Mohon tunggu...
Sofian Munawar
Sofian Munawar Mohon Tunggu... Editor - PENDIRI Ruang Baca Komunitas

"Membaca, Menulis, Membagi" Salam Literasi !

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Donggala dan Ironi Negeri Maritim

3 Agustus 2015   05:58 Diperbarui: 3 Agustus 2015   05:58 554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Suatu senja di teluk Donggala, Sulawesi Tengah/sasgart"][/caption]

Dalam acara Chief Editor Meeting di Jakarta beberapa waktu lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan, kerugian negara karena tindak pencurian ikan dan beragam tindak pidana lainnya bisa mencapai angka tiga ribu triliun. Padahal menurutya dana sebesar itu dapat dimanfaatkan untuk membangun infrastruktur sektor kelautan dan perikanan yang kondisinya saat ini masih memprihatinkan. Kondisi ini tentu menjadi ironi mengingat sektor perikanan di Indonesia memiliki potensi ekonomi yang besar. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (2013) menyebutkan bahwa Indonesia memiliki luas laut sekira 5,8 juta km2, 17.499 pulau dan garis pantai sepanjang 80.791 km. Lebih dari setengah luas laut tersebut merupakan Daerah Perairan Pantai (DPP) yang memiliki potensi besar karena 70 persen sumber daya ikan berada di area ini (Bappenas, 2010). Dengan data seperti ini, maka potensi wilayah kelautan dan perikanan Indonesia seharusnya dapat memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian nasional. Namun ironisnya, data Kementrian Kelautan dan Perikanan (2013) menunjukkan bahwa potensi ekonomi kelautan dan perikanan di Indonesia menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) nasional senilai 8.241.864,30 juta rupiah atau hanya sekitar 3,10 persen dari total PDB nasional.

Potret buruk tersebut nyatanya tidak saja terjadi di level nasional, tapi lebih-lebih juga banyak terjadi di sejumlah wilayah Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah maritim dimana potensi kelautan dan perikanan menyimpan potensi yang luar biasa. Salah satu wilayah yang memiliki potensi kelautan dan perikanan yang besar adalah Kabupaten Donggala yang berada di Selat Makassar. Dalam peta maritim nasional, kawasan ini masuk ke dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 713 bersama dengan Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali. Penetapan WPP ini berdasarkan pada Peraturan Menteri Perikanan dan Kelautan Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Berdasarkan peta ini Donggala semestinya termasuk daerah surplus ikan dengan kontribusi sangat signifikan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) meskipun nyatanya tidaklah demikian.

Kasus Donggala

Awal Mei 2015 saya berkesempatan menyusuri pantai barat Sulawesi, termasuk di sekitar Selat Makassar, antara Teluk Palu hingga Teluk Donggala. Beberapa bulan sebelumnya, Yayasan Interseksi, tempat saya bekerja telah melakukan penelitian di Kabupaten Donggala. Tema utama penelitian kami sebenarnya lebih fokus ke soal kewarganegaraan (citizenship) dan dinamika politik lokal, namun peneliti Interseksi yang bertugas di Donggala, Riefky Bagas Prastowo menemukan “data sampingan” yang tidak kalah menarik dari wacana politik lokal, yaitu soal kelautan dan perikanan Donggala yang penuh ironi.

Data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Donggala menyebutkan bahwa panjang pesisir pantai Kabupaten Donggala adalah 414 km dengan 15 pulau kecil yang berada di sekitarnya. Sementara Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Donggala 2014-2019, menunjukkan bahwa potensi perikanan tangkap yang dapat dicapai adalah sekitar 99.100,8 ton/tahun. Subsektor perikanan, yang termasuk ke dalam sektor pertanian, hanya memberikan kontribusi kecil bagi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Donggala. Pada tahun 2008, subsektor perikanan memberikan kontribusi sebesar 174.547 juta rupiah atau 6,24% dari keseluruhan PDRB Donggala. Jumlah ini meningkat pada tahun 2012 yang mencapai 336.882 juta rupiah atau 6,43% dari keseluruhan PDRB Donggala (BPS Kabupaten Donggala, 2013). Meskipun Donggala memiliki potensi lestari perikanan yang besar, produksi perikanan di Kabupaten Donggala hanya sebesar 18.889,9 ton pada tahun 2012. Jumlah ini bahkan menurun secara drastis karena pada tahun sebelumnya, produksi perikanan di Donggala mencapai 37.865,7 ton. Jika dikalkulasikan, produktivitas dari sektor kelautan yang sangat potensial di Donggala baru terserap sekitar 19 persen saja. Inilah salah satu potret ironi sebuah wilayah di negeri maritim. Meskipun potensi kelautan dan perikanan sungguh sangat menjanjikan, namun nyatanya belum mampu dimanfaatkan secara optimal.

Menurut catatan BPS Kabupaten Donggala (2013) terdapat 9.507 rumah tangga perikanan yang memiliki mata pencaharian dari sektor perikanan laut di Donggala. Berdasarkan kategori usaha perikanan laut, sebagian besar nelayan di Donggala menggunakan perahu tak bermotor. Sedangkan rumah tangga perikanan yang menggunakan perahu motor tempel dan kapal motor berjumlah 2.993. Gambaran ini menunjukkan bahwa nelayan di Donggala masih belum bisa terpenuhi kesejahteraannya. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya nelayan yang tidak memiliki kapal atau masih menggunakan kapal tak bermotor. Makna lain dari data tersebut adalah sebagian besar nelayan di Donggala masih bergerak dalam bidang usaha mikro, kecil, dan menengah. Potret nelayan tersebut menunjukkan bahwa pemanfaatan potensi kelautan di Donggala belum terserap secara maksimal. Hal ini disebabkan antara karena kondisi nelayan Donggala belum berdaya.

 

Memberdayakan Nelayan, Memberdayakan Warga

Disadari bahwa salah satu hal yang membuat sektor perikanan di Donggala kurang berkembang adalah kondisi nelayan yang belum berdaya. Untuk itu, warga terutama kelompok nelayan perlu diberdayakan. Nelayan dan warga lainnya harus dilibatkan mulai dari perumusan program, pelaksanaan program hingga ke pengawasannya. Forum-forum di tingkat lokal seperti Musrenbang dan dengar pendapat perlu diintensifkan supaya pemerintah mengetahui dan memahami masalah apa saja yang dihadapi nelayan dan warga Donggala pada umumnya. Partisipasi warga tentu diperlukan dalam pengembangan industri perikanan di Donggala. Keterlibatan warga dalam sektor perikanan tidak saja dalam proses pemasaran produk perikanan, tetapi juga dalam memberi nilai tambah melalui diversifikasi produk perikanan.

 

Dalam rangka mendorong dan memberdayakan warga, terutama memberdayakan kalangan nelayan di Donggala,Yayasan Interseksi menyelenggarakan acara Dengar Pendapat di Kabupaten Donggala, Rabu 6 Mei 2015. Tujuannya adalah untuk menyampaikan dan mendiskusikan sebagaian hasil penelitian Yayasan Interseksi yang dianggap urgen dan strategis menjadi tawaran kebijakan bagi para pengambil kebijakan di Kabupaten Donggala. Kegiatan Dengar Pendapat menghadirkan akademisi, pemerintah dan warga untuk turut serta terlibat dalam diskusi dan perumusan usulan alternatif kebijakan. Akademisi yang hadir dalam kegiatan ini adalah Dr. Ir. Samliok Ndobe, M.Si, Prof. Dr. H Juraid Abdul Latif, M.hum dan Rosmawati Bte. Rusdin, S.Sos., M.A dari Universitas Tadulako. Dari unsur pemerintah, Bupati Donggala Drs. Kasman Lassa, SH dan Sekretaris Daerah Kabupaten Donggala beserta jajaran dinas terkait turut hadir. Demikian juga dari kalangan dewan, beberapa anggota DPRD Kabupaten Donggala turut berpartisipasi. Tak ketinggalan para mahasiswa dan kalangan masyarakat umumnya, terutama nelayan dan para aktivis lembaga kemasyarakatan turut meramaikan acara ini.

Dari acara Dengar Pendapat tersebut, terrekam empat permasalahan yang menjadi kendala di Kabupaten Donggala terkait soal perikanan. Pertama, adanya keterbatasan sumber daya manusia (nelayan). Akibatnya, nelayan seringkali tidak memahami hak-hak yang semestinya mereka dapatkan berdasarkan ketentuan yang ada. Kedua, adanya ketimpangan teknologi dan infrastruktur. Teknologi dan infratruktur untuk pengolahan ikan selama ini dipusatkan di Indonesia bagian barat, sementara untuk wilayah tengah dan timur hanya fokus untuk produksi akibatnya tidak ada sinergi antara industri hilir dan industrri hulu sektor perikanan. Ketiga, menyusutnya wilayah tangkapan ikan karena tergerus aktivitas galian C. Untuk mempermudah mengangkut materi galian C pemerintah melakukan kegiatan reklamasi pantai. Kegiatan ini ternyata berimplikasi pada rusaknya terumbu karang karena tertutup abu bekas galian C dan aktivitas reklamasi. Dampak berikutnya, tidak ada lagi ikan-ikan yang berada di kawasan tersebut karena karang sebagai tempat habitat ikan telah rusak. Keempat, terbatasnya akses nelayan terhadap permodalan. Nelayan saat ini masih menggantungkan diri untuk mendapat modal dari tengkulak. Koperasi yang merupakan salah satu tempat untuk memperoleh pinjaman tidak dapat memenuhi semua kebutuhan nelayan yang ada. Data BPS Kabupaten Donggala menunjukkan keberadaan koperasi nelayan di Donggala masih sangat terbatas.

Atas beragai persoalan tersebut, forum Dengar Pendapat ini kemudian melahirkan sejumlah kesepakatan dan rekomendasi. Setidaknya, ada tujuh poin usulan yang dihasilkan dan kemudian diusulkan menjadi rekomendasi bersama. Pertama, mendesak dikeluarkannya peraturan daerah terkait dengan pengembangan sektor perikanan, khususnya tentang perlindungan nelayan kecil di wilayah Donggala. Kedua, mendorong pengembangan tradisi bahari masyarakat Donggala agar dapat menghadapi tantangan aktual dan untuk menopang visi Donggala sebagai kota niaga. Ketiga, mendorong warga untuk menerapkan Molibu sebagai salah satu cara pengambilan keputusan untuk pengembangan sektor perikanan. Keempat, mendorong masyarakat nelayan menciptakan lumbung nelayan sebagai strategi ketahanan dan kedaulatan pangan nelayan untuk menghadapi musim paceklik dengan memanfaatkan dan mengembangkan teknologi perikanan. Kelima, mendorong pemerintah untuk meningkatkan taraf pendidikan keluarga nelayan dan menggalakan konsumsi ikan di kalangan masyarakat Donggala untuk menyerap produksi ikan. Keenam, mendorong Pemerintah Daerah dan lembaga masyarakat sipil (LSM, organisasi masyarakat, organisasi nelayan) untuk memfasilitasi pelatihan dan penyuluhan kepada nelayan dan keluarganya agar kapasitas dan pengetahuan mereka dapat meningkat sehingga tidak hanya terlibat dalam proses produksi saja, tetapi juga terlibat dalam proses pengolahan produk perikanan. Ketujuh, mendesak Pemerintah Daerah melakukan sinkronisasi kelembagaan untuk memajukan sektor perikanan di Donggala secara berkelanjutan tanpa mengorbankan sektor lain.

Rekomendasi tersebut tentu perlu menjadi catatan dan perhatian bersama masyarakat Donggala agar lebih berdaya dalam memanfaatkan potensi kelautan sebagai salah satu sektor andalan yang mereka miliki. Lebih khusus lagi, forum Dengar Pendapat tersebut seakan memberi garis tebal pada point ketujuh terkait pentingnya sektor perikanan yang berkelanjutan. Sebagaimana disebutkan Charles (1994) bahwa konsep perikanan berkelanjutan setidaknya mengandung empat aspek. Pertama, ecological sustainability (keberlanjutan ekologi) yaitu memelihara keberlanjutan stok/biomassa sehingga tidak melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistem yang ada. Kedua, aspek socioeconomic sustainabilty (keberlanjutan sosio-ekonomi) yang berarti bahwa pembangunan perikanan harus memperhatikan keberlanjutan dari kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat individu. Dengan kata lain tujuan dari aspek ini adalah mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi. Ketiga, community sustainability (keberlanjutan komunitas), mengandung arti adanya keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat harus menjadi perhatian. Keempat, institutional sustainability (keberlanjutan kelembagaan). Dalam kerangka ini keberlanjutan kelembagaan berperan untuk menjaga keberlanjutan dari ketiga aspek sebelumnya.

Kegeraman Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang ditunjukkannya misalnya dengan penembakan dan pembakaran kapal-kapal asing yang masuk ke wilayah kita secara illegal dapat diterjemahkan sebagai bagian tak terpisahkan dari upaya ini. Upaya yang dilakukan Susi Pudjiastuti bukan saja menunjukkan ketegasan kita dalam mempertahankan kedaulatan maritim, namun sekaligus juga dapat menjadi strategi ampuh untuk mewujudkan ketahanan dan keberlanjutan sektor perikanan secara simultan. Dengan begitu kita berharap potensi kelautan yang kita miliki, termasuk dan terutama sektor perikanan dapat dimanfaatkan semaksimal dan seoptimal mungkin bagi peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat, terutama kalangan nelayan yang hingga kini masih terpinggirkan.***

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik Kabupaten Donggala. (2013). Donggala Dalam Angka 2013. Donggala: BPS Kabupaten Donggala.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Donggala. (2013). Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Donggala Menurut Lapangan Usaha 2008-2012. Donggala: BPS Kabupaten Donggala.

Charles, A. T. (1994). Toward Sustainability: the Fishery Experience. Ecological Economics, 201-211.

Prastowo, Riefky Bagas. “Pengembangan Sektor Perikanan di Kabupaten Donggala”, Policy Paper disampaikan dalam forum dengar pendapat yang diselenggarakan the Interseksi Foundation bersama Pemerintah Daerah Kabupaten Donggala, DPRD Kabupaten Donggala, dan warga Donggala pada 6 Mei 2015.  

Damanik, M. R. (2014). Meneguhkan Indonesia Sebagai Negara Maritim. Seminar LIPI dan Kuliah Umum Presiden Terpilih. Jakarta.

Pemerintah Daerah Kabupaten Donggala. (2014). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Donggala Tahun 2014-2019. Donggala: Pemda Donggala.

Ratnawati, Syarifah (18 Februari 2015). “Urgensi Perikanan dan kelautan”. Bimonthly Discussion, Interseksi Foundation. http://interseksi.org/bimonthly-discussion/urgensi-perikanan-dan-kelautan/

[caption caption="Acara dengar pendapat bersama Pemda dan DPRD Kabupaten Donggala/sasgart "]

[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun