Mohon tunggu...
SASI MILIARTI
SASI MILIARTI Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA UNIVERSITAS MERCU BUANA

NIM : 41821110005 Fakultas : Ilmu Komputer Prodi : Sistem Informasi Kampus : Meruya Dosen Pengampu : Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kebatinan Mangkunegaran IV pada Upaya Pencegahan Korupsi dan Transformasi Memimpin Diri Sendiri

21 November 2024   20:36 Diperbarui: 21 November 2024   22:51 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kebatinan merupakan salah satu konsep luhur dalam budaya Jawa yang mencerminkan pandangan hidup, filsafat, dan nilai-nilai spiritual masyarakatnya. Istilah kebatinan merujuk pada upaya manusia untuk memahami dan menyelaraskan diri dengan esensi kehidupan melalui penghayatan nilai-nilai batiniah. Dalam tradisi Jawa, kebatinan tidak hanya dipandang sebagai bentuk spiritualitas, tetapi juga sebagai pedoman etika yang membentuk perilaku dan hubungan seseorang dengan Tuhan, sesama, serta alam semesta. Salah satu tokoh yang memberikan pandangan mendalam tentang kebatinan adalah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV, seorang pemimpin besar dan budayawan Jawa pada abad ke-19. Pemikiran-pemikiran beliau mengenai kebatinan banyak dituangkan dalam karya-karya sastra seperti Serat Wedhatama, yang hingga kini masih menjadi rujukan dalam memahami spiritualitas Jawa. 

Dokpri PPT Modul Prof Apollo
Dokpri PPT Modul Prof Apollo

Dalam pandangan Mangkunegara IV, kebatinan memiliki peran penting sebagai dasar kehidupan yang seimbang. Kebatinan tidak hanya mencakup hubungan vertikal manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan horizontal dengan sesama manusia dan lingkungan. Melalui prinsip-prinsip seperti eling lan waspada (selalu ingat dan waspada), prasaja (kesederhanaan), serta manjing ajur-ajer (kemampuan beradaptasi tanpa kehilangan jati diri), kebatinan menjadi panduan untuk menjalani hidup yang harmonis. Selain itu, ajaran ini juga menekankan pentingnya pengendalian diri, introspeksi, dan pengakuan atas kesalahan sebagai cara untuk mencapai kesempurnaan batin. 

Dalam konteks kepemimpinan, kebatinan menurut Mangkunegara IV memberikan landasan nilai-nilai moral dan spiritual yang diperlukan oleh seorang pemimpin. Melalui pemahaman mendalam tentang kebatinan, seorang pemimpin tidak hanya bertugas untuk memerintah, tetapi juga melindungi, membimbing, dan memberikan ketenteraman kepada rakyatnya. Dengan demikian, kebatinan tidak hanya menjadi landasan etis bagi individu, tetapi juga untuk kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

WHAT? (Kepempinan KGPAA Mangkunegaran IV)

Dokpri PPT Modul Prof Apollo
Dokpri PPT Modul Prof Apollo

Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV (1853--1881) adalah salah satu pemimpin besar di Kadipaten Mangkunegaran, Surakarta, yang dikenal karena pandangan-pandangannya yang mendalam tentang kebudayaan, filsafat, dan spiritualitas Jawa. Beliau adalah tokoh penting dalam sejarah Jawa yang memadukan kepemimpinan politik, kecintaan pada seni, dan kebijakan berbasis nilai-nilai luhur budaya. Mangkunegara IV sering kali dianggap sebagai pemimpin yang visioner, yang tidak hanya memerintah dengan kebijaksanaan, tetapi juga menciptakan warisan intelektual yang kaya, terutama dalam bidang sastra.

Dokpri Kreator
Dokpri Kreator

Salah satu kontribusi utama Mangkunegara IV adalah penggubahannya atas berbagai karya sastra yang sarat dengan ajaran kebatinan dan filsafat hidup Jawa, seperti Serat Wedhatama dan Serat Tripama. Dalam Serat Wedhatama, beliau memberikan panduan spiritual yang menekankan pentingnya eling (ingat kepada Tuhan) dan waspada (berhati-hati dalam hidup). Ajaran-ajaran tersebut merefleksikan filosofi hidup yang menyeimbangkan aspek spiritual, sosial, dan personal, sehingga relevan bagi kehidupan manusia pada zamannya maupun masa kini.

Dalam kepemimpinannya, Mangkunegara IV dikenal sangat memperhatikan kemajuan rakyatnya, baik dari segi kesejahteraan maupun pendidikan. Beliau memperkenalkan inovasi dalam administrasi pemerintahan dan mengembangkan sektor ekonomi dengan mengelola perkebunan tebu dan pabrik gula yang sukses. Di sisi lain, beliau juga memberikan perhatian besar pada pelestarian budaya, seperti seni tari, musik gamelan, dan sastra, yang menjadi identitas utama Mangkunegaran.

Filsafat Mangkunegara IV sering berakar pada konsep harmoni, yaitu keseimbangan antara manusia, Tuhan, dan alam. Melalui karya-karyanya, beliau menyampaikan pesan moral dan spiritual untuk membimbing masyarakat agar hidup dengan kesederhanaan, introspeksi, dan pengendalian diri. Dengan kepribadian yang sederhana namun berwibawa, Mangkunegara IV tetap dikenang sebagai tokoh yang berhasil menggabungkan kebijaksanaan tradisional dengan visi kemajuan yang modern.

Kategori Kepemimpinan Raos Gesang Mangkunegaran IV: Bisa Rumangsa, Ojo Rumangsa Bisa, Angrasa Wani, Angrasa Kleru, Bener Tur Pener
Dokpri Kreator
Dokpri Kreator

  • Bisa Rumangsa, Ojo Rumangsa Bisa

Prinsip ini memiliki makna bahwa seorang pemimpin harus memiliki kepekaan untuk merasakan kebutuhan dan persoalan yang dihadapi rakyatnya. Bisa rumangsa berarti mampu merasakan atau memahami situasi dan perasaan orang lain. Di sisi lain, ojo rumangsa bisa mengingatkan seorang pemimpin agar tidak sombong atau merasa paling mampu. Mangkunegara IV menjalankan prinsip ini dengan menunjukkan empati terhadap rakyatnya dan tetap rendah hati meskipun beliau memiliki kuasa. Kepemimpinan ini mencerminkan keseimbangan antara kompetensi dan kesadaran diri, di mana seorang pemimpin diharapkan terus belajar dan tidak merasa paling benar.

Mangkunegara IV mewujudkan prinsip ini dalam kebijakannya yang adil terhadap rakyat. Sebagai contoh, beliau memastikan bahwa hasil perekonomian dari perkebunan tebu dan pabrik gula tidak hanya digunakan untuk istana, tetapi juga untuk kepentingan rakyat, seperti pembangunan infrastruktur dan pendidikan. Beliau menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus melayani, bukan sekadar memerintah.

  • Angrasa Wani

Prinsip angrasa wani berarti memiliki keberanian dalam menghadapi tantangan atau mengambil keputusan yang sulit. Keberanian ini tidak hanya berarti keberanian fisik, tetapi juga moral. Mangkunegara IV dikenal sebagai pemimpin yang tegas dan tidak ragu dalam menjalankan kebijakan yang diyakini benar, meskipun menghadapi risiko atau perlawanan.

Sebagai seorang raja Jawa yang hidup dalam periode kolonialisme, keberanian Mangkunegara IV tercermin dalam upayanya untuk mempertahankan kedaulatan Mangkunegaran sambil menavigasi hubungan dengan pemerintah kolonial. Beliau berani mengintegrasikan pembaruan modern dalam ekonomi dan pemerintahan tanpa kehilangan jati diri budaya lokal. Dalam konteks ini, angrasa wani berarti memiliki keberanian untuk berubah dan beradaptasi demi kesejahteraan rakyat.

  • Angrasa Kleru

Prinsip ini mengajarkan seorang pemimpin untuk berani mengakui kesalahan atau kekeliruan yang dibuat. Mangkunegara IV memahami bahwa tidak ada manusia yang sempurna, termasuk pemimpin. Seorang pemimpin yang baik bukanlah yang selalu benar, tetapi yang mau belajar dari kesalahan.

Dalam kepemimpinan raos gesang, angrasa kleru mengingatkan pentingnya introspeksi dan evaluasi diri. Mangkunegara IV kerap merefleksikan tindakan-tindakannya dalam karya sastra seperti Serat Wedhatama, yang berisi ajaran moral dan spiritual. Hal ini menunjukkan bahwa beliau tidak hanya menuntut kesempurnaan dari rakyatnya, tetapi juga dari dirinya sendiri. Keberanian untuk mengakui kesalahan ini memperkuat legitimasi moral dan kepercayaan rakyat terhadap pemimpin.

  • Bener Tur Pener

Prinsip bener tur pener berarti bertindak benar sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku, serta melakukannya dengan cara yang tepat. Bener merujuk pada kebenaran dalam esensi atau substansi, sementara pener berarti ketepatan dalam pelaksanaan. Mangkunegara IV menjalankan kepemimpinan yang tidak hanya berfokus pada hasil, tetapi juga pada proses yang bermartabat dan etis.

Dalam konteks kepemimpinan beliau, bener tur pener tercermin dalam upaya menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas. Mangkunegara IV memastikan bahwa modernisasi yang dilakukan tidak merusak tatanan budaya lokal. Misalnya, meskipun beliau mengadopsi teknologi modern dalam bidang ekonomi, beliau tetap memprioritaskan pelestarian seni dan budaya Jawa, seperti tari, gamelan, dan sastra.

Kategori Kepemimpinan Mangkunegara IV: Aja Gumunan, Aja Kagetan, Aja Dumeh, Prasaja, Manjing Ajur Ajer

Dokpri Kreator
Dokpri Kreator
  • Aja Gumunan

Prinsip aja gumunan berarti jangan mudah terheran-heran atau terpukau oleh hal baru. Pemimpin yang aja gumunan adalah pemimpin yang memiliki keteguhan hati dan pemikiran yang kritis dalam menghadapi perubahan atau inovasi. Mangkunegara IV memahami bahwa seorang pemimpin harus mampu memandang sesuatu dengan jernih, tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal yang sekilas tampak mengesankan tetapi belum tentu substansial.

Dalam kepemimpinannya, Mangkunegara IV menunjukkan sikap ini dengan bijak mengadopsi modernisasi. Meski mengapresiasi kemajuan teknologi dan ekonomi pada masa kolonial, beliau tidak langsung menerimanya tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap rakyat dan budaya lokal. Dengan sikap ini, beliau mampu menjaga kestabilan Mangkunegaran tanpa kehilangan identitas budaya Jawa.

  • Aja Kagetan

Jangan mudah kaget adalah inti dari prinsip aja kagetan. Pemimpin yang ideal tidak mudah terkejut atau kehilangan kendali ketika menghadapi tantangan atau perubahan mendadak. Prinsip ini menekankan pentingnya ketenangan, pengendalian emosi, dan kemampuan berpikir strategis.

Mangkunegara IV menunjukkan prinsip ini dalam menghadapi tekanan dari pemerintah kolonial Belanda. Meskipun situasi politik dan ekonomi saat itu penuh dengan tantangan, beliau tetap tenang dan menjalankan kebijakan yang menguntungkan rakyatnya. Sikap tidak tergesa-gesa atau emosional ini memungkinkan beliau membuat keputusan yang matang, baik dalam diplomasi maupun dalam pengelolaan Mangkunegaran.

  • Aja Dumeh

Prinsip aja dumeh berarti jangan merasa sombong atau bertindak sewenang-wenang hanya karena memiliki kedudukan, kekuasaan, atau kelebihan tertentu. Mangkunegara IV menekankan pentingnya kerendahan hati dalam kepemimpinan. Seorang pemimpin harus mengingat bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan alat untuk memuaskan ego atau menunjukkan superioritas.

Mangkunegara IV menjalankan prinsip ini dengan menjaga hubungan yang harmonis dengan rakyatnya. Beliau tidak hanya memerintah, tetapi juga melayani dan berbaur dengan masyarakat. Sikap rendah hati ini membuat beliau dicintai oleh rakyatnya, sekaligus membangun kepercayaan yang kuat antara pemimpin dan masyarakat.

  • Prasaja

Prinsip prasaja mengajarkan kesederhanaan dalam hidup dan kepemimpinan. Kesederhanaan bukan berarti kekurangan, melainkan sikap yang mengutamakan esensi daripada kemewahan. Mangkunegara IV percaya bahwa seorang pemimpin tidak perlu menunjukkan kemegahan atau gaya hidup berlebihan untuk mendapatkan penghormatan.

Dalam kehidupan sehari-hari, beliau menjalankan prinsip ini dengan tidak berlebihan dalam kemewahan istana dan lebih fokus pada pembangunan rakyatnya. Kesederhanaan beliau terlihat dalam kebijakan yang mementingkan kesejahteraan rakyat, seperti pembangunan sekolah dan pengelolaan pabrik gula untuk meningkatkan ekonomi Mangkunegaran.

  • Manjing Ajur Ajer

Prinsip manjing ajur ajer berarti kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi tanpa kehilangan jati diri. Pemimpin yang memegang prinsip ini mampu menyatu dengan lingkungannya, baik dalam suasana formal maupun informal. Mangkunegara IV memahami pentingnya fleksibilitas dalam kepemimpinan, terutama dalam masa perubahan.

Beliau mampu beradaptasi dengan kebijakan pemerintah kolonial tanpa meninggalkan identitas Jawa. Hal ini tercermin dalam cara beliau mengintegrasikan nilai-nilai tradisional dengan pembaruan modern. Sebagai contoh, beliau memadukan pengelolaan tradisional dengan teknologi modern dalam pertanian dan industri. Fleksibilitas ini membuat kepemimpinannya relevan di tengah tantangan zaman.

Kategori Kepemimpinan Asta Brata dalam Serat Rama Jarwa (R. Ng. Yasadipura):

Dokpri Kreator
Dokpri Kreator
  • Ambeging Lintang (Sifat Bintang)

Bintang adalah lambang konsistensi, keteguhan, dan petunjuk arah. Pemimpin yang meneladani sifat lintang harus menjadi sumber inspirasi dan panutan bagi rakyat. Ia memberikan arah yang jelas dalam menjalankan pemerintahan dan mampu menjaga stabilitas dalam masyarakat. Seperti bintang yang tetap bersinar di langit malam, pemimpin harus konsisten dalam prinsip dan tidak mudah goyah oleh tekanan.

  • Ambeging Surya (Sifat Matahari)

Surya melambangkan kehangatan, energi, dan keadilan. Pemimpin yang mencontoh sifat matahari harus mampu menyinari dan memberikan keadilan secara merata kepada seluruh rakyatnya tanpa diskriminasi. Kehadirannya membawa harapan dan semangat bagi rakyat, seperti matahari yang selalu menyinari bumi setiap hari.

  • Ambeging Rembulan (Sifat Bulan)

Rembulan adalah simbol kelembutan, ketenangan, dan kedamaian. Pemimpin yang meneladani sifat bulan harus mampu menenangkan rakyatnya, menciptakan harmoni, dan memberikan rasa aman. Sifat ini menuntut pemimpin untuk memiliki kasih sayang yang tulus kepada rakyatnya, seperti sinar bulan yang menyejukkan di malam hari.

  • Ambeging Angin (Sifat Angin)

Angin melambangkan fleksibilitas, kehadiran yang tidak terlihat, dan kebebasan. Pemimpin yang mencontoh sifat angin harus mampu bergerak dengan cepat, tanggap, dan peka terhadap kebutuhan rakyat. Ia harus hadir di mana-mana seperti angin yang tidak terlihat, tetapi keberadaannya dapat dirasakan oleh semua orang.

  • Ambeging Mendhung (Sifat Awan)

Mendhung (awan) adalah simbol perlindungan dan kewaspadaan. Pemimpin yang meneladani sifat mendhung harus mampu melindungi rakyatnya dari ancaman dan bahaya. Ia harus bijaksana dalam mengambil keputusan, memastikan bahwa tindakannya memberikan manfaat bagi rakyat seperti awan yang memberikan kesejukan sebelum turunnya hujan.

  • Ambeging Geni (Sifat Api)

Geni melambangkan energi, semangat, dan kekuatan untuk membasmi kejahatan. Pemimpin yang mengikuti sifat api harus berani dan tegas dalam menegakkan keadilan. Ia harus mampu memotivasi rakyat dan membakar semangat mereka untuk mencapai kemajuan bersama, sambil tetap menjaga keseimbangan agar api tersebut tidak merusak.

  • Ambeging Banyu (Sifat Air)

Banyu adalah simbol keluwesan, kesederhanaan, dan kedermawanan. Pemimpin yang meneladani sifat air harus mampu beradaptasi dengan berbagai situasi, seperti air yang selalu menyesuaikan bentuknya dengan wadah. Ia juga harus dermawan dan mampu mengalirkan manfaat kepada rakyatnya tanpa pilih kasih, seperti air yang memberi kehidupan kepada semua makhluk.

  • Ambeging Bumi (Sifat Bumi)

Bumi melambangkan kesabaran, keteguhan, dan pemberi kehidupan. Pemimpin yang mencontoh sifat bumi harus memiliki hati yang luas, sabar dalam menghadapi permasalahan, dan mampu menanggung beban demi rakyat. Ia juga harus menjadi tempat berlindung dan sumber kekuatan bagi rakyatnya, seperti bumi yang menjadi pijakan bagi kehidupan.

Kategori Kepemimpinan Mangkunegaran IV: nistha, madya, utama

Dokpri Kreator
Dokpri Kreator
  • Nistha: Kategori ini menggambarkan kepemimpinan yang dianggap rendah atau buruk. Seorang pemimpin dengan kualitas "nistha" sering kali gagal dalam menjalankan tugas atau tidak dapat memenuhi ekspektasi yang ada. Kepemimpinan jenis ini sering kali dihubungkan dengan kurangnya kemampuan atau komitmen dalam mengambil keputusan dan mengelola kepentingan masyarakat atau organisasi.
  • Madya: Kategori ini menggambarkan kepemimpinan yang berada pada tingkat menengah. Pemimpin dalam kategori ini dapat menjalankan tugas dengan cukup baik, meskipun belum mencapai standar terbaik. Mereka mampu memimpin, namun terkadang masih ada kelemahan dalam pengambilan keputusan atau dalam mengelola sumber daya dan hubungan antar pihak terkait.
  • Utama: Kategori ini menggambarkan kepemimpinan yang dianggap terbaik atau utama. Pemimpin dengan kualitas "utama" memiliki kapasitas dan integritas tinggi dalam memimpin. Mereka dapat mengelola negara atau organisasi dengan sangat baik, menghasilkan kebijakan yang bermanfaat, dan memiliki kemampuan untuk memimpin dalam berbagai situasi yang kompleks. Kepemimpinan ini memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat dan menjadi teladan.

Pengertian Upaya Pencegahan Korupsi dan Transformasi Memimpin Diri Sendiri

Dokpri Kreator
Dokpri Kreator

Upaya Pencegahan Korupsi adalah serangkaian langkah yang diambil untuk mengurangi atau menghilangkan praktik korupsi dalam masyarakat dan institusi. Langkah-langkah ini meliputi penerapan kebijakan anti-korupsi yang jelas, peningkatan transparansi dalam pengelolaan anggaran dan keputusan penting, serta pendidikan dan sosialisasi tentang kejujuran dan integritas. Selain itu, penguatan lembaga pengawasan dan sistem pengendalian internal yang baik juga merupakan bagian dari upaya ini, untuk memastikan bahwa tindakan korupsi dapat terdeteksi dan diberantas secara efektif, menciptakan budaya pemerintahan yang bersih dan akuntabel.

Transformasi Memimpin Diri Sendiri adalah proses perubahan pribadi yang fokus pada pengembangan karakter, pengendalian diri, dan kesadaran diri. Individu yang menjalani transformasi ini mampu mengelola emosi dan pengambilan keputusan dengan bijaksana, serta bertanggung jawab atas tindakan dan dampaknya. Melalui kesadaran akan nilai-nilai dan tujuan hidup, serta pengembangan ketahanan mental, seseorang dapat memimpin dirinya sendiri dengan integritas, menjaga disiplin dalam mencapai tujuan, dan terus berkembang secara pribadi. Proses ini memperkuat kapasitas individu untuk menjadi pemimpin yang lebih efektif, baik dalam kehidupan pribadi maupun profesional.

Mengapa Kebatinan KGPAA Mangkunegaran IV Relevan untuk Pencegahan Korupsi?

Dokpri Kreator
Dokpri Kreator

Kebatinan dalam konteks KGPAA Mangkunegaran IV sangat relevan untuk pencegahan korupsi karena prinsip-prinsip kebatinan mengajarkan nilai-nilai moral, spiritual, dan etika yang kuat yang dapat membentuk karakter pemimpin dan masyarakat secara keseluruhan. KGPAA Mangkunegaran IV, sebagai seorang tokoh spiritual dan pemimpin, mempromosikan ajaran-ajaran yang mengedepankan kejujuran, integritas, serta tanggung jawab sosial, yang merupakan nilai penting dalam pencegahan tindakan korupsi.

Berikut beberapa alasan mengapa kebatinan ini relevan dalam pencegahan korupsi:

  • Pembangunan Karakter dan Integritas

Ajaran kebatinan mengedepankan pemahaman diri, pengendalian diri, dan kesadaran akan tanggung jawab sosial. Ini mendorong pemimpin dan individu untuk bertindak dengan integritas, tidak mudah tergoda oleh hawa nafsu atau kepentingan pribadi yang bisa merugikan orang lain atau negara.

  • Pentingnya Keteladanan Pemimpin

Dalam kebatinan, pemimpin dihormati karena kesucian dan keteladanan moral yang mereka tunjukkan. Jika seorang pemimpin berpegang pada prinsip kebatinan yang menekankan kejujuran dan keadilan, mereka akan menjadi contoh bagi bawahannya dan masyarakat luas, menciptakan budaya yang lebih sadar akan pentingnya pencegahan korupsi.

  • Kesadaran Spiritual tentang Dosa dan Akuntabilitas

Dalam ajaran kebatinan, ada kesadaran yang mendalam mengenai dampak dari tindakan buruk (dosa) dan konsekuensinya, baik di dunia maupun di akhirat. Pemahaman ini bisa mendorong individu untuk bertindak dengan lebih hati-hati dan menghindari perilaku yang merugikan orang lain, seperti korupsi.

  • Kearifan Lokal dan Nilai Keadilan

KGPAA Mangkunegaran IV juga mendorong nilai-nilai keadilan dan kesejahteraan bersama, yang merupakan dasar untuk menciptakan pemerintahan yang bersih. Konsep kebatinan mengajarkan bahwa semua tindakan harus dilakukan untuk kepentingan bersama, bukan demi kepentingan pribadi, yang mengurangi peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.

  • Menghindari Ketamakan dan Keserakahan

Dalam kebatinan, penting untuk menanggalkan ego dan hawa nafsu yang bersifat duniawi. Ketamakan, yang seringkali menjadi akar dari tindakan korupsi, diajarkan untuk dihindari. Pemimpin yang memahami ajaran kebatinan akan lebih fokus pada kepentingan rakyat dan negara daripada memenuhi kebutuhan pribadi mereka.

HOW? (Bagaimana Kebatinan KGPPA Mangkunegaran IV Dapat Diterapkan untuk Mencegah Korupsi dan Transformasi Diri?)

Dokpri Kreator
Dokpri Kreator

Kebatinan KGPPA Mangkunegaran IV untuk Mencegah Korupsi dan Transformasi Diri

Kebatinan yang diajarkan oleh KGPPA Mangkunegaran IV berfokus pada penguatan batin, moralitas, dan kepemimpinan yang bijaksana. Prinsip-prinsip kebatinan ini dapat diterapkan untuk mencegah korupsi dan transformasi diri melalui beberapa cara:

  • Kesadaran Diri dan Integritas: Melalui kebatinan, seseorang diajarkan untuk mengenali dan mengatasi kelemahan batin, serta menjaga kesadaran diri dalam setiap langkah kehidupan. Ini membangun integritas yang kuat, yang mengurangi godaan untuk terlibat dalam tindakan korupsi.
  • Ketulusan dan Keseimbangan: Kebatinan menekankan pentingnya ketulusan hati dan keseimbangan antara duniawi dan spiritual. Kepemimpinan yang didasarkan pada kebatinan akan menjaga agar pengaruh pribadi atau materi tidak lebih diutamakan daripada kepentingan umum, sehingga mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
  • Transformasi Pribadi: Melalui kebatinan, individu berfokus pada proses introspeksi dan pembersihan diri dari sifat-sifat negatif. Proses ini mengarah pada transformasi diri menjadi lebih baik dan lebih bijaksana dalam mengambil keputusan, termasuk dalam konteks kepemimpinan.

Kepemimpinan Serat Pramayoga Ranggawasita Mangkunegaran IV 5 Hang 3 Ha

Dokpri Modul PPT Prof Apollo
Dokpri Modul PPT Prof Apollo

KGPPA Mangkunegaran IV juga mengajarkan prinsip-prinsip kepemimpinan yang dikenal dengan Pramayoga Ranggawasita yang terdiri dari 8 prinsip, yang dikenal dengan istilah 5 Hang dan 3 Ha. Setiap prinsip ini memberikan panduan tentang bagaimana seorang pemimpin seharusnya bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Berikut adalah penjelasan mengenai 8 prinsip tersebut:

  • Hang Nguripi (Menghidupi)

Prinsip ini mengajarkan pemimpin untuk memberikan kehidupan dan energi kepada orang lain. Seorang pemimpin harus mampu menginspirasi dan memberikan dorongan bagi orang-orang di sekitarnya agar mereka dapat berkembang. Dalam konteks pencegahan korupsi, pemimpin yang menghidupi akan memberikan contoh keteladanan dalam perilaku jujur, terbuka, dan adil.

  • Hang Rungkepi (Menyelesaikan)

Pemimpin yang menerapkan prinsip hang rungkepi bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah yang ada, bukan hanya menghindar atau mengabaikan tantangan. Dalam konteks organisasi atau negara, prinsip ini mengajarkan untuk mengatasi masalah dengan tekad, dan bukan lari dari masalah atau memberi kesempatan untuk kebusukan (korupsi) berkembang.

  • Hang Ruwat (Membebaskan)

Prinsip ini berkaitan dengan membersihkan dan membebaskan diri dan orang lain dari sifat-sifat negatif yang dapat merusak integritas. Sebagai contoh, dalam konteks kepemimpinan, seorang pemimpin harus mampu menyadarkan orang lain untuk melepaskan diri dari korupsi, ketidakjujuran, dan pola pikir yang merugikan masyarakat.

  • Hang Ayomi (Menyayangi)

Prinsip ini menekankan kasih sayang dan perhatian terhadap sesama. Seorang pemimpin yang mengayomi akan mendengarkan kebutuhan dan aspirasi orang lain, serta bertindak dengan empati. Dalam pencegahan korupsi, pemimpin yang mengayomi akan berusaha menciptakan lingkungan yang saling mendukung dan menumbuhkan kepercayaan antara rakyat dan pemerintah.

  • Hang Uribi (Menyuburkan)

Pemimpin yang mengamalkan prinsip hang uribi bertugas untuk menumbuhkan dan memajukan lingkungan sekitar dengan cara yang sehat dan positif. Ini termasuk menciptakan sistem yang adil, berkelanjutan, dan jauh dari praktek korupsi. Pemimpin yang menyuburkan akan bekerja untuk kesejahteraan bersama dan tidak akan membiarkan korupsi berkembang.

  • Ha Mayu (Membangun Keindahan)

Prinsip ini menekankan pada membangun kehidupan yang harmonis dan indah dengan memperhatikan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat. Dalam konteks pencegahan korupsi, pemimpin yang menerapkan prinsip ha mayu akan berusaha menciptakan suasana yang penuh dengan moralitas, kejujuran, dan keindahan sosial.

  • Ha Mengkoni (Mengembangkan)

Pemimpin yang menerapkan prinsip ha mengkoni akan mengedepankan pengembangan diri dan masyarakat secara terus-menerus. Ini termasuk memperkuat kelembagaan, memberikan pendidikan moral, dan membangun sistem yang mendukung integritas serta pencegahan korupsi. Pemimpin yang mengembangkan akan selalu mencari cara-cara baru untuk meningkatkan sistem sosial dan pemerintahan agar lebih baik dan transparan.

  • Ha Nata (Mengatur)

Prinsip ha nata berkaitan dengan kemampuan seorang pemimpin untuk mengatur dan menata segala sesuatunya dengan bijaksana. Ini termasuk menciptakan aturan yang jelas, adil, dan transparan. Dalam mencegah korupsi, pemimpin yang baik harus mampu mengatur sistem yang tidak memungkinkan adanya celah untuk penyalahgunaan kekuasaan, dengan menegakkan hukum dan etika secara konsisten.

Dokpri Modul PPT Prof Apollo
Dokpri Modul PPT Prof Apollo

Kepemimpinan dalam Serat Wedhotomo Mangkunegaran IV mengajarkan banyak prinsip yang dapat diterapkan dalam pencegahan korupsi dan transformasi diri. Ajaran ini berfokus pada kesadaran diri, kewaspadaan, dan etika moral yang tinggi dalam bertindak, baik dalam kehidupan pribadi maupun kepemimpinan. Berikut adalah penjelasan mendalam tentang beberapa prinsip dari Serat Wedhotomo Mangkunegaran IV dan bagaimana mereka dapat digunakan untuk mencegah korupsi dan melakukan transformasi diri:

Dokpri Kreator
Dokpri Kreator
  • Eling lan Waspada (Eling Tuhan, Waspada dengan Sesama dan Alam; Vertikal dan Horizontal)

Prinsip ini mengajarkan untuk selalu berkesadaran akan keberadaan Tuhan (vertikal), menjaga hubungan baik dengan sesama manusia (horizontal), serta menjaga hubungan yang harmonis dengan alam. Pemimpin yang menerapkan prinsip ini akan selalu memiliki kesadaran moral yang tinggi dan bertanggung jawab atas setiap tindakannya. Dalam pencegahan korupsi, kesadaran ini mendorong pemimpin untuk berhati-hati dalam membuat keputusan dan menghindari perilaku yang merugikan orang lain dan alam sekitar, karena tindakan mereka selalu berada dalam pengawasan Tuhan.

  • Atetambo Yen Wus Bucik (Jangan Sampai Berobat Setelah Luka)

Prinsip ini mengajarkan pentingnya pencegahan dan tindakan yang bijaksana sebelum masalah terjadi. Dalam konteks korupsi, prinsip ini mendorong pemimpin untuk selalu memperhatikan dan memperbaiki sistem sebelum terjerumus ke dalam kesalahan besar. Jangan menunggu hingga korupsi terjadi baru mencari solusi. Prinsip ini juga mengajarkan untuk memperbaiki diri sendiri terlebih dahulu agar dapat menghindari godaan untuk bertindak tidak jujur.

  • Awya Mematuh Nalutuh (Menghindari Sifat Angkara, Perbuatan Nista)

Prinsip ini mendorong untuk menghindari sifat buruk seperti keinginan untuk membalas dendam (angkara), serta segala jenis tindakan yang tidak bermoral (perbuatan nista). Dalam kepemimpinan, hal ini berarti memiliki kontrol diri yang baik dan tidak terjerumus ke dalam perangkap perilaku tidak etis seperti korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan.

  • Kareme Anguwus-Uwus Owose Tan Ana, Mung Janjine Muring-Muring (Marah-Marah pada Orang Lain Tanpa Alasan)

Prinsip ini mengingatkan kita untuk tidak mudah marah tanpa alasan yang jelas, yang bisa merusak hubungan dengan orang lain. Pemimpin yang baik tidak akan berperilaku emosional atau membuang kemarahan yang tidak konstruktif. Keberhasilan dalam mencegah korupsi juga membutuhkan sikap tenang dan terkendali, di mana pemimpin tidak akan mengambil keputusan yang dipengaruhi emosi, yang seringkali membawa dampak buruk seperti korupsi atau ketidakadilan.

  • Gonyak-Ganyuk Ngelingsemi (Kurang Sopan Santun, Memalukan)

Prinsip ini mengingatkan kita untuk berbicara dengan sopan dan menjaga etika dalam bertindak. Ketika pemimpin tidak menghargai orang lain atau bertindak dengan kurang ajar, hal ini dapat menyebabkan ketegangan dan ketidakpercayaan dalam hubungan sosial dan pemerintahan. Pemimpin yang baik adalah yang dapat menjaga perilaku baik dan berbicara dengan penuh penghargaan terhadap orang lain, ini juga sangat penting untuk menghindari praktik-praktik tidak etis seperti korupsi.

  • Nggugu Karepe Priyangga (Jangan Bertindak Sendiri Tidak Bisa Diatur)

Prinsip ini mengingatkan pemimpin untuk bekerja dalam tim dan mendengarkan masukan dari orang lain, bukan bertindak hanya berdasarkan kehendak pribadi yang tidak terkendali. Kepemimpinan yang bijaksana akan melibatkan konsultasi dan musyawarah sebelum mengambil keputusan penting, serta tidak akan mengabaikan aturan atau kebijakan yang ada. Prinsip ini juga berfungsi untuk mencegah korupsi, karena keputusan yang dibuat secara kolektif lebih transparan dan lebih mungkin untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan.

  • Traping Angganira (Dapat Menempatkan Diri)

Seorang pemimpin yang baik harus dapat menempatkan diri dengan tepat sesuai dengan situasi dan konteks. Dalam hal ini, kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan situasi sangat penting untuk mencegah korupsi, karena pemimpin yang dapat menempatkan dirinya dengan bijaksana dapat menghindari keputusan yang tidak sesuai atau melanggar norma yang berlaku. Dengan demikian, pemimpin dapat bertindak adil dan menjaga amanah.

  • Angger Ugering Keprabon (Mematuhi Tatanan Negara)

Prinsip ini mengajarkan untuk mematuhi aturan negara dan tata kelola yang ada. Seorang pemimpin harus memiliki kepatuhan terhadap hukum dan aturan yang berlaku, serta harus menunjukkan contoh yang baik dalam menghormati peraturan. Pemimpin yang patuh terhadap hukum akan lebih cenderung menghindari tindakan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.

  • Bangkit Ajur-Ajer (Bergaul dengan Siapapun)

Prinsip ini mengajarkan untuk tidak membedakan atau mengenal kasta dalam pergaulan, serta bergaul dengan siapa saja tanpa prasangka. Pemimpin yang bergaul dengan semua lapisan masyarakat akan **lebih dekat dengan rakyat** dan memahami kebutuhan mereka dengan lebih baik. Hal ini penting dalam pencegahan korupsi, karena pemimpin yang dekat dengan masyarakat akan lebih sulit tergoda untuk melakukan penyalahgunaan kekuasaan.

  • Mung Ngenaki Tyasing Lyan (Menyengkan Orang Lain Meskipun Berbeda)

Prinsip ini mengajarkan untuk tidak menyakiti orang lain, meskipun ada perbedaan. Pemimpin yang bijak akan selalu menghormati orang lain, tidak peduli latar belakang mereka. Hal ini penting dalam menjaga hubungan baik dan mencegah korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan yang sering muncul ketika pemimpin memperlakukan orang lain tidak adil.

  • Den Iso Mbasuki Ujaring Janmi (Pura-Pura Bodoh), Sinamun Ing Samudana (Cara Halus Pura-Pura), Baik (Sesadon Ing Adu Manis)

Prinsip ini mengajarkan tentang kerendahan hati dan kemampuan untuk memahami situasi dengan bijaksana, meskipun terkadang seorang pemimpin perlu mengalah atau menahan diri untuk kebaikan bersama. Dalam pencegahan korupsi, sikap rendah hati dapat membantu seorang pemimpin untuk menghindari kesombongan dan penyalahgunaan kekuasaan.

  • Ngandhar-Andhar Angendhukur, Kandhane Nora Kaprah (Berbicara Baik, Logis, Data, Jelas, dan Rendah Hati)

Prinsip ini mendorong untuk berbicara dengan bijaksana, jelas, dan berdasarkan data yang benar. Pemimpin yang berbicara dengan cara ini cenderung menghindari fitnah, informasi yang salah, dan penyalahgunaan informasi, yang semuanya bisa menjadi penyebab praktik korupsi.

  • Anggung Gumrunggung (Suka Sombong Itu Bodoh), Ugungan Sedina-Dina (Ingin Dipuji Tiap Hari)

Prinsip ini mengingatkan untuk menghindari kesombongan, karena orang yang sombong cenderung menganggap dirinya lebih tinggi dari orang lain dan bisa terjerumus dalam korupsi. Pemimpin yang rendah hati dan tidak mencari pujian akan lebih mudah dipercaya dan dihormati oleh rakyat.

  • Lumuh Asor Kudu Unggul (Sombong Dapat Dilihat dari Tutur Kata)

Prinsip ini mengajarkan untuk merendahkan diri dan tidak menyombongkan diri. Seorang pemimpin yang merendahkan hati akan selalu menjaga etika dan moralitas dalam bertindak.

  • Sumengah Sesongaran (Merendahkan Orang Lain)

Prinsip ini mengajarkan untuk menghindari merendahkan orang lai, karena hal ini akan merusak hubungan sosial dan mengarah pada ketidakadilan.

Dokpri Prof Apollo
Dokpri Prof Apollo

Pentingnya Spiritualitas dalam Kehidupan Sehari-hari

Dokpri Kreator
Dokpri Kreator
  • Waktu luang adalah kesempatan berharga yang bisa digunakan untuk memperbaiki diri, baik fisik, mental, maupun spiritual. Mengisi waktu longgar dengan kegiatan positif, seperti puasa, ngaji, tirakat, atau berdoa, adalah cara untuk menjaga keseimbangan batin dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
  • Untuk menjaga keseimbangan jiwa, penting untuk mengurangi interaksi dengan pergaulan yang tidak membawa manfaat. Terlalu banyak terlibat dalam kegiatan atau hubungan yang tidak produktif bisa membuat hati dan pikiran menjadi kacau, bahkan rentan terhadap perilaku negatif seperti stres, kecemasan, dan godaan untuk melakukan tindakan tidak etis (seperti korupsi atau tindakan yang merugikan orang lain).
  • Menjaga batin adalah tentang membatasi diri dari pengaruh buruk dan lebih memilih kegiatan yang mengarah pada pembelajaran, ketenangan, dan perbaikan diri.
  • Spiritualitas juga mendorong kita untuk selalu belajar dan meningkatkan pengetahuan. Membaca, baik itu buku-buku agama, buku pengetahuan umum, atau bahkan belajar dari pengalaman hidup, sangat bermanfaat untuk pertumbuhan pribadi. Kegiatan membaca tidak hanya meningkatkan wawasan tetapi juga mendekatkan kita pada pemahaman yang lebih dalam tentang kehidupan dan Tuhan.
  • Doa yang tulus dan sungguh-sungguh mengajak kita untuk berfokus pada keluhuran niat dan keikhlasan hati, sehingga menghindarkan kita dari perilaku yang tidak sesuai dengan ajaran agama dan nilai-nilai moral yang baik.

3 Martabat Manusia:

Dalam tradisi budaya Jawa, khususnya dalam konteks ajaran spiritual dan filosofi hidup, terdapat tiga martabat manusia yang dianggap penting dalam menentukan kualitas hidup seseorang. Ketiga martabat ini adalah:

  • Wiryo (Keluhuran)

Wiryo merujuk pada keluhuran, yang dapat diartikan sebagai kemuliaan jiwa atau keutamaan moral seseorang. Ini berkaitan dengan perilaku, budi pekerti, dan kesusilaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur. Seseorang yang memiliki martabat Wiryo akan selalu berusaha untuk berperilaku mulia, menjaga hubungan yang harmonis dengan sesama, dan berkomitmen untuk berbuat baik.

Keluhuran ini tidak hanya terlihat dari tindakan eksternal, tetapi juga dari kedalaman hati dan pikiran seseorang. Ini mencakup sifat seperti kejujuran, kasih sayang, empati, kesetiaan, dan kemampuan untuk menghargai orang lain.

Orang yang memiliki martabat Wiryo akan lebih fokus pada kebaikan dan keluhuran moral dalam kehidupan mereka, sehingga menjadi teladan bagi orang lain.

  • Arto (Kekayaan)

Arto merujuk pada kekayaan atau kemakmuran materi, yang dalam filosofi Jawa tidak hanya berarti kekayaan fisik atau harta benda, tetapi juga bisa mencakup kekayaan spiritual dan emosional. Kekayaan ini penting karena dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan untuk membantu orang lain.

Arto dalam konteks ini bukan hanya memiliki banyak harta, tetapi lebih pada pengelolaan yang bijak terhadap kekayaan untuk kepentingan yang lebih besar, seperti berbagi dengan sesama, membangun masyarakat, dan meningkatkan kesejahteraan bersama.

Seseorang yang memiliki martabat Arto harus mampu menyeimbangkan kemakmuran materi dengan nilai-nilai moral. Kekayaan yang dimiliki harus digunakan untuk kebaikan, bukan untuk menindas atau menyalahgunakan.

  • Winasis (Ilmu Pengetahuan)

Winasis merujuk pada ilmu pengetahuan atau kebijaksanaan yang dimiliki seseorang. Ini berkaitan dengan pemahaman, pengetahuan, dan keterampilan yang dimiliki untuk memperbaiki kualitas hidup serta untuk memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. Winasis tidak hanya mencakup pengetahuan duniawi, tetapi juga pemahaman spiritual dan etika.

Orang yang memiliki martabat Winasis tidak hanya terampil dalam berbagai bidang, tetapi juga memiliki kebijaksanaan untuk menggunakan pengetahuan tersebut dengan cara yang baik dan bijaksana. Ilmu pengetahuan ini digunakan untuk memberdayakan diri sendiri dan orang lain, serta untuk mewujudkan kebaikan dalam kehidupan sosial.

Winasis mencakup kebijaksanaan dalam berpikir, kemampuan untuk memahami dan memecahkan masalah, serta kepandaian untuk mengambil keputusan yang bijak dalam hidup.

Hubungan antara Tiga Martabat

Ketiga martabat ini, yaitu Wiryo, Arto, dan Winasis, saling terkait dan saling melengkapi. Untuk mencapai kehidupan yang seimbang dan berkualitas, seseorang perlu mengembangkan ketiganya:

  • Wiryo (keluhuran) memberikan pedoman moral dan etika yang mengarahkan kita untuk menggunakan Arto (kekayaan) dan Winasis (ilmu pengetahuan) dengan cara yang benar.
  • Arto atau kekayaan harus digunakan untuk kebaikan dan kepentingan umum, sedangkan Winasis atau ilmu pengetahuan harus membantu seseorang untuk memanfaatkan kekayaan dengan cara yang bijak dan bermanfaat.
  • Winasis membantu kita untuk memahami dunia ini dan membuat keputusan yang bijaksana, sementara Wiryo mengingatkan kita untuk selalu berpegang pada prinsip-prinsip moral dalam setiap tindakan yang diambil.

Dokpri Prof Apollo
Dokpri Prof Apollo

Dalam Serat Tripama atau Tripomo, terdapat tiga tokoh utama yang menjadi contoh atau ksatria keteladanan dalam ajaran moral dan etika, yaitu Bambang Sumantri (Patih Suwanda), Kumbakarna, dan Adipati Karna. Setiap tokoh ini memiliki sifat-sifat dan kebajikan yang dapat dijadikan teladan dalam kehidupan sehari-hari. Berikut adalah penjelasan masing-masing tokoh dan nilai-nilai yang dapat diambil dari mereka:

  • Bambang Sumantri / Patih Suwanda (Guna_Kaya, Purun / Kemauan Keras)

Bambang Sumantri, yang juga dikenal dengan nama Patih Suwanda, adalah seorang ksatria yang memiliki kemauan keras dan tekad yang kuat untuk mencapai tujuannya.

Teladan yang bisa diambil: Kita dapat mencontoh kemauan keras dan ketekunan dalam meraih tujuan hidup, tidak mudah menyerah meskipun menghadapi rintangan. Sebagai pemimpin, kita harus mampu mengelola kekayaan dan sumber daya dengan bijak untuk kepentingan umum.

  • Kumbakarna (Cinta Tanah Air)

Teladan yang bisa diambil: Kita dapat meneladani kesetiaan terhadap tanah air dan loyalitas kepada orang yang kita cintai atau kepada prinsip yang kita anut. Selain itu, walaupun kita mungkin tidak selalu sepenuhnya setuju dengan pilihan orang lain, penting untuk tetap menjaga kebesaran hati dan tanggung jawab terhadap negara dan masyarakat.

  • Adipati Karna (Menepati Janji, Kesetiaan, dan Keteguhan)

Teladan yang bisa diambil: Kita dapat meneladani kesetiaan dan keteguhan hati dari Karna dalam menepati janji dan berpegang teguh pada prinsip moral kita. Meskipun kadang hidup penuh dengan tantangan dan pengorbanan, kita harus tetap setia pada nilai-nilai yang benar dan tidak mudah tergoda untuk mengkhianati janji atau moral yang sudah kita pilih.

Kesimpulan

Dokpri Kreator
Dokpri Kreator

Kebatinan Mangkunegaran IV menekankan pentingnya kejujuran, kesetiaan pada prinsip, dan kebijaksanaan dalam kepemimpinan untuk mencegah korupsi dan memfasilitasi transformasi diri. Salah satu prinsip utamanya adalah eling lan waspada, yang mengajarkan pemimpin untuk selalu ingat Tuhan dan hati-hati dalam bertindak, menjaga integritas dan menghindari tindakan yang merugikan orang lain. Prinsip kemauan keras dan disiplin mengajarkan untuk berusaha dengan tekun, tidak mudah menyerah, serta menjaga diri agar tidak terjebak dalam godaan yang dapat menjerumuskan pada perilaku koruptif. Pemimpin yang baik harus menepati janji dan setia pada nilai-nilai moral, serta mampu membuat keputusan yang bijaksana dan adil untuk kepentingan banyak orang. Kebatinan Mangkunegaran IV juga mengajarkan pentingnya transformasi diri, yaitu pemimpin yang terus berusaha berkembang dan memperbaiki diri, baik secara moral maupun intelektual, untuk menjadi teladan yang baik. Dengan pengendalian diri, kesadaran akan tanggung jawab moral, dan kebijaksanaan dalam mengambil keputusan, seorang pemimpin dapat menghindari praktik korupsi, menjaga transparansi, dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil berfokus pada kesejahteraan rakyat dan negara. Prinsip-prinsip ini menjadi dasar untuk menciptakan perubahan positif dalam masyarakat.

Daftar Pustaka

  • Rangkuti, F. (2016). Kepemimpinan yang Bijaksana: Prinsip-prinsip Kepemimpinan dalam Perspektif Kebatinan Mangkunegaran IV. Jakarta: Pustaka Pelajar.
  • Mangkunegaran IV, KGPPA. (2007). Serat Mangkunegaran: Ajaran Kebatinan dalam Kepemimpinan. Surakarta: Pustaka Mandala.
  • Suryanto, A. (2019). Kebatinan Mangkunegaran IV dan Penerapannya dalam Mencegah Korupsi. Jurnal Pemikiran Sosial dan Budaya, 14(2), 45-58.
  • Pramudito, D. (2020). Transformasi Kepemimpinan di Era Modern: Nilai-nilai dalam Kebatinan Mangkunegaran IV. Jurnal Studi Kepemimpinan, 21(3), 89-102.
  • Haryanto, B. (2021). Penerapan Prinsip Kebatinan dalam Mencegah Korupsi di Indonesia. Diakses dari https://www.kebatinan.id/2021/08/pencegahan-korupsi
  • Mangkunegaran IV, KGPPA. (1995). Serat Tripama: Ajaran Moral dalam Kepemimpinan. Yogyakarta: Balai Pustaka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun