Mohon tunggu...
Sofian Munawar
Sofian Munawar Mohon Tunggu... Editor - PENDIRI Ruang Baca Komunitas

"Membaca, Menulis, Membagi" Salam Literasi !

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kebijakan Pendidikan di Tengah Himpitan Glokalisasi

29 Desember 2011   23:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:35 638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_247024" align="alignleft" width="300" caption="sumber: google image"][/caption]

Kebijakan pendidikan bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri terlepas dari beragam konteks yang melatarinya. Selain konteks politik nasional terutama politik pendidikan yang masih sentralistik. Ini antara lain tampak dalam kebijakan pendidikan nasional seperti peraturan mengenai Ujian Nasional (UN), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Operasional Pendidikan (BOP), dan peraturan sejenis lainnyayang terkesan seragam.Harus disadari bahwa konteks global dan lokal memiliki peran yang tidak bisa diabaikan. Ini antara lain tampak dari globalisasi pendidikan yang memunculkan borderless education market di satu sisi dan semangat desentralisasi pendidikan melalui otonomi daerah di sisi yang lain yang keduanya berpengaruh pada proses produksi dan implementasi peraturan pendidikan.

Globalisasi pendidikan kini bukan lagi sekadar wacana, tapi sudah nyata-nyata hadir di Kota Yogyakarta. Ini ditandai bukan saja dengan beroperasinya lembaga pendidikan asing, tapi lebih-lebih ditandai dengan munculnya ”zeitgeist” yang melahirkan trend dan paradigma baru dunia pendidikan di Kota Yogyakarta. Trend dan paradigma baru yang dimaksud adalah semacam kesadaran, harapan, atau bahkan keharusan ”menjadi warga dunia”. Dalam konteks pendidikan hal ini muncul, misalnya, anggapan bahwa pendidikan yang berkualitas itu adalah yang memiliki lisensi standar internasional.Tak heran jika kemudian bermunculan sekolah-sekolah dengan predikat SBI (Sekolah Bertaraf Internasional) atau RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) yang kehadirannya juga ditopang dengan peraturan perundangan. Hingga tahun 2010, setidaknya ada 16 sekolah SBI/RSBI, mulai tingkat SD, SMP, SMA, dan SMK di Kota Yogyakarta. Untuk menaikkan citra sebagai kelas internasional, sejumlah sekolah di Kota Yogyakarta bahkan telah merintis program sister school dengan lembaga pendidikan di luar negeri, terutama Amerika dan Eropa.

Semangat dan harapan untuk mewujudkan pendidikan berkelas internasional tersebut tentu bukan sesuatu yang buruk, namun obsesi ini menyimpan kecemasan tersendiri. Ini ibarat pisau bermata dua, memiliki sisi positif sekaligus negatif di sisi yang lain. Sisi positifnya, kondisi ini telah mendorong lembaga pendidikan di Kota Yogyakarta semakin kompetitif untuk meningkatkan kualitas dan daya saing.Ini terbukti dari pencapaian agregat kualitas pendidikan di Kota Yogyakarta yang selalu berada di atas standarnasional. Sisi negatifnya, semangat kompetisi yang obsesif di satu sisi telah menggeser domain pendidikan dari tujuannya yang paling hakiki.Padahal, UU Sisdiknas menegaskan bahwa tujuan pendidikan nasional bukan sekadar pencapaian aspek nilai kognitif semata, tapi juga pada perubahan perilaku, kepribadian, moral, dan budi pekerti siswa. Selain itu, terjadi juga pergeseran domain tanggung jawab pendidikan dari state responsibility ke kapitalisasi dan privatisasi pendidikan sehingga pendidikan menjadi mahal dan bahkan pada taraf tertentu biayanya tidak dapat dijangkau masyarakat kebanyakan.

Kondisi ini telah banyak melahirkan sisnisme yang luas di kalangan masyarakat. Tak heran jika Eko Prasetyo (2004) mencibir kondisi ini dengan analisisnya yang sangat provokatif: ”Orang Miskin Dilarang Sekolah!” Senada dengan itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai gejala kapitalisasi dan privatisasi pendidikan sebagai fenomena yang sangat mengkhawatirkan dimana program RSBI seringkali menjadi sekadar lahan bisnis dunia pendidikan (Simak, antara lain: liputanKompas, Jakarta: Edisi 15 Juli 2010). Alih-alih ingin menciptakan sekolah bertaraf internasional, yang terjadi justru hanya menciptakan sekolah ”bertarif” internasional. Kapitalisasi dan privatisasi pendidikan bukan saja mendorong mahalnya biaya pendidikan, namun juga telah melahirkan iklim ketidaksetaraan dalam pendidikan, baik ketidaksetaraan dalam akses maupun ketidaksetaraan karena adanya disparitas kualitas pendidikan, misalnya antara ”sekolah orang kaya” dengan sekolah rakyat.

Seiring dengan itu, konteks otonomi daerah juga melahirkan problematik tersendiri. Lahirnya Perda No.5 Tahun 2008 Tentang Sistem Penyelenggaraan Pendidikan di Kota Yogyakarta telah menjadi babak baru yang memunculkan iklim dan semangat desentralisasi pendidikan. Perda ini kemudian diikuti turunan aturannya dalam bentuk Perwal, Kepwal, dan peraturan pelaksanaan lainnya yang cukup variatif.

Diantara peraturan pendidikan yang bersifat lokal itu yang paling menonjol sekaligus krusial karena menjadi problematik antara lain yang berkaitan dengan ”kuota” baik dalam hal mengakses lembaga pendidikan maupun dalam pengaturan anggaran pendidikan. Peraturan yang berkaitan dengan kuota ini umumnya membedakan warga Kota Yogyakarta dengan warga luar Kota Yogyakarta dalam hal akses terhadap lembaga pendidikan dan akses terhadap anggaran pendidikan. Kondisi ini telah memunculkan tarik menarik kepentingan yang dilematik. Di satu sisi ada obsesi pemerintah untuk memproteksi warga Kota Yogyakarta agar hak atas pendidikannya lebih terjamin, namun ada juga harapan dan keinginan warga lainnya yang merasa hak dan kesempatannya sebagai warga negara atas hak pendidikan yang seharusnya setara menjadi terrenggut. Bagan berikut mungkin dapat memvisualisasikan persoalan ini.

Beberapa persoalan tersebut antara lain yang dapat menjelaskan mengapa prinsip utama HAM, yakni soal kesetaraan, non-diskriminasi, dan state responsibility dalam kebijakan pendidikan di Kota Yogyakarta secara umum memiliki nilai ”merah”. Demikian pula indeks persepsi yang disampaikan para informan studi ini menunjukkan bahwa dalam hal aspek dasar hak atas pendidikan, ”jaminan akses pendidikan menengah yang setara” merupakan aspek yang paling rendah pencapaiannya. Glokalisasi sepertinya telah turut menghimpit kebijakan pendidikan di Kota Yogyakarta mengabaikan sebagian prinsip HAM. Lebih detil mengenai persoalan ini dapat disimak dalam buku Yogyakarta: Kota pendidikan Minus HAM (Penerbit Ombak, 2011).

[caption id="attachment_247027" align="aligncenter" width="501" caption="sumber: dokumen pribadi"]

13654801511674303868
13654801511674303868
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun