“Koordinasi secara horizontal dan konsolidasi secara internal telah kami lakukan. KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota juga kami minta untuk berkoodinasi dengan pemerintah daerah, tidak hanya soal dana tetapi hal lain seperti dukungan staf, kantor, lokasi kampanye dan pemasangan alat peraga kampanye,” kata Ketua KPU RI Husni Kamil Manik beberapa waktu lalu. Namun nayatanya kelangkaan paslon seperti yang terjadi saat ini seperti kurang diantisipasi sebelumnya. Hal ini tentu bukan sekadar urusan prosedural pemilu semata, tapi tentu akan berimplikasi pada kualitas demokrasi yang dihasilkan. Terbatasnya pilihan masyarakat dalam pilkada tentu akan berdampak pada terbatasnya kualitas hasil yang didapat.
Terkait persoalan ini kini telah ada beberapa usulan untuk mengantisipasi persoalan rendahnya paslon, terutama kasus calon tunggal di tujuh kabupaten/kota. Opsi pertama pilkada diundur ke 2017 berbaregan dengan masa pilkada periode berikutnya. Kedua, calon yang ada dibiarkan berkompetisi dengan kotak kosong. Ketiga, usulan agar paslon tunggal yang ada langsung ditetapkan sebagai pemenang pilkada. Terakhir, dibuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) untuk lebih menjamin kepastian hukum mengantisipasi persoalan ini.
Keempat opsi yang ada tentu memiliki nilai problematic masing-masing meskipun semuanya juga punya kans untuk bisa memecahkan persoalan. Namun yang pasti, pilihan manapun yang akan ditempuh kita harus melakukan evaluasi, baik di level internal partai, di level panitia penyelenggara seperti KPU dan jajaran terkait lainnya, maupun evaluasi yang lebih sistemik terkait model-model rotasi kepemimpinan secara demokratis. Jauh-jauh hari banyak pihak telah mengingatkan bahwa Pilkada
itu tak lebih dari salah satu cara/prosedur teknis saja dari proses sirkulasi politik lokal secara demokratis. Sementara prinsip yang menjadi substansinya adalah terjaminnya hak politik warga untuk memilih dan dipilih secara demokratis. Prinsip demokrasi seringkali dilekatkan pada beberapa hal pokok, seperti partisipasi, popular kontrol, transparansi dan akuntabilitas, serta adanya kesetaraan dalam kontestasi politik. Dalam konteks ini, Pilkada hanyalah salah satu bentuk model dari kontestasi politik elektoral di tingkat lokal. Inilah kenapa perlu ada evaluasi lebih dalam dan sistemik sehingga mampu memunculkan pemikiran dan ide-ide yang “melintas-batas” agar aturan-aturan politik formal yang ada tidak membelenggu kita di kemudian hari …
Simak:
https://www.academia.edu/8748566/Mencari_Daulat_Rakyat_FORUM_Keadilan_Edisi_No.23_13_Oktober_2014
[caption caption="Poster Pilkada Serentak 2015/www.kpu.go.id"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H