“Meski kau meninggal, cinta dan kesetianmu akan tetap terpatri dihatiku, itu yang lebih utama.”
“What? I’m sick of you Rama. Aku sudah capek dengan semua ego dan arogansimu. Kenapa kau hanya memikirkan dirimu, kesenanganmu serta kebahagiaanmu sendiri tanpa pernah mempedulikan perasaanku? Apakah ini yang dinamakan cinta? Aku tidak sudi membakar diri.”
‘Sinta, aku adalah penguasa dan ksatria di negeri ini, semua harus tunduk pada ucapanku. Aku akan menceraikanmu jika kau tak mematuhi sabdaku!”
“Baiklah, aku memilih bercerai daripada harus menuruti semua keinginan gilamu. aku mencintaimu, namun bukan begini caranya. Selamat tinggal kanda.”
Sinta berjalan pelan sambil mengemasi barang yang dia punya. Semua orang menyaksikan dengan heran atas semua hal yang baru saja terjadi. Beberapa tahun kemudian tersiar kabar bahwa Sinta hidup bahagia di negara tetangga. Setelah bercerai dengan Rama, dia menikah dengan seorang pemahat batu tampan yang mencintainya dengan sepenuh hati. Mereka hidup bersahaja dan bahagia bersama anak-anak mereka. Sedangkan Rama, kabarnya dia sudah menikah lebih dari 5 kali, dan selalu diakhiri dengan kematian tragis dari istri-istrinya. Ini bukan karena kutukan Sinta. Melainkan Rama yang egois selalu menyuruh istrinya membakar diri setiap kali meragukan cinta dan kesetiaan mereka.
Epilog
Hai perempuan. Ini hidupmu, kau memiliki kekuatan untuk memilih dan menjalaninya sesuai dengan caramu. Kebahagiaan itu ada di hati, bukan pada pandangan masyarakat dan orang lain tentangmu. Genggam duniamu, jalanilah hidupmu dengan sepenuh hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H