Mohon tunggu...
Sofian Munawar
Sofian Munawar Mohon Tunggu... Editor - PENDIRI Ruang Baca Komunitas

"Membaca, Menulis, Membagi" Salam Literasi !

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

PESAN BANDUNG

18 April 2015   12:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:57 1019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_379863" align="alignleft" width="300" caption="logo kaa-2015 (sumber:www.wisatabdg.com)"][/caption]

Sofian Munawar Asgart

Peneliti the Interseksi Foundation, Jakarta

I say to you, colonialism is not yet dead. How can we say it is dead, so long as vast areas of Asia and Africa are unfree.” (Soekarno, 1955).


Petikan pidato Soekarno yang disampaikan dalam pembukaan Konferensi Asia Afrika (KAA) enam puluh tahun silam itu mengingatkan kita bahwa perjuangan bangsa-bangsa di Asia dan Afrika harus terus menerus diupayakan. Dalam pidato berbahasa Inggris sepanjang empat puluh menit itu, Presiden Pertama Indonesia menekankan pentingnya persatuan negara-negara Asia-Afrika dalam rangka memperkokoh perdamaian dunia berlandaskan kesamaan sikap dalam menentang segala bentuk kolonialisme yang terjadi di muka bumi. “Today, you are representatives of free peoples, peoples of a different stature and standing in the world,” ujar Soekarno.

Tak pelak, “provokasi” Soekarno terbukti telah menginspirasi lahirnya semangat negara-negara dunia ketiga untuk bangkit. Berdiri di garda depan dalam upaya menciptakan perdamaian dunia yang saat itu tercabik-cabik perang dingin antara dua kekuatan yang kian terpolarisasi pada dua blok besar, Barat-Timur yang mengancam perdamaian dunia.

Kini, enam puluh tahun pasca terselenggaranya KAA, kita semua ditantang. Apakah semangat, inspirasi dan provokasi Soekarno itu layak dilupakan, dilanjutkan, atau direaktulisasi sesuai dengan tantangan dan semangat zaman yang mengiringi kita saat ini? Tantangan ini terutama tentunya harus dijawab Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan jajarannya yang saat ini sedang berkemas mempersiapkan peringatan enam puluh tahun KAA, 19-24 April 2015 dengan beragam agendanya. Tantangan utamanya adalah bagaimana peringatan KAA ini tidak terjebak sebatas seremonial, namun mampu menawarkan “spirit baru” untuk menjawab segenap tantangan dunia yang terus bergulir.

[caption id="attachment_379866" align="aligncenter" width="700" caption="Wapres Jusuf Kalla meninjau persiapan KAA di Bandung (sumber: www.kompas.com)"]

1429773838821123215
1429773838821123215
[/caption]

Kilas Balik KAA

KAA yang digelar pertama kali pada 18-24 April 1955 tentu tidak terjadi secara serta-merta, namun merupakan rangkaian panjang dengan agenda yang terkait satu sama lain secara berkesinambungan. Usulan awal penyelenggaraan KAA datang dari Perdana Menteri Indonesia saat itu, Ali Sastroamidjojo. Pada 23 Agustus 1953, dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) ia mengusulkan perlunya kerjasama antara negara-negara Asia dan Afrika dalam perdamaian dunia. Berikutnya, 25 April hingga 2 Mei 1954 berlangsung Persidangan Kolombo di Sri Lanka. Hadir dalam pertemuan tersebut para pemimpin dari India, Pakistan, Burma (sekarang Myanmar), dan Indonesia. Dalam konferensi ini Indonesia memberikan usulan penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika. Kemudian, pada 28–29 Desember 1954 untuk mematangkan gagasan ini diselenggarakan Persidangan Bogor. Dalam persidangan ini dirumuskan lebih rinci tentang tujuan persidangan, serta siapa saja yang akan diundang. Selanjutnya, pada 18–24 April 1955 terselenggaralah KAA di Gedung Merdeka, Bandung. Persidangan ini diresmikan oleh Presiden Soekarno dan penyelenggaraanya diketuai Ali Sastroamidjojo. Hasil utama persidangan ini berupa persetujuan yang dikenal dengan Dasasila Bandung.

Dasasila Bandung berisi tentang pernyataan mengenai dukungan dan kerja sama Negara-negara Asia-Afrika bagi perdamaian dunia. Berikut kesepuluh poin Dasasila Bandung.


  1. Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta asas-asas yang termuat di dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
  2. Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa.
  3. Mengakui persamaan semua suku bangsa dan persamaan semua bangsa, besar maupun kecil.
  4. Tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam soalan-soalan dalam negeri negara lain.
  5. Menghormati hak-hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri secara sendirian ataupun kolektif yang sesuai dengan Piagam PBB.
  6. Tidak menggunakan peraturan-peraturan dari pertahanan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus dari salah satu negara besar dan tidak melakukannya terhadap negara lain.
  7. Tidak melakukan tindakan-tindakan ataupun ancaman agresi maupun penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah maupun kemerdekaan politik suatu negara.
  8. Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan jalan damai, seperti perundingan, persetujuan, arbitrasi (penyelesaian masalah hukum) , ataupun cara damai lainnya, menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan Piagam PBB.
  9. Memajukan kepentingan bersama dan kerjasama.
  10. Menghormati hukum dan kewajiban–kewajiban internasional.


Dalam perkembangan berikutnya, spirit dari konferensi ini akhirnya menjadi cikap-bakal bagi terbentuknya Gerakan Non-Blok pada 1961. Gerakan ini cukup penting dan sangat diperhitungkan dalam konstelasi percaturan politik global, terutama menjadi kekuatan penyeimbang antara dua kekuatan politik dunia yang diametral, yakni Blok Barat yang dimotori Amerika Serikat dan Blok Timur yang dikomandani Uni Sovyet waktu itu.

Pada 2005, tepat lima puluh tahun pasca penyelenggaraan KAA telah diselenggarakan peringatan atas pertemuan bersejarah itu. Pemerintah Indonesia kembali mengundang para Kepala Negara Asia dan Afrika untuk mengikuti pertemuan di Jakarta dan Bandung pada 19-24 April 2005. Agenda peringatan KAA yang pertama itu diselenggarakan di Jakarta dan Bandung. Kegiatan puncaknya tetap diselenggarakan di Gedung Merdeka Bandung. Gedung bersejarah yang menjadi saksi penyelenggaraan KAA 18-24 April 1955.

Pertemuan yang juga dihadiri Sekjen PBB waktu itu, Kofi Annan menghasilkan sebuah kesepakatan penting yang kemudian disebut New Asian-African Strategic Partnership (NAASP) atau Kerjasama Strategis Asia-Afrika yang Baru. Kesepakatan ini diharapkan akan membawa negeri-negeri Asia dan Afrika menuju masa depan yang lebih baik.

Lantas, bagaimana niat baik dan harapan besar itu direalisasikan? Gurjit Singh, Duta Besar India untuk Indonesia sepertinya tidak berlebihan ketika menyatakan bahwa Dasasila Bandung merupakan solusi tepat untuk mencegah dan menanggulangi konflik antarnegara, terutama di kawasan Asia dan Afrika. Menurut Gurjit Singh, Dasasila Bandung telah menjadi kontribusi terbesar dari pertemuan KAA enam puluh tahun silam. Dia meyakini, sepuluh prinsip yang termuat dalam Dasasila Bandung masih tetap relevan hingga saat ini. Menurut Gurjit, jika setiap negara mengikuti Dasasila, hal itu akan mencegah timbulnya berbagai konflik seperti yang masih kerap terjadi sekarang ini.

Peringatan KAA tahun ini, 19-24 April 2015 antara lain menjadi salah satu upaya untuk menghidupkan semangat itu dengan mengusung agenda utama, Advancing South-South Cooperation. Kini saatnya, semangat Dasasila Bandung dilirik kembali untuk kemudian diaktualisasikan kembali dalam menjawab persoalan-persoalan kontemporer saat ini.

[caption id="attachment_379867" align="aligncenter" width="591" caption="Gedung Merdeka Bandung_Arsip KAA 1955 (sumber: www.wikipedia.or.id)"]

1429773983829995074
1429773983829995074
[/caption]

Reaktualisasi Spirit Bandung

Mulai besok, 19 – 24 April 2015 pemerintah Indonesia akan menyelenggarakan peringatan KAA. Sejak KAA digelar 60 tahun silam, ini merupakan pertemuan ketiga, yaitu: 1955, 2005, dan 2015. Menurut informasi resmi Kementerian Luar Negeri, hingga 15 April 2015 sudah ada 72 kepala negara yang menyatakan kesiapannya untuk  hadir dalam acara peringatan  KAA tahun ini. Kementerian Luar Negeri memastikan 72 negara telah mengonfirmasi kehadirannya. Peringatan 60 tahun KAA akan dilaksanakan di dua kota, yaitu pada 19-23 di Jakarta dan puncak acaranya pada 24 April di Bandung.

Menurut keterangan panitia, agenda KAA tahun ini meliputi “Asia-Africa Bussiness Summit” dan “Asia-Africa Carnival”. Tema yang dibawa Indonesia dalam acara yang akan dihadiri 109 pemimpin negara dan 25 organisasi internasional tersebut adalah peningkatan kerjasama negara-negara di kawasan Selatan, kesejahteraan, serta perdamaian. Pertemuan pejabat tinggi (Senior Officials’Meeting/SOM) akan dilangsungkan di Jakarta pada 19 April. Selanjutnya, Pertemuan Tingkat Menteri pada 20 April serta Pertemuan Antar Parlemen Asia-Afrika pada 22-23 April. Puncak rangkaian peringatan 60 tahun KAA akan berakhir pada 24 April di Bandung.

Pada hari terakhir itu, para Kepala Negara akan melakukan historical walk dari Hotel Savoy Homman ke Gedung Merdeka. Perhelatan KAA tahun ini diharapkan dapat menghasilkan tiga dokumen, yaitu Bandung Message, Deklarasi Penguatan Kemitraan Strategis Asia dan Afrika (NAASP), serta deklarasi mendukung kemerdekaan Palestina. Hingga saat ini draf dukungan Palestina merdeka masih dibahas perwakilan Indonesia di New York.‎ Sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, Indonesia mempunyai arti penting bagi Palestina. Seperti komitmen Jokowi sejak awal menjadi presiden, pemerintah RI akan terus mendorong deklarasi ini, agar Palestina menjadi negara merdeka dan masuk menjadi anggota penuh PBB.

Melalui peringatan KAA, Bandung harus senantiasa mampu menyampaikan spirit perdamaian, baik pada level nasional maupun internasional. Peringatan KAA tentu jangan hanya terjebak sekadar menjadi rutinitas seremonial dan formalitas belaka. Namun begitu, perhelatan ini harus benar-benar menjadi momentum warga Bandung dan warga Indonesia umumnya untuk menunjukkan kepada dunia bahwa kita, bangsa Indonesia bukan saja bangsa yang cinta damai. Lebih dari itu, seperti telah dicontohkan Soekarno, kita adalah bangsa yang peduli, aktif dan proaktif dalam menciptakan dan memperjuangkan perdamaian dunia.

Lebih dari itu, peringatan KAA ini tentu memiliki nilai strategis tersendiri, terutama bagi Jokowi dan jajaran pemerintahannya. Momentum ini harus ditangkap dan dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam konteks kebangkitan kembali bangsa-bangsa Asia-Afrika maupun secara khusus untuk kepentingan nasional bangsa Indonesia dalam konstelasi politik global. Semangat anti-kolonialisme yang dikumandangkan Soekarno enam puluh tahun lalu harus segera diaktualisasikan kembali dalam semangat kekinian. Reaktualisasi “Spirit Bandung” ini tentu akan lebih konkret bila dikontraskan dengan persoalan kontemporer yang ada di hadapan mata saat ini, seperti soal Palestina, konflik Arab-Yaman, merajalelanya ISIS dan radikalisme dalam ragam bentuknya, serta bentuk-bentuk ketidakadilan global yang terutama disokong Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sebagai rezim politik global maupun rezim ekonomi global semisal Word Bank, IMF, dan sebangsanya. Inilah sebenarnya tugas besar yang harus diemban Jokowi dalam perhelatan KAA 2015, melanjutkan “provokasi” Soekarno melawan kolonialisme dalam segala bentuknya. Hanya dengan begitu, semangat “Dasasila Bandung” menjadi tetap relevan untuk terus dikumandangkan.*

[caption id="attachment_379868" align="aligncenter" width="700" caption="Bendera negara-negara peserta KAA 2015 di Jl Asia Afrika, Bandung (sumber: www.beritasatu.com)"]

1429774093229010698
1429774093229010698
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun