Pada tanggal 28 Oktober 2018, DPRD Manokwari mengesahkan Perda Manokwari Kota Injil. Landasan utamanya adalah faktor sejarah Manokwari sebagai tempat masuknya Injil pertama kali di Papua.Â
Saya sendiri tidak tahu apa saja isi dari Perda Manokwari Kota Injil, hanya saja berita yang santer di Ibu Kota mengatakan bahwa perda itu berpotensi untuk merusak toleransi yang selama ini sudah ada.
Oleh karena itu saat saya bertemu dengan kakak tingkat masa SMA yang sudah lama tinggal di Manokwari, saya pun sempat mempertanyakan soal hal tersebut. Apakah selama ini kehidupan beragamanya terasa dibatasi?
Tentu saja dia menjawab dengan senyuman. Bertahun-tahun tinggal di Manokwari dia belum pernah merasakan gesekan yang berarti. Kawan-kawannya sangat toleran terhadapnya. Bahkan, jika sedang ada acara yang menggunakan daging babi sebagai menu utamanya dia akan diberi tahu sejak awal.
Saya sempat mampir ke salah satu masjid besar yang ada, yakni Masjid Rihwanul Bahri yang berada di komplek TNI AL. Masjid tersebut berdiri berdampingan dengan Gereja Pentakosta.Â
Pada jam-jam sholat, adzan juga berkumandang melalui speaker masjid. Tak hanya masjid, pada saat berkendara menuju Kompleks Perkantoran Gubernur Papua Barat di Bukit Arfai, saya juga melihat pondok pesantren.Â
Sebuah bukti bahwa minoritas pun tetap bisa berkembang dan menjalankan ibadahnya dengan baik.
Saya memang baru mengobrol dengan 1 teman muslim. Bisa jadi itu tidak bisa mewakili seluruh Muslim Manokwari dan apa yang terjadi di sana.Â
Tapi saya berharap semoga apa yang saya lihat selama beberapa hari di sana benar. Bahwa meski berbeda-beda, masyarakat tetap hidup dalam harmoni tanpa saling menyakiti. Perbedaan bukan alasan untuk saling membenci, kan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H