Berjayanya PKI di Jateng dan Jatim bukanlah kebetulan. Ada faktor eksternal yang berarti dan menentukan. Pertanyaan yang sering dikemukakan kala banyak pengamat mempertanyakan hal tersebut : mengapa petani/buruh yang lebih akrab disebut wong cilik bermesraan dengan PKI.
Faktor pokok, yang tampaknya disepakati sejumlah peneliti yang menyoroti kiprah PKI di kedua daerah itu, berkaitan dengan keterbelakangan ekonomi. Sebut saja daerah Surakarta, Yogyakarta bagian selatan, Semarang, madiun, dan kediri, yang kenyataannya memang jauh dari kondisi makmur. Kemiskinan membuat PKI menancapkan pengaruhnya.
Pemilu 1955 menunjukkan bahwa pemilih di Sumatera pada umumnya bergabung dengan partai-partai Islam, terutama masyuni. PKI sendiri tak terlalu dominan. Namun, posisi partai ini berada pada grafik menaik -- meski nyatanya tetap masih lemah. Di Sumatera Selatan, perolehan suara PKI di urutan ketiga di bawah Masyumi dan PNI.
Pengamat politik Arbi Sanit, menegaskan kuatnya partai yang dikaitkan dengan Gerakan 30 September kurang dapat dipahami tanpa mencermati upaya mereka menjadikan desa-desa sebagai basis partai sejak 1927 hingga 1965. "desa-desa dijadikan basis dalam menyusun kekuatan yang telah runtuh maupun tempat pengawetan kekuatannya," tandas Arbi pada Tekad.
Lebih lanjut, ia mengemukakan peluk-cium petani dengan PKI dimungkinkan karena adanya perubahan sosial-ekonomi yang dipicu pendidikan dan politik yang diterapkan pemerintah kolinial Belanda pada akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19. Masuknya nilai baru, terutama di pedesaan, mendorong kebimbangan masyarakat akan warisan budaya dan sejarah yang dari generasi ke generasi mereka pelihara secara ketat.
"Kebingungan sosial yang terjadi cenderung mendorong orang bersikap radikal, atau mencari wadah baru di luar lembaga masyarakat yang ada," kata Arbi lagi. Dalam kondisi begitu, masyarakat melihat PKI-lah yang mampu mewadahi kebutuhannya. Memang PKI-lah yang menjalankan gerakan dan bertindak secara radikal. Arbi, yang pengajar di UI, menambahkan PKI memang kadang mempraktekkan sikap moderat. Ia bersedia berkompromi dengan gerakan yang warnanya lain. Hanya saja, menurut Arbi, sikap PKI ini cuma taktik belaka yang diterapkan sebelum mampu berdiri sendiri.
Dalam hal itu korbannya adalah Syarikat Islam (SI). Sejak 1914 gerakan sosialis menjadi bagian SI. Tapi pada 1920, ketika gerakan sosialis tak lagi mampu melebarkan sayap, dan SI sendiri pecah menjadi "SI merah" dan "SI putih", PKI pun berjalan sendiri.
"Tak dapat disangkal bahwa sebagian masyarakat yang mengalami perubahan nilai menolak naungan PKI. Namun kita susah mengelak fakta bahwa yang lain menjadi loyal pada partai tersebut," papar Arbi. Ditambahkannya, dalam perjalanannya "partai merah" ini mampu merangkul golongan abangan lapisan bawah.
"Golongan abangan maupun PKI kan sama sama curiga pada kelompok santri." PKI selalu berupaya menampilkan diri sebagai partai yang rasional dan modern. Pengamat politik dari UI ini mencermati, antara lain, dalam langkah taktisnya PKI mau menerima pertentangan tradisional antara golongan santri dan abangan. Dalam hal ini, di mata Arbi, PKI bukan soal konsekuen atau tidak pada doktrin. Tapi, semata-mata menjadikannya taktik untuk mengantongi dukungan di pedesaan dengan cara memanfaatkan pertentangan. PKI memang tak segan-segan menuntut tumbal demi target politiknya.
http://www.oocities.org/troskya/index.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H