Masih lekat di ingatan bagaimana paniknya saya menghubungi seorang kawan yang tinggal di Palu usai mendengar gempa besar yang terjadi di Pulau Sulawesi. Kabar susulan tentang adanya tsunami semakin memperkeruh pikiran saya. Apakah sahabat baik saya dan keluarganya ini selamat? Apakah mereka baik-baik saja? Sekeras apa pun saya berusaha, nomor sahabat saya tidak bisa dihubungi.
Hingga berhari-hari saya dilanda kalut. Semua akses komunikasi terputus. Untunglah, pada hari ke-5 kawan saya ini berkabar bahwa dia dan keluarganya baik-baik saja, hanya sedikit luka-luka dan kerusakan kecil pada rumahnya.
Jauh sebelum itu, pada saat terjadinya gempa bumi besar yang melanda DIY-Jateng pada tahun 2006, akses komunikasi yang biasanya lancar menjadi mati total. Saya yang kala itu sedang mudik ke kampung halaman sangat sulit untuk menghubungi para sahabat dan keluarga yang ada di Jogja.
Dalam situasi bencana, seringkali sinyal komunikasi menjadi terputus dan menghilang. Padahal justru pada saat itulah kita sedang perlu-perlunya mengakses informasi dan melakukan komunikasi. Menghilangnya sinyal ponsel pada saat terjadinya bencana alam biasanya dikarenakan listrik padam. Meski tower BTS (Base Transceiver Station) masih utuh dan berdiri tegak, tidak ada supply power dari PLN yang menyebabkan BTS mati.
Belajar dari pengalaman-pengalaman seperti ini, Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) mengandalkan tenaga surya sebagai sumber energi untuk BTS yang didirikan di daerah-daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal). Salah satu BTS tenaga surya yang sudah ada terletak di Desa Campa, Kecamatan Mada Pangga, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat.
Menurutnya, salah satu kendala saat hendak membangun BTS di daerah 3T adalah pasokan listrik yang terbatas, bahkan terkadang ada daerah yang belum dialiri listrik. Untuk menyiasati hal tersebut, maka membangun BTS yang mengandalkan cahaya matahari sebagai sumber energi adalah solusi. Dengan mengandalkan tenaga surya, peralatan komunikasi tetap mendapatkan aliran listrik meski berada di wilayah 3T.
Hal ini juga ditegaskan oleh Petrus Tri Bakti Nurhayadi selaku Direktur PT Surya Energi Indotama (SEI). "Energi surya bisa memberikan listrik sampai 4 hari. Walaupun tidak ada matahari masih bisa beroperasi," katanya. Lebih lanjut dia menambahkan, seandainya terjadi gunung meletus sehingga abu menutupi matahari, komunikasi masih bisa dilaksanakan sebab BTS bisa bertahan hingga 4 hari tanpa bertemu sinar matahari.
Meski biaya untuk membangun BTS bertenaga surya ini diakui sangat mahal, hal ini tidak menyurutkan semangat dan cita-cita BAKTI untuk membangun prasarana telekomunikasi di wilayah 3T. Semua ini dilakukan demi mewujudkan target Nawacita pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yakni membangun Indonesia dari pinggiran.
Target BAKTI adalah mampu membangun 5000 BTS di seluruh wilayah Indonesia sehingga pada tahun 2020 diharapkan Indonesia sudah merdeka sinyal. Desa Campa sendiri merupakan salah satu lokasi dari 22 BTS Bakti Sinyal yang sudah dibangun di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Kepala Desa Campa, H. Mansyur H Ismail, mengatakan bahwa keberadaan BTS tersebut sangat berguna dan memudahkan warga dalam berkomunikasi. "Setelah berpuluh-puluh tahun kami tidak bisa melakukan komunikasi melalui telepon, kini kami sudah bisa. Bahkan sudah bisa berkomunikasi sampai ke Mekah," katanya.
Walau terkadang masih muncul kendala akibat jumlah pengguna ponsel dalam waktu bersamaan yang melebihi kapasitas jaringan, setidaknya keberadaan BTS ini sudah memudahkan warga untuk berkomunikasi dan membuka akses mereka terhadap dunia yang jauh lebih luas di luar sana.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H