Mohon tunggu...
Saskia Gustiannisa
Saskia Gustiannisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya merupakan mahasiswa sosiologi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengaruh Fenomena Gaya Pacaran terhadap Terjadinya Kekeradan Seksual di Lingkungan Kampus

17 Desember 2022   16:13 Diperbarui: 17 Desember 2022   16:13 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Latar Belakang
Pacaran merupakan sebuah proses berinteraksi antara laki-laki dan perempuan sebagai awal untuk memulai hubungan dalam percintaan. Pacaran dilakukan banyak orang untuk melakukan aktivitas bersama agar dapat mengenal satu sama lain. Fenomena pacaran ini banyak juga dilakukan oleh remaja sebagai bentuk perubahan dari anak-anak menuju dewasa. Dimana remaja tersebut memiliki perasaan senang hingga memiliki keinginan untuk saling memiliki.


Memulai suatu hubungan dalam konteks berpacaran juga harus mampu untuk menyesuaikan diri terhadap sesuatu yang terjadi. Karena di Indonesia, saat ini masih banyak terjadi kasus kekerasan yang terjadi dalam sebuah hubungan percintaan. Kekerasan yang terjadi dapat berupa kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan seksual, dan sebagainya. Pada dasarnya lingkungan sosial dan lingkungan keluarga turut berperan penting dalam pembentukan jati diri individu dalam berpacaran, karena jika kita lihat sekarang ini banyak gaya pacaran yang cenderung bebas dan negatif yang diperlihatkan ke khalayak ramai seperti media sosial sehingga menimbulkan terjadinya tindak kekerasan.

Kekerasan yang terjadi ini berfokus pada perempuan sebagai korbannya. Hal ini bisa terjadi karena adanya pihak laki-laki yang mendominasi karena adanya ketidaksesuaian antara peran laki-laki dan perempuan. Kekerasan seksual itu juga tidak bisa lepas dari adanya budaya patriarki yang menganggap bahwa laki-laki lebih kuat dari pada perempuan karena menganggap bahwa perempuan
itu lemah. Seperti yang terjadi pada salah satu mahasiswi di Universitas Brawijaya yang ditemukan meninggal dunia karena bunuh diri di samping makam ayahnya. Pelaku merupakan pacar korban yang merupakan kakak tingkatnya di kampus.

Melihat adanya kasus tersebut, tulisan ini bermaksud untuk mengungkap lebih dalam tentang bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan oleh pelaku, faktor penyebab, dan dampak yang ditimbulkan dengan menggunakan analisis teori sosiologi modern struktural fungsionalis Talcott Parsons dan teori konflik Ralf Dahrendorf

Pembahasan


Bentuk Kekerasan Dalam Gaya Berpacaran di Kalangan Mahasiswa


Berkembangnya era globalisasi yang sangat pesat tentu memberikan sebuah budaya yang baru dalam gaya berpacaran. Gaya pacaran saat ini yang terbilang bebas dapat mempengaruhi moral bagi seorang mahasiswa yang sedang dalam masa pubertas. Tak sedikit remaja yang ikut terpengaruh mengikuti gaya pacaran budaya barat yang terlalu bebas. Gaya pacaran yang dilakukan oleh mahasiswa tentunya cukup beragam, seperti pergi jalan-jalan, makan bersama, nonton ke bioskop, bahkan bisa saja pergi mengunjungi hotel. Menyampaikan rasa sayang yang disampaikan juga berbeda-beda, dari sekadar berpegangan tangan, mencium kening, sampai melakukan hubungan seksual.

Berdasarkan gaya pacaran tersebut, ditakutkan akan menimbulkan sesuatu yang tidak diinginkan, seperti tindak kekerasan. Kekerasan yang dilakukan oleh seseorang dalam menjalin sebuah hubungan pacaran merupakan sebuah perilaku yang merugikan. Kekerasan dalam sebuah hubungan banyak macamnya, seperti kekerasan fisik, kekerasan psikologis, dan kekerasan seksual:

a. Kekerasan psikis merupakan bentuk kekerasan yang menyerang tubuh seseorang seperti memukul, menendang, dan bentuk

kekerasan fisik lainnya.

b. Kekerasan psikis merupakan bentuk kekerasan yang menyerang psikologis seseorang secara non-verbal untuk mengendalikan

emosional pasangannya.

c. Kekerasan seksual merupakan bentuk kekerasan secara pemaksaan untuk melakukan hubungan badan ketika pasangannya tidak menyetujui hal tersebut. Selain itu, menyebarkan foto atau video
seksual pasangan juga termasuk ke dalam kekerasan seksual.

Berdasarkan hasil tahunan Komnas Perempuan pada tahun 2020, sebesar 4% bentuk kekerasan terhadap perempuan terjadi peningkatan. Sementara itu berdasarkan hasil survei Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) terlihat bahwa sebesar 24,4% perempuan mengalami kekerasan seksual. Banyaknya kasus kekerasan seksual di ranah pendidikan seperti perguruan tinggi terjadi karena pelaku merasa memiliki kekuasaan untuk berlaku sewenang-wenang pada korban yang membuat korban tidak berdaya dan takut melapor. Tidak sedikit pula kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus ditutup-tutupi oleh pihak kampus dengan alasan untuk menjaga nama baik atau reputasi kampusnya.

Seperti halnya yang terjadi pada seorang mahasiswi dari salah satu kampus di Indonesia yang terjadi pada tahun 2021. Korban ditemukan di makam ayahnya dengan keadaan sudah tidak bernyawa. Korban meninggal dunia karena bunuh diri dengan meminum racun karena depresi akibat adanya tindak pelecehan seksual (pemerkosaan) oleh pacarnya sebagai pelaku. Tak hanya itu, korban juga dipaksa untuk melakukan aborsi sebanyak dua kali oleh pelaku tersebut.

Menyikapi kejadian tersebut, tentunya gaya pacaran yang dilakukan oleh pasangan tersebut dapat dikatakan memiliki dampak yang cukup serius. Korban dipaksa untuk melakukan hubungan seksual dan dipaksa untuk meminum obat penggugur kandungan sebagai tindakan aborsi. Dari kejadian tersebut, kekerasan seksual berdampak pada kondisi psikis korban yang dapat menyebabkan kematian
seperti mahasiswi tersebut.

Teori Struktural Fungsional Talcott Parsons
Talcott Parsons lahir di Spring, Colorado pada tanggal 13 Desember 1902 dan meninggal pada tanggal 18 Mei 1979 di Munchen. Parsons menerbitkan sebuah buku yang berjudul "The Structure of Social Action" yang memperkenalkan pemikiran tokoh sosiologi utama.


Salah satu teori Parsons adalah struktural fungsional. Teori ini timbul melalui perspektif atau cara pandang yang menganggap bahwa masyarakat merupakan sebuah organisme biologis. Teori ini melihat masyarakat sebagai sebuah kesatuan yang terbentuk ke dalam sebuah equilibrium dan melakukan interaksi antara komponen dalam hidup manusia itu sendiri. Apabila suatu elemen
atau komponen dalam masyarakat tersebut hilang maka akan memicu terjadinya perubahan pada bagian yang lain dengan demikian, bagian-bagian yang sudah terstruktur tidak berfungsi dengan baik.

Seperti hal nya pada tubuh manusia yang menjadi sebuah kesatuan yang terdiri dari sistem-sistem yang banyak. Begitu juga dengan masyarakat yang terdiri dari subsistem yang akan membentuk sistem yang bersifat besar. Masyarakat juga dapat membentuk sebuah kesatuan dengan adanya sebuah konsensus atau kesepakatan. Menurut Parsons ada prasyarat penting agar sebuah sistem masyarakat dapat bertahan menjadi sebuah kesatuan, konsep tersebut dinamakan AGIL (Adaptation, Goal Attainment, Integration, Latency).

Adaptation, sebuah struktur dalam masyarakat harus mengadaptasikan dengan lingkungan dimana struktur itu berada. Misalnya pada subsistem ekonomi, maka subsistem tersebut harus beradaptasi dengan subsistem lainnya seperti agama, politik, dan kebudayaan. Goal attainment, merupakan sebuah proses menerjemahkan tujuan dari sebuah sistem. Bagian-bagian dari keseluruhan sistem harus mendukung pada tujuan sistem yang lebih besar. Integration, merupakan sebuah proses penyatuan subsistem yang ada dalam masyarakat menjadi sebuah kesatuan. Latency, pemeliharaan pola-pola atau subsistem yang keluar dari fungsi utamanya. Maka untuk mengatasi hal tersebut harus ada fungsi atau struktur tertentu untuk memelihara order yang ada dalam masyarakat.

Teori Konflik Ralf Dahrendorf
Ralf Dahrendorf merupakan seorang sosiolog dan filsuf terkenal yang lahir di Jerman pada tanggal 1 Mei 1929. Di tahun 1948, Dahrendorf pindah ke Inggris untuk belajar kursus politik. Ralf Dahrendorf juga mempelajari kelas dan konflik dalam realitas masyarakat industri.

Asumsi dasar dari teori ini adalah perubahan struktural masyarakat terjadi karena adanya otoritas yang menyebabkan konflik muncul dari adanya relasi-relasi sosial tersebut. Sehingga tidak akan ada konflik jika tidak ada konsensus (kesepakatan) yang mendahuluinya. Masyarakat selalu dalam keadaan konflik untuk menuju proses perubahan. Konflik kelas ini muncul karena adanya pemisahan antara kepemilikan kelas dan pengendalian produksi. Dalam teoeri ini masyarakat selalu tunduk pada proses perubahan yang terjadi.

Berbeda dengan fungsionalisme struktural yang menganggap bahwa kestabilan masyarakat dilakukan secara sukarela dan bersifat statis, teori konflik beranggapan bahwa kestabilan dan kesesuaian masyarakat terjadi karena terpaksa. Dahrendorf melihat setiap orang memiliki kekuasaan atau otoritas yang berbeda-beda yang terdapat dalam posisi individu itu berada. Sifat teori konflik yang memaksa dikarenakan adanya wewenang dan kekuasaan yang unggul dengan demikian distribusi kekuasaan yang tidak seimbang menjadi penyebab dari timbulnya konflik.

Analisis Gaya Pacaran Terhadap Terjadinya Kekerasan Seksual Menurut
Teori Struktural Fungsional Talcott Parsons dan Teori Konflik Ralf
Dahrendorf

Konsep AGIL yang dikemukakan oleh Parsons dapat menjadi sebuah landasan dalam menganalisis kasus kekerasan seksual diatas, yaitu:
a. Adaptation: masyarakat harus beradaptasi dengan lingkungan dimana individu itu berada. Dalam permasalahan kekerasan seksual yang terjadi, peran lembaga-lembaga terkait harus saling membantu dan menyesuaikan diri. Lembaga pendidikan harus
b. Goal Attainment: Pada konsep ini, kekerasan seksual menjadi penghambat terlaksananya goal attainment. Dimana fungsi lembaga-lembaga terkait tidak bisa berjalan dengan semestinya yaitu menciptakan kesatuan masyarakat. Lembaga pendidikan terkadang tidak menjalankan fungsi tersebut, banyak kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang cenderung ditutupi karena alasan tertentu.
c. Integration: Proses penyatuan subsistem yang ada dalam masyarakat menjadi sebuah kesatuan. Seperti dalam kasus kekerasan seksual yang sudah dijelaskan sebelumnya, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan peraturan tentang kekerasan seksual yaitu Permendikbud Ristek No. 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Sesuai dengan konsep Parsons, aturan tersebut harus melibatkan semua civitas akademika masing-masing kampus. Pihak kampus tempat korban berkuliah juga harus memperhatikan hal tersebut.
d. Latency: Seringnya sub sistem sosial keluar dari fungsi utamanya, maka harus ada fungsi yang mengaturnya. Dalam kasus kekerasan seksual, institusi keluarga, agama, pendidikan memiliki peran penting untuk mengatur keteraturan
anggotanya. Melalui sosialisasi nilai dan norma betapa tidak sesuainya tindak kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku dengan aturan dan norma yang ada. Selain itu, institusi pendidikan juga harus menjalankan peraturan yang sudah dibuatnya agar menjadi sebuah komitmen.

Dahrendorf menganggap bahwa masyarakat memiliki dua wajah yaitu konflik dan konsensus. "Menekankan pada peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat". Antitesis dari teori konflik Ralf Dahrendorf tersebut dapat menjelaskan kasus kekerasan seksual yang terjadi pada seorang mahasiswa. Dimana pelaku memiliki kuasa atau otoritas terhadap korban sebagai seorang perempuan. Banyak juga anggapan bahwa laki-laki memiliki otoritas penuh atas perempuan yang tidak memiliki otoritas.

Pada kasus kekerasan seksual yang sudah dijelaskan diatas, perempuan sebagai korban dipaksa untuk melakukan aborsi sebanyak dua kali oleh pelaku yang merupakan pacarnya. Tidak hanya pemaksaan untuk aborsi, melainkan tindak pemerkosaan juga dialami oleh korban. Korban juga sudah sempat untuk melaporkan kejadian tersebut kepada pihak kampus, tetapi belum sampai pada proses mitigasi korban sudah meninggal dunia. Otoritas yang melekat pada pelaku menduduki posisi sebagai 'kakak tingkat' yang mengendalikan bawahannya (korban) sehingga terjadilah sebuah konflik antara korban dan pelaku.

Kesimpulan

Kekerasan seksual adalah sebuah tindakan pemaksaan, ancaman kepada seseorang dalam aktivitas seksual. Maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi saat ini membuat masyarakat resah. Terlebih lagi kasus tersebut sering terjadi di beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Kasus tersebut sudah pasti menimbulkan kerugian bagi korban, misalnya psikis dan rasa trauma yang didapat. Kekerasan seksual ini perlu diberi perhatian khusus. Pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan aturan Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi untuk melindungi mahasiswa dari tindak kekerasan seksual di lingkungan kampusnya. 

Dalam pandangan tokoh sosiologi, Talcott Parsons dalam teori struktural fungsionalis melihat bahwa untuk mencapai sebuah kesatuan masyarakat diperlukannya 4 syarat fungsional yang dinamakan dengan konsep AGIL (Adaptation, Goal Attainment, Integration, Latency). Teori ini beranggapan bahwa masyarakat seperti hal nya pada organ tubuh manusia yang menjadi sebuah
kesatuan yang terdiri dari sistem-sistem yang banyak. Dalam pandangannya Ralf Dahrendorf tentang teori konflik, masyarakat yang terlibat konflik adalah mereka yang memiliki kekuasaan atau otoritas. Pelaku kekerasan seksual yang terjadi diyakini memiliki kekuasaan atas korban sehingga ia bisa melakukan tindak kekerasan seksual tersebut.

Daftar Pustaka


Bernard Raho. (2021). Teori Sosiologi Modern (Edisi Revisi). Ledalero.

Devi, C. N. (2013). Kekerasan dalam pacaran (studi kasus pada mahasiswa yang
pernah melakukan kekerasan dalam pacaran). Skripsi Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negri Yogyakarta, 1-11.

Douglas J. Goodman, G. R. (2005). Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Prenada
Media.

Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Fungsionalisme hingga Post-modernisme.
Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Accessed 16 December 2022.

Ritzer, George. 2012. Edisi kedelapan Teori Sosiologi: Dari Sosiologi
Klasiksampai Perkembangan Terakhir Posmodern. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar

Rini, R. (2022). Bentuk dan Dampak Kekerasan Dalam Berpacaran: Perspektif
Perbedaan Jenis Kelamin. IKRA-ITH HUMANIORA: Jurnal Sosial dan
Humaniora, 6(2), 84-95.

Safitri, W. A. (2013). Dampak kekerasan dalam berpacaran.

Yudiandani, P., & Arkheo, M. Analisis Gaya Pacaran Mahasiswa FKIP
Universitas Riau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun