Jika nama-nama daerah di Jakarta banyak berasal dari nama buah asli Indonesia tentunya sudah banyak orang yang tau, kan? Sebut saja Menteng, Kemang, Bintaro, Gondangdia. Namun, tahukah kalian bahwa di Jogja pun ternyata ada tempat yang penamaannya berdasarkan nama buah?
Nyaris 20 tahun hidup di Jogja, fakta soal nama ini baru saya ketahui seminggu lalu saat sedang melakukan trip bersama kawan-kawan Kompasiana Jogja dan Koteka (Komunitas Traveler Kompasiana). Ternyata, nama Keben, Gayam, dan Timoho berasal dari nama tanaman.
Bagaimana saya bisa tahu? Tentu saja gara-gara saya mendatangi pameran temporer Narawandira "Keraton, Alam, dan Kontinuitas" yang dilangsungkan di Kompleks Kedhaton Kagungan Dalem Museum Keraton dari tanggal 5 Maret - 27 Agustus 2023 lalu.
Dalam pameran yang mengusung tema besar tentang vegetasi ini banyak ditampilkan tanaman-tanaman lokal yang kini mulai langka keberadaannya, termasuk tanaman keben, gayam, dan bintaro. Selain itu, ada juga display aneka rempah, tanaman yang berfungsi sebagai pewarna kain, hingga tanaman yang berfungsi sebagai dolanan bocah. Semua disajikan secara tematik, lengkap dengan ilustrasi indah dan penjelasan bagi pengunjung.
Mendengar cerita saya mungkin Anda akan bertanya-tanya, apa yang dimaksud dengan pameran temporer? Sejak revitalisasi besar-besaran pada tahun 2021, Keraton Yogyakarta selalu mengadakan pameran dengan tema khusus yang berlangsung selama 3 bulan dalam satu tahun. Pameran ini bertujuan untuk lebih mengenalkan budaya, filosofis, dan nilai-nilai yang diusung keraton pada masyarakat.
Lantas, jika pameran temporer ini sudah selesai, hal menarik apa lagi yang bisa dilihat di keraton? Pssssstttt, tenang saja, saat ini keraton sudah bersolek dan menjadi tempat yang nyaman untuk dikunjungi. Ada beberapa ruangan di keraton yang direnovasi dan dijadikan museum dengan tata ruang dan display modern.
Sebagai contoh, museum batik yang ruang pamernya dulu terlihat usang, gelap, dan berdebu, kini sudah berubah menjadi ruang daur hidup yang sangat modern. Di ruang ini pengunjung bisa menyaksikan proses lingkaran kehidupan manusia seperti lahir, beranjak dewasa, menikah, hingga meninggal, beserta ragam upacara yang mengikutinya.
Selain ruang daur hidup, saat ini juga ada beberapa ruangan lain di keraton yang masih dalam tahap revonasi, salah satunya adalah museum yang menyimpan koleksi bersejarah milik Sultan HB IX. Meski ada beberapa ruang yang tidak bisa dilihat, pengunjung tak usah khawatir mati gaya, sebab di Keraton ada banyak hal menarik yang bisa dilakukan.Â
Salah satunya adalah menyaksikan pertunjukan seni yang rutin diadakan setiap hari. Kala saya berkunjung kemarin, terdapat pertunjukan wayang golek yang bisa dilihat bebas oleh pengunjung. Biasanya pertunjukan di bangsal ini akan berganti-ganti antara seni tari, wayang orang, wayang kulit, maupuan gamelan dan macapat.
Belum puas mengeksplorasi Keraton, saya dan teman-teman harus segera bergeras menuju Wahanarata guna audiensi dengan putri bungsu Sri Sultan, GKR Bendara. Semenjak menikah, GKR Bendara diberi amanat untuk menjabat sebagai Penghageng Nityabudaya, divisi keraton yang berwenang atas museum dan kearsipan. Apabila saat ini museum-museum yang dikelola Keraton kondisinya jadi lebih baik, tentu saja itu tak lepas dari kerja kerasnya.
Salah satu museum yang direvitalisasi adalah Wahanarata. Dulunya, tempat ini merupakan Museum Kereta Keraton yang kondisinya tidak terlalu menarik minat pengunjung. Pada tahun ini, museum selesai direvitalisasi dan berubah nama menjadi Wahanarata.Â
Bukan hanya bangunannya yang dipercantik, koleksi museum pun jauh lebih lengkap dan ditata dengan menarik. Bahkan, museum ini juga memanfaatkan teknologi AI supaya lebih dekat dengan generasi kiwari. Di museum ini pengunjung bisa menjajal AR photo booth serta bermain games seru.
Jelang jam makan siang, rombongan kami kembali bergerak menuju nDalem Benawan yang dikelola oleh RM Kukuh Hestrianing. Sosok yang akrab dipanggi Gusti Aning ini merupakan keturunan dari Sultan HB VIII. Â
Beliau merupakan Dewan Pembina Faircle Coop, sebuah gerakan ekonomi kolaborasi yang mendampingi UMKM serta membangun proyek-proyek usaha rintisan. Salah satu usaha rintisan Faircle adalah Edutrip, yakni rangkaian wisata mempelajari budaya, seni, tradisi, dan kuliner jawa di masa lampau.Â
Usai berbincang mengenai sedikit budaya Jawa, tradisi ngeteh yang identik dengan keraton, serta membahas mengenai perkembangan UMKM di Yogkarta, saya pun berkesempatan untuk menikmati makan siang yang lezat.Â
Menu kali itu adalah menu-menu khas Keraton, yakni Sangga buwana yang serupa kue sus tetapi dengan isian daging dan disajikan bersama mayones homemade dan acar mentimun. Untuk hidangan utama terdapat nasi merah putih dan gacok ganem. Sayur ini berupa bola-bola daging yang dimasak dalam kuah santan. Dan penutupnya adalah Manuk Nom, alias puding tape ketan yang legit dengan toping buah dan emping.
Jamuan makan siang tersebut sekaligus mengakhiri acara jalan-jalan sehari bersama Kompasiana Jogja dan Koteka. Dalam trip setengah hari itu saya mendapatkan banyak sekali informasi dan pengetahuan baru akan budaya Jawa secara umum, dan budaya Jogja secara khusus. Terima kasih KJog dan Koteka untuk pengalamannya yang sangat menarik!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H