung ucapan-ucapan selamat dari bala Pandawa lainnya.

Malamnya pendopo istana Pringgandani dipenuhi karangan bunga dari berbagai kalangan. Bunga-bunga tersebut menambah sesak pendopo yang telah dipenuhi tamu-tamu undangan. Sekelompok anak muda yang sedang naik daun dan disebut-sebut sebagai boy band idola remaja tampak berjingkrak-jingkrak di atas panggung. Berbagai hidangan ala manca negara terhidang. Benar-benar pesta syukuran yang luar biasa meriahnya.

“Bagaimana anda menutupi biaya operasional pesawat ini?” tanya seorang wartawan.

“Ah, gampang itu, kita bisa mencabut beberapa subsidi untuk rakyat, misalnya kita naikkan tarif listrik atau harga  BBM,” jawab Gatutkaca mantap.

“Wah, luar biasa, hebat, sungguh anda seorang visioner.”

“Oh, tidak juga, saya cuma berusaha mewujudkan mimpi.”

Tamu-tamu yang lain bertepuk tangan. Mereka kagum dengan keberanian Gatutkaca menentang takdir yang sudah digariskan dewata. “Hebat betul, seharusnya kita juga seperti dia,” bisik pentolan Kurawa, Duryodana, kepada adik-adiknya yang langsung manggut-manggut tanda setuju.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun