Mohon tunggu...
Sastia Maja Adhitio
Sastia Maja Adhitio Mohon Tunggu... Human Resources - Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Akun ini dikelola oleh saya sendiri, bukan staff ataupun presiden Republik Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gender dan Hak Asasi Manusia di Indonesia

29 Desember 2019   01:45 Diperbarui: 13 Januari 2021   23:02 3121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pengertian Gender

Anthony Giddens (1989: 158) menjelaskan bahwa yang dinamakan gender itu adalah,  "the psychological, social and cultural differences between males and females" yang berarti perbedaan psikologis, sosial, dan budaya antara laki-laki dengan perempuan. Dan salah satu ahli dalam bidang sosiolog, John C. Macionis (1996: 240) juga menjelaskan bahwa gender itu adalah "the significance a society attaches to biological categories of female and male" yang berarti, arti penting yang diberikan masyarakat pada kategori biologis perempuan dan laki-laki.

            Jadi konsep gender memfokuskan perbedaan peranan antara laki-laki dengan perempuan yang dibentuk oleh masyarakat yang sesuai dengan nilai sosial budaya masyarakat tersebut. Konstruksi sosial budaya yang telah menganggap gender sebagai suatu yang kodrati tersebut dapat dilihat sebagai berikut, misalnya perempuan itu identik dengan kasur, sumur, dapur, dan perempuan juga memiliki ciri kepribadian tertentu seperti watak yang keibuan, tidak agresif, berhati lembut, dan mempunyai seksualitas feminim. Sedangkan laki-laki identik dengan bekerja, berorganisasi, berpolitik, sampai dengan pengelolaan ekonomi dalam rumah tangga. 

            Ketidakadilan diatas terjadi karena norma dan nilai masyarakat yang menentukan batas feminitas dan maskulinitas, sehingga memunculkan pembagian peran dan kekuasaan antara laki-laki dengan perempuan. 

Menurut para penganut feminism, pandangan masyarakat terhadap perempuan telah mempersempit ruang gerak perempuan dan mengakibatkan ketidakadilan gender atau hak asasi yang ada pada perempuan. Maka dari itu mereka bekerja keras untuk menghapus ketidakadilan gender ini dan menuntut untuk menyamaratakan antara laki-laki dengan perempuan.

             Ketidakadilan gender merupakan tindakan ketidakadilan atau diskriminasi terhadap salah satu gender, atau lebih tepatnya pembatasan peran, pemikiran dan perbedaan perlakuan yang berakibat pada terjadinya pelanggaran atas pengakuan hak asasi, persamaan hak antara laki-laki dengan perempuan.

            Adapun lima bentuk ketidakadilan gender, yaitu: Subordinasi, Stereotipe gender, Beban ganda, Marginalisasi, dan Kekerasan.

  • Subordinasi merupakan suatu penilaian atau anggapan yang diberikan oleh masyarakat bahwa satu gender memiliki nilai peran yang berbeda dengan gender lain, baik lebih tinggi maupun lebih rendah. Misalnya ada anggapan bahwa perempuan itu irrasional dan emosional sehingga tidak dapat memimpin dan berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting; dan dibatasinya perempuan dalam aktivitas tertentu dan dinilai rendah (Sugihastuti dan Sastriyani, 2007:225).
  • Stereotipe gender merupakan kepercayaan akan adanya perbedaan ciri-ciri, atribut, atau peran yang dimiliki laki-laki dan perempuan. Atau lebih tepatnya pelabelan terhadap salah satu jenis kelamin yang mengakibatkan ketidakadilan. Misalnya dalam masyarakat pedesaan, yang memandang bahwa perempuan tidak perlu belajar tinggi-tinggi, karena nantinya tetap akan berakhir di dapur, kasur, dan sumur.
  • Beban ganda atau dapat diartikan dimana perempuan pada banyak situasi dan banyak budaya (terutama pada negara-negara yang menganut sistem patriarki) menanggung beban ganda dari kehidupan keseharian. Contoh yang ada dimasa sekarang, baik perempuan maupun laki-laki sama-sama bekerja sebagai pegawai disebuah perusahaan, tetapi ketika pulang kerumah, perempuan harus menyiapkan makan malam, menidurkan anak-anaknya, dll. Beda halnya dengan laki-laki, mereka dapat langsung tidur, bersantai sambil bermain sosmed, dll. Inilah kenapa disebut dengan beban ganda terhadap perempuan, karena kita bisa lihat sendiri bahwa perempuan lebih banyak beraktivitas/beban kerja dibandingkan laki-laki.
  • Marginalisasi, diartikan sebagai arti yang disisihkan atau dinomorduakan. Fakih (2010) menjelaskan bahwa marginalisasi adalah proses pemiskinan ekonomi terhadap kaum perempuan. Perempuan dianggap kurang berhak menjadi pemimpin, dan perempuan juga kurang layak mendapatkan gaji yang lebih daripada laki-laki. Dengan begini kaum perempuan tidak punya kekuatan dan akan selalu berada dibawah kekuasaan laki-laki.
  • Kekerasan, menurut Fakih (2010) dalam buku Gender dalam Perspektif Psikologi menyebutkan ada delapan bentuk kekerasan yang berbasis pada bias gender, yaitu: Perkosaan, Kekerasan dalam rumah tangga, Kekerasan dan penyiksaan terhadap organ genital, Pelacuran/prostitusi, Pornografi, Kekerasan dalam kontrasepsi, Kekerasan terselubung, dan yang terakhir Pelecehan seksual.[7] Dari delapan bentuk kekerasan yang tadi disebutkan, kita dapat melihat bahwa aktivitas tercela tersebut dapat menimbulkan efek negatif yang berdampak pada fisik maupun psikologis dan tentu telah melanggar hak asasi manusia.

Relasi Gender di Indonesia

            Masa sebelum kemerdekaan sekitar 1904 -- 1945, perempuan sudah bergerak memperjuangkan hak-hak mereka walaupun secara individual. Salah satu dari tujuan pergerakan perempuan di Indonesia ini adalah untuk memberi kesempatan pendidikan yang seimbang dengan laki-laki. Akhirnya, ada dua orang pahlawan Indonesia yang bernama Dewi Sartika dan R.A Kartini yang telah mendirikan sekolah khusus perempuan di Bandung pada tahun 1904 yang bernama Sekolah Keutamaan Istri dan di Semarang pada tahun 1912.

            R.A. Kartini menjelaskan beberapa hal yang telah melanggar hak asasi perempuan pada masa itu, seperti kawin paksa, poligami, perceraian secara sewenang-wenang oleh laki-laki, dan perempuan yang sudah berkeluarga juga tidak boleh keluar rumah pada saat itu oleh suaminya. Maka dari itu Kartini membuat sekolah perempuan agar kaum perempuan tidak selalu tertindas oleh para laki-laki. Karena Kartini sendiri telah menyadari bahwa di Indonesia ada perbedaan hierarkis yang terdapat pada laki-laki dengan perempuan (Rajab 2002: 22-23).

            Setelah kemerdekaan, tujuan pergerakan perempuan adalah untuk melawan kemiskinan dan ketidakadilan, hampir sama dengan masa sebelum kemerdekaan, yakni memperjuangkan hak untuk berpendidikan dan kesempatan bekerja.

            Pada masa Orde Baru, perempuan lagi-lagi tidak mendapat keadilan, hal itu dikarenakan pemerintah ikut campur tangan dalam menghadapi urusan keluarga seperti yang ada pada Undang-Undang tentang perkawinan pada tahun 1974, yakni: "Suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga" dan pasal 34 ayat 2, yakni: "Istri wajib mengatur rumah tangga sebaik-baiknya" (Surbekti dan Tjitrosudibio 1994: 457) darisini kita dapat lihat bahwa peranan perempuan sangat dibatasi oleh pemerintah, tentu hal ini dapat melanggar hak asasi perempuan, karena tidak semua perempuan mau menjadi ibu rumah tangga, mereka ada yang menginginkan bekerja disebuah perusahaan, menjadi anggota parlemen, dll.

Pengertian Hak Asasi Manusia

            Dalam buku El Majda yang berjudul Dimensi-Dimensi HAM, menjelaskan bahwa hak asasi manusia itu terbentuk dari tiga suku kata, yakni ada hak, asasi, dan manusia. Kata hak dan asasi berasal dari bahasa Arab, sementara kata manusia berasal dari bahasa Indonesia. Kata haqq adalah bentuk tunggal dari kata huquq. Kata haqq diambil dari kata haqqa, yahiqqu, haqqan yang berarti benar, nyata, pasti, tetap, dan wajib. Jadi haqq itu kita dapat simpulkan sebagai kewenangan atau kewajiban untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.

            Sedangkan kata Asasi atau asasiy berasal dari kata assa, yaussu, assan yang artinya membangun, mendirikan, dan meletakkan. Kata asas adalah bentuk tunggal dari kata usus yang berarti asal, esensial, asas, pangkal, dasar dari segala sesuatu. Dengan begitu kata asasi dapat diartikan sebagai dasar atau pokok. Jadi dapat disimpulkan bahwa Hak Asasi Manusia adalah hak-hak mendasar yang ada pada diri manusia yang ada sejak dalam kandungan sebagai karunia yang diberi oleh Tuhan Yang Maha Esa dan wajib kita hormati, junjung tinggi, dan dilindungi oleh semua orang.  

            Hak Asasi bertujuan menjamin martabat setiap individu. Hak Asasi memberikan kekuatan moral untuk menjamin dan melindungi seseorang dari kekerasan atau kesewenag-wenangan berdasarkan hukum yang ada bukan atas dasar kehendak ataupun keadaan. Hak-hak dan kebebasan tersebut memiliki ciri-ciri, yaitu: tidak dapat dicabut atau dibatalkan, universal, saling terkait satu sama lain, dan tidak dapat dipisahkan.

Hak Asasi Manusia di Indonesia.

            Negara kita, negara Republik Indonesia yang sudah berumur 74 tahun ini telah menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Hal itu merupakan konsekuensi yang logis dari obsesi bangsa, karena bangsa Indonesia pernah mengalami sejarah buruk atau dijajah oleh negara lain seperti Belanda, Portugis, Jepang, dan Inggris selama beratus-ratus tahun. Pancasila sebagai falsafah bangsa secara tegas menempatkan Kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai sila ke-2. Ini adalah salah satu bukti bahwa Indonesia menempatkan dasar HAM sebagai unsur penting dalam kehidupan bermasyarakat.

            Awal muncul HAM di Indonesia ini disebabkan oleh pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh para kolonial zaman dahulu. Berawal dari salah satu pahlawan kita, Boedi Oetomo. Beliau memperjuangkan hak-haknya dan mengeluarkan pendapatnya melalui surat-surat kabar yang ditujukan untuk pemerintah kolonial. Selain Boedi Oetomo ada beberapa organisasi yang juga memperjuangkan HAM, yakni Sarekat Islam, Indische Partij, Partai Komunis Indonesia, Perhimpunan Indonesia, dan Partai Nasional Indonesia.

            Setelah kemerderkaan, Indonesia telah mendirikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bertujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM yang sesuai dengan Pancasila dalam sila ke-2, UUD 1945 Pasal 71 Nomor 39 Tahun 1999, dan piagam PBB serta Deklarasi Universal HAM.

Pelanggaran HAM di Indonesia Yang Terkait Dengan Gender

            Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 menyatakan bahwa pelanggaran HAM dapat diartikan sebagai setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja, atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

            Di Indonesia, data dari Komnas Perempuan telah menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2015 banyak sekali terjadi aksi kekerasan terhadap perempuan, hal ini terjadi bukan hanya pada wilayah domestik saja, tetapi kejadian ini telah meluas sampai di ranah publik. Azrianan (ketua Komnas Perempuan) mengatakan bahwa persoalan kekerasan perempuan bisa dibagi dalam tiga bagian, yaitu hubungan personal, komunitas, dan negara. Berdasarkan jumlah kasus yang diambil dari 232 cabang lembaga Komnas Perempuan di Indonesia, tercatat bahwa ada 16.217 kasus kekerasan terhadap perempuan.

Sumber: Komnas Perempuan
Sumber: Komnas Perempuan
Bisa dilihat dari tabel data diatas bahwa terjadi peningkatan yang signifikan terhadap kasus kekerasan perempuan di Indonesia. Dalam ranah komunitas ada sekitar 5000 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 1.657 kasus diantaranya adalah kekerasan seksual yang dialami oleh para perempuan di 34 provinsi Indonesia.

            Dan pada akhir-akhir ini sekitar tahun 2018-2019, jumlah kekerasan terhadap perempuan meningkat menjadi 406.178 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya sebesar 348.466. Data ini diambil dari Pengadilan Agama sebesar 392.610 kasus, dari Lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sebesar 13.568 kasus, dari Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) yang dibentuk oleh Komnas Perempuan untuk menerima pengaduan korban sebesar 415 kasus yang datang langsung ke tempat pelayanan dan yang melalui media elektronik sebesar 367 kasus, dan dari Subkomisi Pemantauan yang mengelola pengaduan melalui surat sebanyak 191 kasus serta 261 melalui surat elektronik.

            Dari data yang disebutkan diatas, jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling banyak terjadi adalah kasus KDRT dalam ranah personal, yang mencapai angka 71% atau 9.637 kasus. Posisi kedua dalam KtP ada diranah publik atau komunitas dengan angka 28% atau 3.915 kasus. Dan yang terakhir dalam ranah negara dengan angka 0.1% atau 16 kasus.

            Pada ranah KDRT lingkup personal, kekerasan yang paling banyak terjadi adalah kekerasan fisik, sebanyak 3.927 kasus atau 41%, setelah itu ada kekerasan seksual sebanyak 2.988 kasus atau 31%, psikis 1.658 kasus atau 17% dan terakhir ekonomi sebanyak 1.064 kasus atau 11%. Pada ranah publik dan komunitas, kekerasan terhadap perempuan tercatat 3.915 kasus. Sebanyak 64% kekerasan terhadap perempuan dalam ranah publik, seperti Pencabulan sebanyak 1.136, Perkosaaan sebanyak 762, dan Pelecehan Seksual sebanyak 394 kasus, serta Persetubuhan sebanyak 156 kasus.

SUmber CATAHU
SUmber CATAHU
Setelah mengetahui seberapa banyak kasus kekerasan terhadap perempuan yang dicatat oleh Komnas Perempuan, tidak lupa bahwa Komnas Perempuan juga menyarankan untuk seluruh elemen negara seperti lembaga Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif untuk segera menindaklanjuti persoalan-persoalan HAM, serta untuk pemerintah dan DPR RI untuk segera membahas dan mensahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, karena ini dapat menghentikan impunitas bagi pelaku kekerasan seksual dan membuka akses korban atas kebenaran, keadilan, dan jaminan atas ketidakberulangan. 

Dan untuk para tokoh-tokoh masyarkat dan pemuka Agama agar semakin meningkatkan upaya pendidikan masyarakat agar praktik, dan kebiasaan mendiskriminasi perempuan dapat dihilangkan secara perlahan. Dan yang terakhir menurut Komnas Perempuan disarankan untuk seluruh elemen  masyarakat agar tetap fokus dan melindungi korban yang menjadi tanggung jawab pemerintah.

            Ada beberapa contoh kasus yang melanggar Hak Asasi terkait dengan Gender di Indonesia, diantaranya:

  • Kasus Marsinah, buruh perempuan yang tewas mengenaskan dengan kemaluan yang tertembak pada tahun 1993. Almarhumah Marsinah ini dibunuh karena memimpin demo untuk mendapatkan kenaikan gaji dari Rp 1.700 menjadi Rp 2.250 per hari terhadap PT. Catur Putra Surya.[2]
  • Kasus Enno Farihah, tahun 2016. Enno merupakan karyawati PT. Polyta Global Mandiri yang diperkosa dan dibunuh secara keji oleh tiga pria, yakni Arif (24th), Alim (16th), dan Ilham (24th). Almarhumah Enno ini tewas karena kemaluannya dimasukkan cangkul oleh para pelaku.[3]
  • Kasus Kyai Pujiono Cahyo Widianto, tahun 2008. Kyai Puji ini merupakan pemimpin Pondok Pesantren Muftahul Jannah, Semarang. Ia dihebohkan dan dianggap melanggar Hak Asasi karena menikahi anak perempuan yang belum pas umurnya untuk dinikahi, yaitu Lutfiana Ulfa yang berumur 12 tahun. Dia beralasan bahwa pernikahan sirih ini tidak melanggar hukum Islam, dan Islam pun memperbolehkan menikahi perempuan yang sudah baligh. Walaupun telah mendapatkan izin dari pihak Lutfiana, tetapi pernikahan dibawah umur ini telah melanggar tiga Undang-undang, yakni: "UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang," kata Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (Menneg PP) Meutia Hatta dalam jumpa pers di gedung Departemen Komunikasi dan Informatika di Jakarta, Senin (3/11/2008).[4]
  • Kasus Choiron, seorang suami yang menjual istrinya di Surabaya, Jawa Timur. Suami ini menjual istrinya ke orang lain untuk digauli secara bergantian dan bersama-sama, dan perbuatan itu sudah dilakukan beberapa kali oleh si suami. Suami ini memaksa istrinya untuk melakukan hubungan intim dengan dua sampai tiga pria. Untungnya perbuatan sang suami telah terdeteksi oleh polisi dari akun media sosialnya.[5]
  • Kasus Dua Remaja Aceh yang dijadikan PSK di Malaysia. Dua remaja ini dideportasi oleh pihak Imigrasi Malaysia dikarenakan tidak memiliki dokumen yang lengkap untuk tinggal disana. Polisi mengatakan bahwa kedua remaja ini sempat menjadi Pekerja Seks Komersial, lalu disekap, dan menjadi gelandangan disana. Dua remaja ini ditipu oleh seseorang yang bernama FA, dan polisi sedang menyelidiki kasus tersebut.[6]

                Itulah beberapa contoh kasus pelanggaran HAM yang terkait dengan Gender yang terjadi di Indonesia. Berikut beberapa upaya agar tidak munculnya pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia, yakni:

  • Supremasi hukum dan demokrasi harus benar-benar ditegakkan dalam kehidupan sehari-hari.
  • Pemerintah sudah seharusnya meningkatkan kualitas pelayanan publik untuk mencegah terjadinya berbagai bentuk dan permasalahan pelanggaran HAM di Indonesia.
  • Dan terakhir, pemerintah juga sudah seharusnya meningkatkan dan menyebarkan prinsip-prinsip HAM kepada seluruh elemen masyarakat seperti melalui media massa dan lembaga pendidikan formal (sekolah atau perguruan tinggi) maupun informal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun