Mohon tunggu...
Sasmita Buana
Sasmita Buana Mohon Tunggu... -

it's me

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Polos (1)

19 Februari 2012   23:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:27 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SANG, bersama malamNYA baru saja mulai bertahta, saat Margono, laki muda itu merebahkan diri di atas kasur kapuk lepek, di samping istrinya yang sedang hamil tua. Tangan dilapat untuk alas kepala, mata menerawang memandangi atap rumah yang penuh sawang (sarang laba-laba yang biasa menempel di dinding). Seolah lelah penatnya kerja seharian menjadi daya dorong yang hebat untuk berlayar di atas gelombang lautan cerita hidupnya, seolah menjadi ritual meditatif selama satu bulan terakhir.

Sementara Ratri, sang istri, wanita muda bertubuh ceking rambut lurus dengan daster putih kecoklatan berbaring beralaskan tikar, tangan kiri mengusap-usap perutnya yang sudah buncit hamil 9 bulan. Sementara tangan kanannya mengipas-ngipaskan kardur bekas kemasan obat nyamuk bakar yang bergambar kingkong. Seolah kompak, lamunan mereka seakan terkoneksi dalam sebuah diskusi ditengah perlayaran gelombang lauatan perkara hidup.

Aroma obat nyamuk bakar dan asapnya yang menyengat,menambah suasana romatisme yang satir. Sinar lampu pijar 5 watt membuat buramnya gambaran cerita hidupnya semakin sempurna. “Mass.....” suara yang datar lirih tanpa tekanan tetapi cukup untuk memecah keheningan ritual meditasi mereka. Ratri paham betul alur hati sang suami yang diam tak menjawab sapaannya. Dalam konsentrasi mengemudikan perahu lamunan gelombang hidupnya seperti itu, Ratri tahu suaminya sebenarnya memperhatikan sapaannya. Memang begitulah kemesraan mereka selama ini.

Margono juga paham betul ada istrinya, semakin lama jeda waktu dari sapaan sampai kepada tutur berikutnya, berarti semakin berat permasalahan yang akan di sajikan kepadanya. Sadar akan menerima sajian masalah yang sarat. Margono menghela napas, lirih, nyaris tak terdengar, sambil menata mempersiapkan batin agar cukup lega mendaratkan permasalahan yang akan di suguhkan Ratri.

Sambil meringgis menrasai tendangan jabang bayi dalam kandungannya, Ratri berkata,”mas.... , besok aku melahirkan di mana? Kalau di dukun, dukunya siapa? Kalau di bidan? bidan siapa? kalu di dokter, dokter siapa?”. Perkataan Ratri yang bak bongkahan batu besar meluncur dari perbukitan ini sudah diduga sebelumnya. Tetapi, tetap saja Margono merenung sejenak sambil tetap konsentrasi memperhatikan awang-awang.

Margoono menghela napas dalam-dalam seolah mengkonfimrasi dengan rasa batinnya. Rasanya tenang, tidak sedikitpun ada kekawatiran, meskipun tak serupiahpun uang di kantongnya. Padahal sudah jelas dokter memvonis anaknya Ratri harus melahirkan dengan cara operasi karena posisi janin yang sungsang. “Ya... di rumah sakit. Nanti aku carikan yang dekat rumah saja. Sudah sekarang ayo tidur saja. Oh iya..., tolong besok sore siapkan, aku akan puasa ngebleng (puasa hanya makan dan minum sekali selama 24jam)tiga hari” ujarnya datar setelah mendapat konfirmasi dari hatinya yang tenang.

Meski jawaban suaminya tidak begitu sempurna seperti yang dia inginkan, tetapi Ratri paham betul alam pikir suaminya. Itu sudah cukup. Sambil mencoba membetulkan posisi batal kapuk yang keras karena lepek, Rarti meniatkanhatinya untuk tidur saat itu juga. Margono yang mengajak tidur justru keluar kamar, dan duduk dibalai-balai teras depan rumahnya. Sambil menghisap asap rokok kreteknya, pikiran Margono mendaur ulang perkataan istrinya tadi. Berulang kali dihisapnya rokok kretek murahan itu dalam dalam, tapi rasanya untuk menghembuskanya ta ada daya.

Di tengah kepulan asap yang menutupi wajahnya, Margono memahami betul kekawatiran istrinya yang memikirkan kelahiran anak keduanya. Divonis posisi jabang bayinya sungsang, tak memiliki cukup uang untuk operasi. Apalagi operasi, bakal popok, bedak, minyak bayi untuksi calon jabang bayi saja belum terbeli. Sementara, peralatan bayi bekas kakaknya dulu sudah habis di bagi-bagikan kepada sanak sodara dan tetangga-tetangganya.

Meski sudah berbatang-batang kretek yang dihisapnya, Margono belum juga mendapatkan jalan kuluar yang gamblang. Sambil membetulkan posisi sarungnya yang lusuh, Margono memasuki kamarnya. Di dapatinya Ratri yang pulas tertidur, wajahnya polos, lugu dan sederhana tanpa wedak (bedak), celak (pensil warna untuk alis) dan bengges (lipstik). Dikecupnya kening Ratri lembut... sangat lebut, agar Ratri tak terbangun, Margono ingin hanya mentransferkan rasa cintanya dan tidak harus disadari oleh Ratri. Sesaat kemudian Margono telah meniatkan tidurnya dan memarkirkan beban hidupnya di halaman batinnya.

***

Bersambung.......

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun