5 hari jelang natal, saya terbang menuju Manokwari. Perjalanan yang terbilang mendadak. Di atas pesawat yang melintasi langit malam pikiran saya melayang jauh. Rasanya saya seperti orang Majus yang menempuh perjalanan jauh guna menemui bayi Yesus. Bedanya, jika mereka datang dari timur, saya justru menuju timur.
Berhubung penerbangan ini akan melewati waktu matahari terbit, sejak awal saya sudah memilih kursi di sisi kanan supaya bisa menyaksikan pemandangan tersebut. Kapan lagi coba melihat matahari terbit dari kabin pesawat? Sayangnya pagi itu semuanya diselimuti awan. Saat langit tersibak, mentari sudah bertengger dengan gagah. Tak ada sunrise pagi ini.
Sebelum berangkat, saya sempat bertanya soal cuaca kepada seorang kawan yang kebetulan sedang liputan di Manokwari. "Hujan terus, mbak", jawabnya kala itu.Â
Saya pun sudah mempersiapkan diri dengan jaket, payung, serta sandal jepit. Bersyukurnya saat menjejak di Bandara Rendani, langit terlihat biru cerah dengan sedikit gumpalan awan putih menyerupai bulu domba.
Seperti kebiasaan saat menjejak di bandara yang baru pertama dikunjungi, saya pun berfoto dengan latar pesawat dan langit biru. Tiba-tiba telinga saya mendengar alunan musik yang kencang. Makin lama sumber musik semakin mendekat, ternyata berasal dari shuttle bus yang menjemput.
Somewhere between your heart and mine
There's a window that I can't see through
There's a wall so high it reaches the sky
Somewhere between me and you
Aha, ini kan lagu lawas karya Merle Haggard. Saat masih kecil saya sering mendengarkan bapak ibu menyanyikan lagu ini tapi versi bahasa Indonesia...
Di antara hatimu hatiku
Terbentang dinding yang tinggi
Tak satu jua jendela di sana
Agar ku memandangmu
Ingatan saya langsung melompat ke mana-mana. Scenic view ditambah perasaan nostalgia membuat hati saya berbunga-bunga. I love this place!
Pohon Terang dan Salib di Seluruh Penjuru Kota
Saat mobil mulai melaju meninggalkan bandara, mata saya tak henti-hentinya menikmati lekuk sudut kota. Kawan perkampungan, toko-toko, gedung-gedung perkantoran, mobil yang lalu lalang, semua tak luput dari pandangan saya.
Berhubung Manokwari merupakan tempat dimana Injil disebarkan untuk pertama kalinya di Papua, tentu saja ibu kota Provinsi Papua Barat ini sarat dengan simbol-simbol kekristenan. Gereja dan salib ada di mana-mana.
Meski saya nasrani, saya cukup terheran-heran melihat banyaknya gereja di tempat ini. Mulai dari gereja cabang berukuran kecil dengan bangunan sederhana, hingga gereja besar dengan pilar-pilar megah, semua ada di sini. Nyaris di tiap sudut jalan terdapat gereja. Karena ini menjelang natal, seluruh gereja bersolek mempercantik diri.
Tidak hanya gereja, toko-toko hingga gedung-gedung perkantoran pun menghias dirinya dengan beraneka ornamen natal. Pohon terang serta lampu warna-warni begitu mudah dijumpai di segala penjuru, lengkap dengan lagu natal yang diputar dengan kencang.
Dari semuanya itu, ada satu pemandangan yang benar-benar baru saya jumpai yakni keberadaan gubung-gubug kecil di depan rumah lengkap dengan pohon terang.Â
Pohon terangnya terbuat dari macam-macam, ada yang dari ban bekas, dari botol air mineral, dari ranting, dan masih banyak lagi. Lantas di sebelah pohon terang terkadang ada gubug panggung kecil atau replika kandang domba. Semuanya terlihat begitu meriah dan semarak.
Di atas mobil tersebut ada orang-orang berkostum sinterklas dan tumpukan kado. Ibu-ibu memberitakan kabar baik dari dalam mobil dengan pengeras suara. Lagu natal berdentum tanpa henti.
Ternyata parade sinterklas keliling kota merupakan tradisi yang berlangsung tiap tahun menjelang natal. Kegiatan ini diinisiasi oleh gereja-gereja. Lantas diakhiri dengan membagikan kado untuk anak-anak. Namun teknis acaranya sendiri saya kurang tahu, sebab informasi yang saya dapatkan juga berbeda-beda.
Kisah Teman Muslim yang Tinggal di Kota Injil
Pada tanggal 28 Oktober 2018, DPRD Manokwari mengesahkan Perda Manokwari Kota Injil. Landasan utamanya adalah faktor sejarah Manokwari sebagai tempat masuknya Injil pertama kali di Papua.Â
Saya sendiri tidak tahu apa saja isi dari Perda Manokwari Kota Injil, hanya saja berita yang santer di Ibu Kota mengatakan bahwa perda itu berpotensi untuk merusak toleransi yang selama ini sudah ada.
Oleh karena itu saat saya bertemu dengan kakak tingkat masa SMA yang sudah lama tinggal di Manokwari, saya pun sempat mempertanyakan soal hal tersebut. Apakah selama ini kehidupan beragamanya terasa dibatasi?
Tentu saja dia menjawab dengan senyuman. Bertahun-tahun tinggal di Manokwari dia belum pernah merasakan gesekan yang berarti. Kawan-kawannya sangat toleran terhadapnya. Bahkan, jika sedang ada acara yang menggunakan daging babi sebagai menu utamanya dia akan diberi tahu sejak awal.
Saya sempat mampir ke salah satu masjid besar yang ada, yakni Masjid Rihwanul Bahri yang berada di komplek TNI AL. Masjid tersebut berdiri berdampingan dengan Gereja Pentakosta.Â
Pada jam-jam sholat, adzan juga berkumandang melalui speaker masjid. Tak hanya masjid, pada saat berkendara menuju Kompleks Perkantoran Gubernur Papua Barat di Bukit Arfai, saya juga melihat pondok pesantren.Â
Sebuah bukti bahwa minoritas pun tetap bisa berkembang dan menjalankan ibadahnya dengan baik.
Saya memang baru mengobrol dengan 1 teman muslim. Bisa jadi itu tidak bisa mewakili seluruh Muslim Manokwari dan apa yang terjadi di sana.Â
Tapi saya berharap semoga apa yang saya lihat selama beberapa hari di sana benar. Bahwa meski berbeda-beda, masyarakat tetap hidup dalam harmoni tanpa saling menyakiti. Perbedaan bukan alasan untuk saling membenci, kan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H