Mohon tunggu...
Sofian Munawar
Sofian Munawar Mohon Tunggu... Editor - PENDIRI Ruang Baca Komunitas

"Membaca, Menulis, Membagi" Salam Literasi !

Selanjutnya

Tutup

Politik

Melawan Korupsi?

15 Juni 2011   12:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:29 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

7

PP No.67/1999

Tatacara Pemantauan dan EvaluasiPelaksanaan Tugas dan Wewenang Komisi Pemeriksa

8

PP No.68/1999

Tatacara Pelaksanaan Peranserta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara

diolah dari berbagai sumber

Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kasus korupsi tidaklah berkurang. Selain dua kasus ‘warisan” yang tak berhasil diselesaikan oleh pemerintahan BJ. Habibie –yaitu pengusutan KKN Soeharto dan keluarga Cendana serta pengusutan kasus Bank Bali— Gus Dur justeru terjerat kasusnya sendiri. Buloggate yang mendera Gus Dur kemudian memaksanya turun tahta lewat Sidang Istimewa. Masa ini juga ditandai dengan legislative happy dimana kiblat korupsi mulai memencar dari istana: ke Senayan dan bahkan merambah ke daerah menunggangi otonomi daerah.

Pada periode pemerintahan Megawati, praktek korupsi ternyata makin pelik dan rumit. Intrik politik telah melenakan Megawati untuk lebih berkonsentrasi pada upaya stabilisasi kekuasaan ketimbang memerangi korupsi. Ini dapat disimak dari lolosnya Akbar Tandjung atas jeratan Buloggate II. Banyak pihak menduga Megawati turut memainkan peran mengamankan Akbar dengan membendung terbentuknya Pansus Buloggate II. “Inilah koalisi cantik untuk saling mengamankan diri,” ujar Koordinator Koalisi Anti Korupsi (KoaK), Ahmad Yuldan Erwin.

Akankah SBY melakukan hal yang sama ? 2 Mei 2005 tampaknya akan menjadi pertaruhan SBY dan bangsa ini. Jika Timtastipikor berhasil menggusur para koruptor, maka 2 Mei akan tertoreh sebagai hari bersejarah di negeri ini. Sebaliknya, jika SBY gagal, maka sejarah akan menggusurnya.

Belajar dari Cina

Tersebutlah seorang Kaisar Cina yang selalu menghukum setiap pelaku korupsi dengan cara yang unik. Selain hukuman badan, koruptor wajib membayar denda sebuah batu-bata besar kepada pemerintah. Maka pada akhir masa kekaisarannya, berdirilah tembok Cina sepanjang 13.000 mil! Namun orang-orang Cina percaya, meskipun hukuman yang sama diterapkan di Indonesia, koruptor di Indonesia tidak akan mampu membangun tembok meskipun cuma 1 mil. Apa sebabnya ? Karena di Cina koruptornya banyak, yang dikorupsinya cuma sedikit. Sementara di Indonesia yang dikorupsinya buanyak, tapi koruptornya seorang saja.

Anekdot itu memang sudah tidak kontekstual karena muncul pada masa Orde Baru. Peta korupsi sekarang justru berbanding terbalik. Jumlah koruptor di Indonesia kian hari kian bertambah. Sementara di Cina jumlah koruptor makin menyusut karena mereka berhasil melakukan pemberantasan korupsi secara berarti. Karena itu tak berlebihan jika banyak pihak merekomendasikan agar kita berguru ke Cina dalam hal pemberantasan korupsi.

Menurut Saldi Isra, kekuatan atau nilai lebih pemberantasan korupsi yang dilakukan Cina adalah pada shock therapyatau rasa takut yang ditimbulkan, misalnya dengan adanya hukuman mati. Yang lebih penting lagi, hukuman benar-benar diterapkan secara nyata terhadap para pelaku korupsi yang sudah divonis pengadilan setempat. Buktinya, selama kurun waktu Januari sampai November 2004 yang lalu, pemerintah Cina telah menangkap 4.225 koruptor dengan total kerugian negara 3,8 miliar yuan atau sekirar Rp 4,3 triliun.

Pemerintah Cina juga tidak pandang bulu, koruptor yang ditangkap pun terdiri dari berbagai lapisan pejabat, mulai dari level tertinggi sampai terendah. Laporan Kantor Berita Xinhua menyebutkan, pengadilan setempat tidak tanggung-tanggung dalam memvonis pelaku korupsi. Ada bekas gubernur yang telah divonis 11 tahun karena terbukti menerima suap sebesar 960.000 yuan atau sekira Rp 1,1 miliar. Juga ada seorang mantan wali kota dieksekusi hukuman gantung, karena kasus korupsi senilai Rp 3,5 miliar. Selain menangkap 4.225 koruptor, juga ada 754 pegawai negeri di Cina yang dihukum karena menyalahgunakan uang negara.

Menurut Dedi Haryadi, paling tidak, ada dua hal yang harus dicontoh dari Cina, yaitu dalam hal konsistensi dan hukuman mati. “Pemerintah Cina tak segan-segan menjatuhkan hukuman yang amat keras bagi koruptor, meskipun di sisi lain juga mendapat penentangan dari aktivis HAM yang tidak menyetujui hukuman mati” ujar aktivis BIGS ini.

Indonesia dan Cina merupakan dua negara yang kini sama-sama tengah berupaya keras melakukan pemberantasan korupsi. Perbedaannya hanya dalam keseriusannya. Kalau di Cina, pejabatyang baru diduga korupsi langsung mengundurkan diri. Di Indonesia, orang yang sudah jelas-jelas terbukti korupsi masih diberi kesempatan mengurus pemerintahan. Dalam hal korupsi, Cina benar-benar menerapkan hukuman tanpa pandang bulu. Sementara hukum di Indonesia ibarat sarang laba-laba: Ia hanya bisa menangkap nyamuk. Kalau burung besar yang lewat, maka koyaklah sarang laba-laba itu ... Tantangan itu kini menohok pada SBY. Beranikah ia mengambil pelajaran dari Cina atau meniru langkah Lee Kuan Yew yang dengan gagah menyiapkan peti mati koruptor bagi dirinya sendiri.  (Dimuat di Majalah Tempo, Edisi 30 Mei 2005).

[caption id="attachment_249761" align="aligncenter" width="300" caption="sumber: www.ahok.org"]

13667731141722862534
13667731141722862534
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun