Mohon tunggu...
Sofian Munawar
Sofian Munawar Mohon Tunggu... Editor - PENDIRI Ruang Baca Komunitas

"Membaca, Menulis, Membagi" Salam Literasi !

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Review Buku: "Masalah Agraria dan Kemakmuran Rakyat Indonesia"

10 November 2011   13:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:50 3261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teori kekuasaan otoritatif

Institusi politik dan ekonomi

Legitimasi

Teori legitimasi normatif

Institusi legal/aturan hokum

Secara illustratif, Giddens membuat visualisasi diagram konsep strukturasi sebagai berikut:

Kuatnya struktur dominasi yang dibangun pemerintah kolonial Belanda antara lain tampak pada sejumlah aturan agraria yang masih langgeng. Bahkan, ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaan 17 Agustus 1945 persoalan agraria tidak serta-merta terselesaikan secara signifikan Kemerdekaan politik itu tampaknya tidak membawa dampak nyata bagi masyarakat dalam penuntasan kasus-kasus pertanahan. Malahan yang terjadi justru makin banyaknya sengketa tanah yang belum terselesaikan dari waktu ke waktu. Warisan kolonial dalam persoalan agraria bukan saja tampak dari peraturan agraria yang masih berbau hukum kolonial, tapi juga dalam cara-cara kolonial yang sudah terlanjur terstrukturasi dalam penanganan persoalan pertanahan hingga kini.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), misalnya, mencatat bahwa pendekatan kekerasan dan teror masih sering dilakukan pemerintah dalam penyelesaian konflik agraria. Untuk tahun ini saja, misalnya, KPA telah merekam 89 laporan kasus konflik agraria dengan luas sengketa 133.278,79 Ha dan korban langsung dari sengketa ini tidak kurang dari7.585 KK. Ini tetap sajaangka minimal, sebab metode yang dipakai dalam pendataan ini berdasarkan kasus yang dilaporkan oleh masyarakat kepada KPA dan direkam oleh KPA melalui pemberitaan media massa.

Menyeruaknya beragam kasus dan konflik agraria memang perlu segera diantisipasi dan diselesaikan secara serius. Ahli hukum pertanahan UGM, Maria SW Sumardjono menilai bahwa permasalahan tanah selalu saja timbul karena kompleksitasnya persoalan tanah selalu terkait banyak aspek. Tanah sebagai sarana pemenuhan kebutuhan dasar manusia akan papan dan pangan serta merupakan sumber daya alam yang langka itu menjadi rentan diperebutkan oleh banyak pihak. Menurut Maria, persoalan ini selalu timbul karena kita belum memiliki disain reforma agraria yang baik yang bisa menuntun kita menemukan jalan keluar yang adil bagi para pihak. Dalam konteks inilah, deskripsi historis yang cukup lengkap yang diulas dalam buku ini mengajak kita untuk lebih arif memahami dan menyelesaikan persoalan agraria secara lebih komprehensif dengan melihat kompleksitasnya persoalan pertanahan secara simultan.

Refleksi: Timbangan dan Kontribusi Buku

Dalam pengatar buku ini, Koordinator Advokasi Kebijakan KPA, Iwan Nurdin menyebutkan bahwa pembaruan agraria di Indonesia adalah usaha kebangsaan yang telah menjadi agenda nasional setelah disyahkannya UUPA 1960. Tujuan pembaruan agraria ini tidak lain adalah merombak struktur agraria nasional warisan kolonial sekaligus menyusun dasar bagi usaha pembangunan nasional, Sayangnya, agenda ini semakin menghilang sekaligus dimusuhi seiring berkuasanya Orde Baru.

Banyak pihak menilai bahwa komitmen pemerintah untuk menjalankan pembaruan agraria merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan reformasi agraria secara bermakna. Namun sayangnya justru ditenggarai masih banyaknya kebijakan yang tumpang-tindih seputar persoalan pertanahan. Usep Setiawan menyebutkan bahwa Kekeliruan kebijakan agraria selama ini bukan saja pada level implementasi, tetapi juga pada ideologi, paradigma, konsep, dan orientasi politiknya. Berbarengan dengan itu, sejumlah peraturan perundangan-undangan agraria disusun sendiri-sendiri yang memicu disharmoni kebijakan sebagai implikasinya. Bahkan, berbagai kebijakan agraria telah menuai ketegangan yang menjurus konflik antarkebijakan. Selain kekeliruan kebijakan, lemahnya komitmen pemerintah untuk menjalankan pembaruan agraria terpantul dari ungkapan pemikiran yang sektoral dan tidak sensitif terhadap krisis agraria. Ini tampak, misalnya dari ketidakmaupahaman atas kenyataan di lapangan dan ketidakmaumengertian aparat pemerintahan atas langkah yang seharusnya ditempuh untuk memperbaiki kenyataan agraria menjadi gejala yang mencolok. Faktor ini dapat menjadi batu sandungan bagi pembaruan watak suprastruktur pemerintahan.

Dengan berkaca pada ragam pengalaman pengaturan pertanahan mulai zaman feodal hingga masa kolonial, Tauchid mengingatkan betapa pentingnya reforma agraria dilakukan oleh pemerintah nasional saat Indonesia merdeka. Namun justru bayang-bayang feodalisme dan kolonialisme itu terlalu kuat sehingga pemerintah Indonesia justru sulit keluar dari jeratan bayang-bayang itu. Ini tampak antara lain dari peraturan pertanahan yang masih banyak mengadopsi ordonansi Belanda. Demikian pula perilaku birokrasi terkait penanganan persoalan pertanahan agaknya masih membawa aroma feodalisme dan kolonialisme.

”Beruntunglah” kita diinterupsi dengan jeda masa pendudukan Jepang. Meski membawa malapetaka, penjajahan Jepang telah memberi inspirasi baru bagi munculnya perlawanan rakyat. Dalam konteks perjuangan agraria, semangat perlawanan ini juga muncul sehingga ideologi perlawanan rakyat untuk merdeka bukan saja bisa dibaca sebagai ”gugatan politik” untuk merdeka, tapi juga semangat untuk merebut dan mempertahankan ”sejengkal tanah” dengan segala akses dan kepentingan yang melekat padanya. Semangat merebut dan mempertahankan hak atas tanah ini yang kemudian muncul hingga kini juga bisa dibaca sebagai contentious politics yang mengedepankan identitas perlawanan rakyat terhadap rezim yang menguasai tanah sebagai alat sekaligus sumber produksi.

Dalam perkembangan berikutnya semangat contentious politics dalam perjuangan agraria itu memunculkan idiom-idiom tandingan yang menjadi simbol perlawanan rakyat: ”tanah untuk rakyat” dan ”reforma agraria” merupakanrepertoir yang banyak dipakai dalam berbagai demontrasi kaum tani, miskin kota, dan kelompok marginal lainnya yang menuntut keadilan agraria. Dalam konteks inilah buku ini melihat bahwa gerakan masa yang mulai sadar akan hak atas tanah mulai mengubah orientasinya menjadi semacam gerakan sosial yang oleh Hanspieter didefinisikan sebagai sekelompok orang yang melakukan perlawanan dengan mengembangkan identitas tertentu dengan repertoire of action secara massif. Semangat contentious politics ini pula agaknya yang menjadi cikal bakal munculnya berbagai advokasi masyarakat sipil dengan beragam model perlawanan baik terhadap negara maupun terhadap pemodal yang menguasai tanah.

Ini tentu merupakan salah satu tesis penting yang diangkat Tauchid dalam buku ini selain deskripsi historisitas yang panjang lebar mengenai persoalan agraria. Kesimpulan terpenting yang dapat diperoleh dari buku ini adalah bahwa penjajahan di Indonesia akan tergambarkan secara utuh jika kita memahami kebijakan politik agrarianya. Dengan membaca buku ini kita akan menyadari bahwa politik agraria warisan era kolonial sesungguhnya secara praktek masih tetap dipertahankan setelah kita merdeka. Kondisi ini pula yang kemudian memunculkan bertahannya semangat perlawanan rakyat dalam memperjuangkan keadilan agraria.

Sebagai pembanding atau bisa juga saling berkomplementasi, tesis, persoalan, serta deskripsi yang hapir serupa juga ditulis oleh Gunawan Wiradi. Dalam bukunya, Reforma Agraria: Dari Desa ke Agenda Bangsa Gunawan memberi tinjauan umum historis dan teoretis masalah agraria di Indonesia, dan juga seluruh dunia, sejak zaman kuno hingga awal Abad ke-XXI. Buku ini awalnya merupakan ‘Orasi Ilmiah dalam Rangka Penganugerahan Dr. Honoris Causa dalam Bidang Sosiologi Pedesaan dengan Fokus Kajian Agraria’ di kampus Institut Pertanian Bogor (IPB), 28 Mei 2009. Selain itu, beberapa buku Maria SW Sumardjono juga banyak mengulas isu-isu agraria meskipun bahasannya lebih bersifat akademik.

Dibanding buku-buku lain, agaknya, buku Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia karya Mochammad Tauchid ini lebih dokumentatif dan detil. Selain deskripsi historisitas persoalan agraria yang secara runtut termuat dalam delapan bab buku ini, bagian lampirannya (XXIXc) menyajikan dokumentasi peraturan perundangan yang cukup komplit. Peraturan Pemerintahan Desa mengenai kebijakan agraria di sejumlah tempat pada masa kolonial, beragam aturan, persetujuan, penyelesaian kasus-kasus pertanahan masa kolonial Belanda dan Jepang juga ragam Staatsblad seputar agraria terdokumentasi secara lengkap. Ini tentu penting setidaknya menjadi cermin untuk mengaca sehingga kita bisa membuat dan mendisain produk kebijakan agraria yang lebih baik.

Namun demikian, pilihan Mochammad Tauchid untuk bercerita secara detil tampaknya telah melenakannya dari aspek penting lainnya. Banyak kasus-kasus dan data serta informasi mutakhir seputar isu agraria tidak cukup tercover dalam buku ini. Selain itu, model tawaran mengenai reformasi agraria yang banyak disebut-sebut juga tidak begitu konkret dalam level implementasinya. Dua hal inilah setidaknya yang menurut hemat saya menjadi ”setitik nila” diantara hamparan informasi penting yang termuat dalam buku ini.

Pada level praksis maupun teoretis, setitik nila itu tentunya sedikitpun tidak menggoyahkan arti pentingnya buku itu. Sejumlah data, informasi, illustrasi –juga semangat perlawanan yang inklusif termaktub dalam buku ini– menjadi bagian penting tersendiri. Bukan saja bagi para petani atau organisasi serikat tani yang haus atas keadilan agraria, namun juga bagi para peneliti, akademisi, para pengambil kebijakan, serta bagi khalayak masyarakat umum lainnya yang berharap keadilan agraria akan mengejawantah di negeri ini. Tidak berlebihan jika Henry Saragih, Sekjen Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) kemudian menilai buku ini sebagai buku ”babon” (mother book) dalam bidang agraria. Buku ini diharapkan dapat menerbitkan matahari kesadaran rakyat Indonesia, menjadi pemapar dan penjelas bagi kondisi agraria mulai masa feodal dan masa kolonial sekaligus membuka jalan bagi pekerjaan lanjutan bagi usaha-usaha terpenting dalam menemukan rumah politik hukum dan ekonomi agraria terbaik yang hingga kini belum terwujud di bumi pertiwi, Indonesia tercinta.

***

Judul Buku: Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan KemakmuranRakyat Indonesia

Pengarang: Mochammad Tauchid

Halaman: xxviii + 609

Penerbit: Tjakrawala, Jakarta (1962) dan Pewarta, Yogyakarta (2007)

Daftar Bacaan

Doorn, Van, J.A.A, (1957).De laatste eeuw van Indie.Ontwikkeling en Ondergang van een Koloniaal Project” dalam AAGN Ari Dwipayana, Kuliah Teori Politik: Konsep Kekuasaan, Bahan Presentasi Perkuliahan Semester I 2009, Magister Ilmu Politik, Fisipol-UGM, Yogyakarta.

Foucault, Michel (1982). “The Subject and Power” in Beyond Structuralism and Hermeneutics, University of Chicago Press.

Gani, Sadikin (2006) “Tantangan Reforma Agraria” dalam situs: http://rumakiri.net

Habermas, Jurgen (1962). The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society. The MIT Press, Germany.

Haryanto (2005). Kekuasaan Elit: Suatu Bahasan Pengantar, S2 PLOD UGM-JIP UGM, Yogyakarta.

Konsorsium Pembaruan Agraria (2009). Laporan Akhir Tahun 2009, KPA, Jakarta. dalam situs: http://www.kpa.or.id/

Lasswell, Harold D. and Abraham Kaplan (1963). Power and Society: A Framework for Political Inquiry, Paperback, Yale University Press.

Setiawan, Usep “Menjaring Komitmen Demi Keadilan Agraria”, dalam Kompas: Edisi 17 November 2003.

Sumardjono, Maria SW (2008). Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

---------------- (1982). Tinjauan Kasus Beberapa Masalah Tanah, Jurusan Hukum Agraria, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Tauchid, Mochammad (2007) Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia, Pewarta, Yogyakarta.

Wiradi, Gunawan (2009). Reforma Agraria: Dari Desa ke Agenda Bangsa, IPB Press, Bogor.

Wiradiputra, RA (1952). Agraria (Hukum Tanah), Penerbit Jambatan, Jakarta.

http://rumahkiri.net/index.php?option=com_content&task=view&id=166&Itemid=97

http://www.kpa.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=427&Itemid=1

[1] Sadikin Gani, “Tantangan Reforma Agraria” dalam situs http://rumakiri.net dengan link berikut: http://rumahkiri.net/index.php?option=com_content&task=view&id=166&Itemid=97

[2] Bagian lampiran buku ini juga diperkaya dengan rujukan dokumentasi peraturan perundangan tentang agraria dari waktu ke waktu secara rinci.

[3] Harold D. Lasswell, Abraham Kaplan (1963). Power and Society: A Framework for Political Inquiry, Paperback, Yale University Press.

Van Doorn, J.A.A, (1957).De laatste eeuw van Indie.Ontwikkeling en ondergang van een koloniaal project” dalam AAGN Ari Dwipayana, Kuliah Teori Politik: Konsep Kekuasaan, Bahan Presentasi Perkuliahan Semester I 2009, Magister Ilmu Politik, Fisipol-UGM, Yogyakarta.

[5]Haryanto (2005). Kekuasaan Elit: Suatu Bahasan Pengantar, S2 PLOD UGM-JIP UGM, Yogyakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun