Mohon tunggu...
Sasky AbidaRifatutasdiqoh
Sasky AbidaRifatutasdiqoh Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswi

membaca buku, menggambar dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dampak Pernikahan Dini Terhadap Pola Asuh Anak

19 Mei 2023   18:33 Diperbarui: 19 Mei 2023   18:36 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama.  Sumber ilustrasi: Kompasiana

Meningkatnya pernikahan usia muda di bawah usia 20 tahun masih menjadi fenomena di beberapa daerah di Indonesia.Meski angka dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penurunan dari 10,82% menjadi 10,18% dari tahun 2019 ke 2020, praktik pernikahan dini masih tinggi.

Di Asia Tenggara, Indonesia merupakan negara dengan jumlah pernikahan dini terbanyak kedua setelah Kamboja dan menempati urutan ke-8 dunia. Hal ini sangat memprihatinkan mengingat dalam Undang-Undang Perkawinan 16 Tahun 2019 pemerintah dengan jelas telah menetapkan batas minimal usia menikah yaitu 19 tahun dan memperkuat aturan perkawinan.


BKKBN menetapkan usia ideal menikah adalah 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki. Dari segi kesehatan, alat kelamin wanita berusia 21 tahun secara psikologis berkembang dengan baik dan kuat serta siap untuk melahirkan. Sementara itu, dari segi finansial, pria berusia 25 tahun ini siap menghidupi keluarganya.

Alasan pernikahan dini biasanya karena faktor budaya dan sosial ekonomi. Sebagian orang tua beranggapan bahwa anak dapat menjadi penyelamat keuangan keluarga saat menikah, karena anak yang belum menikah menjadi beban keluarga.

Ada juga yang percaya bahwa anak memiliki kehidupan yang lebih baik setelah menikah. Bahkan, putus sekolah dini memperpanjang rantai kemiskinan dan merampas hak-hak dasar anak-anak, seperti pergi ke sekolah. Efek lain dari pernikahan dini adalah merugikan perekonomian negara, hingga 1,7 persen pendapatan pemerintah bisa hilang.

Di beberapa daerah, masyarakat masih memiliki perbedaan pendapat tentang perjodohan karena faktor adat dan budaya. Orang tua masih takut anaknya tidak menikah dan menjadi perawan tua.

Anak remaja sangat rentan terhadap perilaku seksual sebelum menikah. Untuk mencegahnya, banyak orang tua yang menikahkan anaknya. Untuk memprediksi terjadinya pergaulan bebas pada anak, orang tua harus memberikan wawasan tentang akibat pernikahan dini dan kesehatan reproduksi pada remaja.

Anda bisa mendapatkannya dengan bergabung di Kelompok Bina Keluarga Remaja (BKR). Keunggulan BKR adalah orang tua dan anggota keluarga remaja lainnya sadar akan tahap tumbuh kembang anak dan remaja serta mampu memenuhi kebutuhannya akan pengasuhan, kasih sayang dan pengasuhan.

Demikian pula, anak-anak harus tertarik pada pengejaran dan pencapaian kreatif untuk menghindari hal-hal yang mengarah pada pernikahan dini. Anak-anak yang belum cukup umur sangat berisiko dilecehkan atau dieksploitasi setelah menikah. Remaja dapat mengikuti kegiatan di daerahnya, misalnya di Pusat Informasi dan Saran Remaja (PIKR), di mana mereka dapat memperoleh informasi tentang pernikahan dini, seks bebas dan narkoba.

Pernikahan dini memiliki implikasi multidimensi karena dapat memberikan dampak penting bagi pembangunan, terutama dalam hal kualitas dan daya saing sumber daya manusia di masa depan.

Dampak negatif pernikahan dini dirasakan baik oleh ibu maupun anak yang dilahirkan. Ada risiko besar saat melahirkan, karena kondisi fisik alat kelamin yang tidak sempurna, panggul ibu yang sempit, dan pola makan saat hamil yang tidak memadai. Konsekuensi lain dapat berupa pecahnya serviks, yang dapat menyebabkan perdarahan, preeklampsia, tekanan darah tinggi, kaki bengkak, kram saat melahirkan, anemia, bayi prematur dan bayi lahir dengan berat badan rendah, dan kematian ibu saat melahirkan. Survei Kesehatan Demografi Indonesia (SDKI) 2012 menemukan bahwa AKI di Indonesia adalah 359 per 100.000 kelahiran hidup, sedangkan AKB adalah 32 per 1.000 kelahiran hidup.

Ada korelasi antara usia ibu saat melahirkan dan derajat retardasi pertumbuhan. Semakin muda sang ibu, semakin besar kemungkinan dia akan melahirkan anak yang kerdil. Deformasi bisa dimulai sejak pembuahan, jadi seorang wanita harus berusaha mencegahnya sedini mungkin, yaitu sejak masa remaja. Tujuannya agar dapat melahirkan anak yang sehat dengan pertumbuhan dan perkembangan yang baik. Penurunan dapat memiliki efek negatif pada kesehatan fisik dan mental anak-anak.

Pernikahan dini berdampak pada masalah sosial seperti masalah keuangan yang menimbulkan perselisihan dalam keluarga. Hal ini dikarenakan perasaan yang masih labil, darah muda yang membara dan pola pikir yang belum matang yang akhirnya berujung pada perceraian. Sebagian besar perceraian terjadi pada kelompok usia 20-24 tahun ketika usia menikah kurang dari lima tahun. Efek lain mempengaruhi kesehatan mental perempuan. Ancaman terhadap remaja putri yang berisiko menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan tidak tahu bagaimana keluar dari situasi tersebut serta kesiapan mental pasangan belum ada. Selain istri, anak juga berisiko menjadi korban KDRT. Anak yang menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga tumbuh dengan berbagai kesulitan seperti kesulitan belajar, keterampilan sosial yang terbatas, anak sering berperilaku nakal dan berisiko mengalami depresi atau gangguan kecemasan yang parah.

Pendidikan dapat memainkan peran penting dalam mencegah kerusakan kesehatan yang disebabkan oleh pernikahan dini. Pendidikan dapat memperluas wawasan anak-anak dan remaja serta meyakinkan mereka bahwa pernikahan harus terjadi pada waktu dan usia yang tepat. Menikah bukanlah suatu paksaan dan bukan jalan keluar dari kemiskinan. Tapi, dengan melalui  pendidikan kita  dapat memberikan informasi tentang tubuh dan sistem reproduksi anda sendiri ataupun orang lain  ketika sudah menikah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun