35,1
5
Govt's freedom from and struggle against militias and mafias
13,2
86,2
13,2
50,9
35,0
Sumber: Riset DEMOS Putaran 1 dan 2 (2003-2004), data diolah
Daftar keprihatinan rakyat itu tentu dapat diperpanjang lagi dengan sejumlah kasus yang tak kalah getir dan menyedihkan. Evaluasi kinerja pembangunan yang dilakukan JARI Indonesia, misalnya,menunjukkan dengan jelas betapa negara telah gagal dalam memenuhi hak-hak dasar rakyat. Bahwa dominasi modal dengan ideologi pasar bebas dan ditopang ‘jampi-jampi’ globalisasi telah dengan sempurna merenggut kedaulatan rakyat. Sementara negara sebagai lembaga yang semestinya mengayomi dan melindungi segenap kepentingan warganya malah tak segan-segan menjadi mucikari yang menjajakan anaknya sendiri.
Demokrasi sebuah Jawaban
Harian Kompas dalam rubrik Fokus membuat deskripsi secara detail mengenai fenomena kemiskinan paling kontemporer di negeri ini. Ulasan Fokus ini antara lain menyebutkan bahwa pemerintah sudah semestinya merasa malu!. Sudah membangun selama 60 tahun, dibekali wilayah yang sangat luas dan kaya sumber daya alam, iklim cuaca yang kondusif, tanah yang subur, dan selama puluhan tahun rajin berutang miliaran dollar AS ke berbagai negara dan lembaga internasional, kok bisa sampai rakyatnya mengalami busung lapar atau mati kelaparan. Dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia seperti Malaysia, Thailand, Filipina, dan China, jumlah anak kurang gizi, angka kematian bayi, angka kematian ibu, anak putus sekolah, tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran, tingkat pendapatan, dan berbagai indikator kesejahteraan lainnya, lebih buruk. Bahkan dibandingkan Vietnam pun Indonesia kalah.
Merebaknya kasus busung lapar dan sejumlah penyakit lain yang diakibatkan oleh kemiskinan, juga menunjukkan kegagalan pemerintah memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan kesehatan sebagai hak paling dasar minimum rakyat. Meskipun tidak semua kasus malnutrisi adalah akibat faktor ekonomi, kasus busung lapar yang mengancam sekitar 1,67 juta atau delapan persen dari total anak balita di Indonesia diakui terkait erat dengan rendahnya daya beli dan akses masyarakat miskin ke pangan. Masih tingginya tingkat kelaparan di masyarakat menunjukkan ada yang tidak beres dengan kebijakan pembangunan. Secara normatif orientasi kebijakan pembangunan memang telah berubah. Pemenuhan hak dasar rakyat merupakan salah satu komitmen yang tertuang dalam Strategi Pembangunan Nasional 2004-2005. Namun pada kenyataanya, implementasi kebijakan itu hingga sekarang sepertinya belum berubah dimana pembangunan masih menekankan pada pertumbuhan ekonomi, dengan mengabaikan pemerataan dan keadilan.
Strategi pembangunan yang ‘konservatif’ tersebut juga berimplikasi pada pilihan strategi penanganan kemiskinan yang konservatif pula. Meskipun Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) telah ‘berhasil’ merumuskan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SPKN), namun dalam tataran implementasinya tidak cukup signifikan menangani persoalan. Ini antara lain karena tidak sinkronya titik pandang dan dasar pijak yang dipakai. Pendekatan pertumbuhan dalam pengurangan kemiskinan, misalnya, masih begitu diandalkan pemerintah. Padahal, penyebab utama kemiskinan bukan karena kurangnya pendapatan, tetapi yang terutama karena pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia serta ketidak-mampuan negara untuk memenuhi, menghormati, dan melindungi hak-hak demokratis warganya.
Adalah Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi (1998) ini secara progresif mencoba mengangkat isu demokrasi sebagai konsep yang solutif dalam memahami masalah kemiskinan. Ekonom asal India ini berpendapat bahwa kekurangan secara ekonomis bukanlah satu-satunya jenis kemiskinan yang merapuhkan kehidupan manusia, karena kehidupan manusia dimiskinkan dalam berbagai cara yang berbeda. Menurut Sen, ukuran kemiskinan senantiasa jauh melewati batas-batas dimensi ekonomi, karena dalam kemiskinan ekonomi selalu melekat secara inheren kemiskinan secara total; miskin pendidikan, kesehatan, bahkan miskin secara politik. Sen mengkritik para ekonom yang melihat gelombang krisis yang menghantam negara-negara Asia belakangan ini dilihat semata karena sebuah kegagalan dalam mengantisipasi karakter arus modal, yang ternyata terkait dengan sistem ekonomi dan politik. Menurutnya, krisis ekonomi di Asia, termasuk di Indonesia, muncul dan berkembang karena negara-negara tersebut telah mengabaikan demokrasi. Sen, bahkan, sampai pada suatu kesimpulan bahwa ketiadaan demokrasi yang sering melahirkan ketidakadilan adalah akar dari semua bentuk kemiskinan.
Dalam konteks Indonesia, Sen memberikan analisisnya bahwa krisis yang terjadi sangat terkait dengan terabaikannya keterbukaan dan demokrasi. Selama ini, Indonesia dianggap telah gagal membangun "keamanan perlindungan demokrasi" maupun "jaminan keterbukaan" yang merupakan dua bentuk kebebasan sebagai sarana utama pembangunan. Ketiadaan keamanan perlindungan demokrasi telah membuat rakyat sebagai korban krisis ekonomi tidak memiliki sarana untuk menyalurkan suara dalam proses pengambilan keputusan (voiceless). Padahal, partisipasi publik merupakan salah satu pilar penting yang dapat mendorong terciptanya good governance. Sherry Arnstein menyebutkan bahwa kontrol warga (citizen control) merupakan tingkat tertinggi partisipasi publik dimana rakyat memiliki kewenangan untuk memutuskan, melaksanakan, dan mengawasi pengelolaan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan.
Karena itu, proses demokratisasi merupakan agenda strategis yang harus diperjuangkan dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Dalam hubungan ini, Gerakan Anti Pemiskinan Rakyat Indonesia (GAPRI) menawarkan empat pilar demokratisasi untuk melawan kemiskinan dan pemiskinan. Disadari bahwa strategi penanggulangan kemiskinan saat ini membutuhkan perubahan sistem dan struktur secara mendasar dan secara jangka panjang mampu membebaskan si miskin dari jebakan proses pemiskinan. Karena itu, empat pilar demokratisasi yang ditawarkan GAPRI didasarkan pada penegasan pendekatan berbasis hak-hak (rights base approach) si miskin dan sekaligus penegasan kewajiban negara (state obligation) serta donor untuk menjamin dan melindungi hak-hak si miskin. Keempat pilar demokratisasi untuk melawan kemiskinan dan pemiskinan itu adalah:
1. Restrukturisasi Relasi Politik
Harus disadari bahwa relasi-kuasa dalam sistem politik kita berjalan secara timpang. Agar demokrasi berjalan secara substantif maka menjadi penting untuk dilakukan penataan ulang relasi politik sehingga sistem dan kelembagaan politik yang ada benar-benar dirancang dan disediakan secara bertanggung jawab untuk memecahkan persoalanyang menjadi kebutuhan publik. Dengan begitu, maka pendekatan penanggulangan kemiskinan haruslah menjadi kewajiban hukum (legal obligation) dari negara.
2. Redistribusi Kekayaan
Banyak hal yang dapat dilakukan dalam upaya redistribusi kekayaan, namun yang paling utama menyangkut tiga hal, yaitu: pembaruan agraria, pajak dan pembuatan anggaran yang pro-rakyat, serta pendidikan dan kesehatan yang memadai. Ketiga hal utama ini merupakan wilayah penting bagi redistribusi kekayaan secara lebih berkeadilan.
3. Reorientasi Pengelolaan Ekonomi: Menuju Ekonomi Kerakyatan
Tujuan ekonomi kerakyatan adalah memandirikan ekonomi nasional, membuka kesempatan ekonomi bagi semua rakyat secara terbuka dan adil, perimbangan pengelolaan keuangan negara, baik dalam konteks antara usaha kecil, menengah dan besar, maupun antara pusat dan daerah, menghapuskan ketimpangan pemilikan aset negara, termasuk kredit perbankan, memperkuat peranan negara dalam mengendalikan atau mengatur pasar (governing the market). Upaya ini dilakukan dalam rangka memberi kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat agar memiliki akses sebesar-besarnya sehingga memungkinkan mereka dapat berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan.
4. Reformasi Fundamental Peran Donor dan Perusahaan TNCs/MNCs
Reformasi fundamental atas peran TNCs/MNCs perlu dilakukan dengan menekankan hubungan yang setara, menekankan pembangunan dan yang berorientasi pada penghormatan hak asasi manusia. Selain itu, operasiTNCs dan MNCs yang seringkali memanfaatkan posisi negara-negara dan badan donor juga harus didesak untuk melakukan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar orang miskin sebagai suatu kewajiban hukum (legal obligation) dari pihak swasta/modal.
Jurus yang dikemukakan GAPRI tersebut memang cukup kontekstual dan strategis. Namun demikian, pendekatan yang teramat politis itu tampaknya tidak cukup ‘populis’ dan bahkan sering disangsikan keandalannya dalam mengentaskan kemiskinan. Benarkah pemenuhan hak-hak sipil-politik –selain juga hak-hak ekonomi-sosial-budaya— seperti itu memiliki korelasi positif dengan peningkatan kesejahteraan rakyat ? Rakyat sepertinya banyak yang apatis untuk menjawab pertanyaan seperti itu. Namun agaknya, kita perlu belajar dari pengalaman Porto Alegre yang telah menunjukkan bahwa pelibatan masyarakat secara proaktif dan partisipatif dalam pengambilan kebijakan publik terbukti mampu menekan kemiskinan secara signifikan.
Kemenangan Partai Buruh (Partido dos Trabalhadores) di Porto Alegre sangat mengejetkan. Kekagetan ini bukan saja dikarenakan pemimpin Partai Buruh itu berasal dari kalangan rakyat miskin, tapi juga karena lawan politiknya saat itu sebetulnya masih sangat powerfull. Lalu apa resepnya ? Partai Buruh saat itu mengusung metode penentuan anggaran publik secara partisipatif. Dengan konsep ini, warga benar-benardilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, terutama mengenai pengelolaan anggaran publik. Ini merupakan koreksi serius atas pendekatan sebelumnya yang memutuskan sesuatu tanpa pelibatan publik secara luas.
Lalu bagaimana hasilnya ? Laporan Majalah TEMPO menuturkan hasil penelitian PMPA-GAPLAN yang menunjukkan bahwa sejak kemenangan Partai Buruh itu terjadi peningkatan jumlah anggran lebih dari 300 persen untuk sektor perumahan di Porto Alegre. Penelitian ini juga menyebutkan bahwa hampir seluruh penduduk memperoleh air bersih, sementara jumlah anak sekolah yang mampu melanjutkan ke perguruan tinggi berlipat ganda jumlahnya. Kondisi ini berbanding terbalik dengan fenomena yang terjadi di DKI Jakarta. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggran (Fitra) menunjukkan bahwa RAPBD DKI 2005 justru mengusulkan anggaran Rp 23,1 miliar untuk penggusuran. Perbedaan yang mencolok ini memperlihatkan pada kita bahwa demokrasi prosedural yang sejauh ini diterapkan di Indonesia hanya berhasil menjamin kebebasan sipil, akan tetapi belum menyentuh hak-hak dasar lain seperti hak atas pendidikan, kesehatan, tempat tinggal yang layak, maupun pekerjaan.
Pelajaran yang dapat dipetik dari Porto Alegre adalah bagaimana Partai Buruh sebagai partai yang berkuasa berhasil menggunakan kekuasaan otoritatif mereka untuk memulai adanya perubahan mendasar pada karakter kebijakan pemerintahan lokal. Lokus kekuasaan tidak lagi berpusat pada pemerintah, akan tetapi terbagi pada warga. Hal ini terjadi karena dinamika kelembagaan dan kapasitas aktor prodemokrasi mampu mengembangkan gerakan berbasis massa secara nyata serta mampu mengimplementasikan hak-hak dan institusi demokrasi secara berarti.
Eksperimentasi demokrasi seperti itu bukanlah sesuatu yang mustahil dilakukan di Indonesia. Persoalannya tentu akan berpulang pada kesiapan dan kemampuan para aktor prodemokrasi dalam mentransformasikan hak-hak dan institusi demokrasi secara substantif dan implementatif. Karena itu, proses demokratisasi secara substansial sudah semestinya terus digulirkan. Agenda demokratisasi seharusnya menjadi demikian penting bukan saja atas pertimbangan political entirely, namun seperti diungkapkan Amartya Sen bahwa ketiadaan demokrasi merupakan akar kemiskinan yang sejati. Karena itu pula demokratisasimerupakan keniscayaan yang tak bisa ditawar dalam upaya pengentasan kemiskinan. Dengan cara inilah kemiskinan di negeri ini dapat dienyahkan.***
Lebih rinci dapat disimak dalam Jurnal KIKIS Vol.1/2004.
HS. Dillon (2003) “Prolog” dalam Empat Pilar Demokratisasi untuk Melawan Kemiskinan dan Pemiskinan”, GAPRI, Jakarta.