[caption id="attachment_274071" align="aligncenter" width="512" caption="Jamuraaaan, yo ge ge thok"][/caption]
Belum lama ini saat sedang menyaksikan Yogyakarta Gamelan Festival di Plaza Ngasem, Yogyakarta saya sempat tertegun saat melihat komunitas Youngster G16 memainkan salah satu dolanan bocah jaman dulu, Jamuran. Mendadak pikiran saya melesat kembali ke belasan tahun lalu saat masih duduk di bangku SD.
Tinggal di desa kecil nan jauh dari gempita modernitas membuat saya tidak begitu mengenal perkembangan teknologi. Perkenalan pertama saya dengan komputer baru saat duduk di bangku SMP, sedangkan perkenalan dengan ponsel saat saya sudah SMA. Oleh karena itu saya dan teman-teman sekampung tidak mengenal permainan berbau teknologi dan lebih asyik bermain di alam bebas. Mulai dari ciblon di sungai, bergelut dengan lumpur di sawah yang belum ditanami, perosotan di tebing landai menggunakan pelepah pisang, mencuri tebu di ladang orang, hingga berlarian mengejar capung dan burung.
Setiap sore kami semua berkumpul di halaman rumah pak kadus yang sangat luas lantas memainkan berbagai dolanan mulai dari Jitungan (petak umpet), Yeye (lompat tali), Gobak Sodor, hingga permainan yang paling saya suka, Jamuran. Jika purnama tiba, kami akan bermain hingga larut malam.
Setahu saya Jamuran merupakan salah satu permainan anak yang berasal dari Jawa. Hal itu dikarenakan lagu yang digunakan untuk mengiringi permainan menggunakan bahasa Jawa. Setelah membaca beberapa referensi saya baru tahu bahwa ternyata Jamuran merupakan dolanan bocah kerasi dari Sunan Giri yang merupakan salah satu anggota Wali Sanga. Rupanya beliau menciptakan permaian itu bukan hanya semata untuk bersenang-senang namun juga ada nilai-nilai pendidikan yang dia ajarkan seperti kebersamaan, ketangkasan gerak sesuai dengan irama, kemampuan berekspresi, hingga kemampuan memahami perintah.
Permaian baru bisa dilakukan minimal jika ada 3 orang, namun permaian ini akan lebih seru jika dimainkan oleh banyak orang. Dulu, jaman saya kecil permainan ini bahkan pernah dimainkan oleh hampir 30 anak sekaligus.
Cara bermain Jamuran sangatlah sederhana. Diawali dengan hompimpa untuk menentukan siapa yang harus jaga. Yang kalah hompimpa harus berada di lingkaran (boleh duduk boleh berdiri), lantas sisanya membuat lingkaran besar sambil bergandengan tangan dan menyanyikan lagu jamuran sambil bergoyang ke kiri dan ke kanan. Begini lagunya:
Jamuran, jamuran, yo ge ge thok Jamur apa, jamur apa, yo ge ge thok Jamur payung ngrembuyung kaya lembayung Sira badhe jamur apa?
Di beberapa daerah lirik jamuran ini ada sedikit yang berbeda namun nadanya tetap sama. Sedangkan saat saya kecil versi ini yang saya kenal. Setelah lagu selesai dinyanyikan, maka anak yang berada di tengah lingkaran akan menjawab misalnya “aku njaluk jamur kendi borot”. Setelah mendengar permintaan anak yang di tengah, semuanya pun harus berubah menjadi jamur yang diminta, jika tidak mengikuti perintah maka anak tersebut dianggap kalah dan harus menjadi orang yang berdiri di tengah menggantikan temannya yang tadi. Permainan ini pun biasanya akan diulang terus-menerus hingga lelah.
Lantas apakah jamur kendi borot itu? Bagi anak-anak yang sudah sering melakukan permainan ini mereka akan segera tahu yang dimaksud dengan jamur kendi borot (kendi bocor) adalah mereka harus kencing saat itu juga. Jadi siapa pun yang tidak kencing akan aklah dan menjadi korban yang berdiri di tengah lingkaran. Dulu jaman saya kecil, saya selalu kalah di bagian ini. Namun jika ada yang minta menjadi jamur kethek menek (monyet memanjat) maka saya akan menang karena saya dasarnya pecicilan dan di antara teman-teman cewek saya yang paling pintar memanjat.
Selain dua nama jamur yang sudah saya sebutkan, ada puluhan nama jamur seperti jamur gula setangkep (harus mencari pasangan), jamur patung (diam tak bergerak), jamur montor (berubah menjadi sepeda motor), hingga benda-benda yang mereka inginkan seperti jamur manuk (pura-pura terbang seperti burung), jamur kursi (menjadi tempat duduk), atau jamur ndondok (duduk jongkok).
Nah disinilah kecerdasan diperlukan. Bagi anak-anak yang sudah biasa bermain mereka akan tahu nama-nama jamur dan gerakan apa yang harus mereka lakukan. Namun bagi anak yang agak terlambat dalam berpikir atau baru saja bermain biasanya dia tidak bisa memahami perintah dan selalu kalah.
Suatu ketika saya pernah mengajak saudara yang baru liburan ke rumah untuk ikut dalam permainan ini. Berhubung dia tidak bisa berbahasa Jawa dan baru mengenal permainan ini maka dia sering kalah. Namun beberapa anak sering memberitahu apa yang harus dia laukan. Secara tidak langsung permainan ini mengajarkan untuk saling bekerjasama dna peduli pada teman yang lain. Lewat permainan ini pula saudara saya akhirnya bisa mendapat banyak teman di kampung.
Ya, selain sebagai ajang bersenang-senang, permainan Jamuran pun bisa menjadi ajang perkenalan yang mengakrabkan satu sama lain. Anak-anak pun dituntut untuk berlari-lari dan terus menggerakkan badan sehingga tubuh mereka menjadi sehat. Pantas jaman saya dulu anak-anak selalu berwajah ceria dan tangkas karena mereka menghabiskan hari-harinya dengan bermain bersama, bernyanyi bersama, bergerak bersama.
Dolanan jamuran merupakan salah satu permainan anak yang mengusung nilai-nilai budaya Indonesia. Sudah sepantasnya permainan anak yang unik ini terus dilestarikan bahkan dikemas dalam format yang menarik seperti yang dilakukan oleh pemerintah Yogayakarta yang kerap mengadakan Festival Dolanan Bocah. Lewat festival tersebut diharapkan anak-anak jadi mengenal kembali dolanan bocah yang hampir hilang sekaligus mengenalkan dolanan asli Indonesia kepada warga negara asing. Saya rasa sudah saatnya dolanan bocah dimasukkan dalam paket wisata Indonesia Travel sehingga wisatawan asing pun bisa bermain bersama. Bukankah bermain gobak sodor atau jamuran dengan wisatawan asing terdengar asyik?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H