Mohon tunggu...
SASI MILIARTI
SASI MILIARTI Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA UNIVERSITAS MERCU BUANA

NIM : 41821110005 Fakultas : Ilmu Komputer Prodi : Sistem Informasi Kampus : Meruya Dosen Pengampu : Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menjadi Sarjana dan Menciptakan Etika Kebahagiaan Aristoteles

28 September 2024   16:21 Diperbarui: 28 September 2024   16:33 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam perjalanan menjadi seorang sarjana, setiap individu sering kali bertanya, apa tujuan akhir dari segala upaya akademik dan profesional ini? Apakah pencapaian akademik tertinggi akan membawa pada kebahagiaan yang sejati? Pertanyaan ini seringkali membawa kita pada konsep etika kebahagiaan yang diperkenalkan oleh filsuf besar Yunani, Aristoteles. 

Pemikiran Aristoteles tentang kebahagiaan (eudaimonia) menjadi panduan bagi manusia modern yang ingin memahami hubungan antara pengetahuan, kebajikan, dan kehidupan yang baik.Di dalam tulisan ini, kita akan menjawab tiga pertanyaan besar yang memandu pemahaman tentang bagaimana menjadi seorang sarjana dan bagaimana konsep etika kebahagiaan Aristoteles dapat diterapkan dalam kehidupan. 

Pertanyaan pertama adalah mengapa menjadi seorang sarjana penting dalam pencarian kebahagiaan. Pertanyaan kedua adalah mengapa etika Aristoteles masih relevan dalam dunia modern. Dan yang terakhir, bagaimana seorang sarjana dapat menciptakan etika kebahagiaan dalam hidupnya, sesuai dengan filosofi Aristoteles.

Mengapa Menjadi Sarjana Itu Penting?


Menjadi seorang sarjana adalah sebuah perjalanan panjang yang menuntut dedikasi, kerja keras, dan komitmen terhadap pengetahuan. Namun, pertanyaannya adalah, mengapa banyak orang merasa terdorong untuk meraih gelar akademik yang tinggi? Dalam konteks modern, pendidikan sering kali dianggap sebagai kunci kesuksesan ekonomi dan sosial. Sarjana memiliki peluang lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, pengakuan sosial, dan stabilitas finansial. Namun, apakah itu benar-benar yang kita cari dalam hidup?

Menurut Aristoteles, manusia adalah zoon politikon, makhluk sosial yang memiliki kemampuan berpikir rasional. Dalam hal ini, pendidikan memainkan peran penting dalam mengembangkan potensi rasional tersebut. Aristoteles percaya bahwa kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai melalui pengembangan diri dan kebajikan. Pendidikan, terutama pada level tertinggi seperti menjadi sarjana, adalah salah satu cara terbaik untuk mengasah kebajikan intelektual dan moral.

Dengan menjadi sarjana, seseorang tidak hanya belajar tentang berbagai bidang ilmu pengetahuan, tetapi juga bagaimana berpikir secara kritis, menyusun argumen, dan memahami dunia dari perspektif yang lebih luas. Pendidikan memungkinkan individu untuk memahami prinsip-prinsip etika, yang pada akhirnya membantu mereka hidup dengan baik, sesuai dengan kebajikan yang Aristoteles anggap sebagai fondasi kebahagiaan sejati.

Mengapa Kebahagiaan Itu Penting?

Kebahagiaan adalah tujuan akhir yang dicari oleh semua manusia, menurut Aristoteles. Ia berpendapat bahwa setiap tindakan manusia pada akhirnya diarahkan untuk mencapai kebahagiaan. Aristoteles menggunakan istilah eudaimonia untuk menggambarkan kebahagiaan ini, yang lebih dari sekadar perasaan senang atau puas secara sementara. Eudaimonia adalah kehidupan yang dijalani dengan baik, sejalan dengan kebajikan, dan menghasilkan kepuasan jangka panjang.

Mengapa kebahagiaan ini penting? Aristoteles berargumen bahwa kebahagiaan adalah tujuan tertinggi dari eksistensi manusia. Berbeda dengan kesenangan fisik atau materi, yang sifatnya sementara dan seringkali memudar, kebahagiaan yang sejati dapat bertahan seumur hidup. Dengan kata lain, menjadi sarjana atau meraih pencapaian akademik hanyalah langkah awal dalam mencari kebahagiaan sejati.

Di dunia modern yang penuh dengan distraksi teknologi dan materialisme, konsep Aristoteles tentang kebahagiaan masih sangat relevan. Kebanyakan orang menghabiskan hidup mereka mengejar uang, status sosial, dan kesuksesan materi lainnya, tanpa benar-benar memikirkan apakah itu akan membawa kebahagiaan yang langgeng. Aristoteles mengajarkan bahwa hanya dengan mengembangkan kebajikan dan menjalani hidup yang bermakna, seseorang dapat mencapai eudaimonia.

Mengapa Etika Aristoteles Masih Relevan?


Meskipun Aristoteles hidup lebih dari dua milenium yang lalu, pemikirannya tentang etika dan kebahagiaan tetap relevan hingga saat ini. Dunia modern menghadapi banyak tantangan baru, mulai dari teknologi, globalisasi, hingga masalah-masalah sosial dan politik yang kompleks. Namun, nilai-nilai dasar yang disampaikan oleh Aristoteles tetap dapat diaplikasikan dalam konteks ini.

Pertama, Aristoteles menekankan pentingnya kebijaksanaan praktis (phronesis) dalam pengambilan keputusan etis. Di era digital ini, di mana informasi mengalir begitu cepat dan banyak pilihan yang tersedia, kemampuan untuk membuat keputusan yang bijak dan berlandaskan etika sangatlah penting. Banyak individu, termasuk sarjana, dihadapkan pada dilema etis dalam karir dan kehidupan pribadi mereka. Etika Aristoteles mengajarkan bahwa keputusan terbaik selalu didasarkan pada keseimbangan, bukan ekstrem.

Kedua, konsep mesotes atau jalan tengah Aristoteles mengajarkan bahwa kebajikan adalah keseimbangan antara dua ekstrem. Misalnya, keberanian adalah keseimbangan antara terlalu takut dan terlalu berani. Dalam kehidupan akademik dan profesional, menemukan keseimbangan antara ambisi dan kepuasan, antara kerja keras dan kesehatan, adalah kunci untuk mencapai kebahagiaan jangka panjang.

Bagaimana Seorang Sarjana Menciptakan Etika Kebahagiaan?


Setelah memahami pentingnya pendidikan dan relevansi etika Aristoteles, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana seorang sarjana dapat menciptakan etika kebahagiaan dalam hidupnya? Ada beberapa langkah yang bisa diambil.

1. Mengembangkan Kebajikan Intelektual dan Moral

Kebajikan intelektual adalah kemampuan untuk berpikir kritis, menganalisis situasi, dan membuat keputusan yang bijaksana. Seorang sarjana harus selalu mengasah kemampuan intelektualnya melalui pembelajaran berkelanjutan, diskusi, dan refleksi. Namun, kebajikan intelektual saja tidak cukup. Seorang sarjana juga harus mengembangkan kebajikan moral, seperti integritas, keadilan, dan kebaikan hati. Dengan mengembangkan kedua jenis kebajikan ini, seseorang dapat menjalani hidup yang lebih bermakna dan harmonis.

2. Menerapkan Phronesis dalam Kehidupan Sehari-hari

Phronesis, atau kebijaksanaan praktis, adalah kemampuan untuk menerapkan pengetahuan teoretis dalam situasi kehidupan nyata. Seorang sarjana dapat menggunakan phronesis untuk membuat keputusan yang etis dalam karir dan kehidupan pribadinya. Misalnya, seorang sarjana yang bekerja sebagai dokter mungkin dihadapkan pada dilema etis terkait perawatan pasien. Dengan menerapkan phronesis, ia dapat membuat keputusan yang seimbang dan bermoral.

3. Mencari Keseimbangan Hidup

Konsep mesotes atau keseimbangan sangat penting dalam etika Aristoteles. Dalam kehidupan modern, seorang sarjana sering kali dihadapkan pada tekanan untuk sukses secara akademik dan profesional. Namun, tanpa keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, kebahagiaan sejati tidak akan tercapai. Seorang sarjana harus belajar bagaimana mengatur waktu, menjaga kesehatan mental dan fisik, serta mengembangkan hubungan yang bermakna dengan orang lain.

4. Mengejar Tujuan yang Lebih Besar

Salah satu cara terbaik untuk menciptakan etika kebahagiaan adalah dengan mengejar tujuan yang lebih besar dari diri sendiri. Aristoteles percaya bahwa manusia mencapai kebahagiaan sejati ketika mereka berkontribusi pada kebaikan bersama. Seorang sarjana dapat melibatkan diri dalam proyek-proyek sosial, penelitian yang bermanfaat, atau kegiatan pengabdian masyarakat yang membawa dampak positif bagi dunia.

Kesimpulan


Menjadi sarjana bukanlah tujuan akhir, melainkan sebuah proses menuju kebahagiaan sejati, seperti yang diajarkan oleh Aristoteles. Pendidikan yang baik, pengembangan kebajikan intelektual dan moral, serta penerapan kebijaksanaan praktis dalam kehidupan sehari-hari adalah kunci untuk mencapai
Dokpri, Prof Apollo
Dokpri, Prof Apollo
eudaimonia
. Dalam dunia yang semakin kompleks ini, etika kebahagiaan Aristoteles tetap menjadi panduan yang berharga bagi mereka yang mencari kehidupan yang bermakna dan memuaskan.


Daftar Pustaka 

  • Aristoteles. Nicomachean Ethics. Terjemahan oleh Roger Crisp. Cambridge: Cambridge University Press, 2000.  

  • Broadie, Sarah. Ethics with Aristotle. Oxford: Oxford University Press, 1991.  

  • Kraut, Richard. Aristotle on the Human Good. Princeton: Princeton University Press, 1989.  

  • Lear, Gabriel. Happiness and Virtue: Aristotle's Eudaimonism. New York: Bloomsbury Academic, 2004.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun