Sofian Munawar Asgart
Pendiri Perkumpulan DEMOS, peneliti The Interseksi Foundation, Jakarta pernah membantu proyek penelitian UNICEF, Transparansi Internasional Indonesia, YLBHI dan Komnas HAM
Hiruk pikuk politik elektoral dari pemilu nasional hingga pemilukada di sejumlah daerah di sisi lain telah melenakan kita pada “urusan politik warga” lainnya yang bisa jadi justru lebih fundamental dan substansial. Salah satunya adalah Hak Ekonomi Sosial dan Budaya atau kerap disebut sebagai Hak Ekosob. Meskipun Hak Ekosob sendiri meliputi hal yang cukup luas, namun sejumlah pihak seringkali memberikan skala prioritas yang lebih fokus pada lima aspek yang dianggap lebih fundamental, yakni: pangan, perumahan, pekerjaan, kesehatan, dan pendidikan.
Tulisan ini merupakan salah satu segmen dari hasil sementara “proyek uji Coba” Indikator dan Pembuatan Indeks Hak Asasi Manusia yang dilakukan Komnas HAM di sejumlah provinsi untuk lima aspek issu hak Ekosob: hak atas pangan, perumahan, pekerjaan, kesehatan, dan pendidikan. Tulisan berikut merupakan pemetaan awal dari dua aspek hak Ekosob, yaitu hak atas kesehatan dan hak atas pendidikan di Provinsi DKI Jakarta (2013) dimana penulis turut terlibat di dalam tim yang dibentuk Komnas HAM.
Tentang hak Ekosob
Dalam konteks Hak Asasi Manusia (HAM), negara mempunyai kedudukan sebagai pemangku kewajiban (duty bearer). Kewajiban yang diemban negara terdiri atas tiga bentuk, yaitu menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfil). Kewajiban untuk menghormati (obligation to respect) adalah kewajiban negara untuk menahan diri untuk tidak melakukan intervensi, kecuali atas hukum yang sah (legitimate). Kewajiban negara untuk melindungi (the obligation to protect) adalah kewajiban untuk melindungi hak bukan hanya terhadap pelanggaran yang dilakukan negara, namun juga terhadap pelanggaran atau tindakan yang dilakukan oleh entitas atau pihak lain (non-negara) yang akan mengganggu perlindungan HAM. Sementara itu, kewajiban untuk memenuhi (the obligation to fulfill) adalah kewajiban negara untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, yudisial, dan praktis untuk menjamin pelaksanaan HAM sesuai DUHAM.
Perdebatan ideologis atas kelahiran konvensi hak Ekosob telah menjadi wacana yang cukup menarik. Negara-negara yang memiliki latar belakang ideologi liberalis-kapitalis tidak mendukung dilahirkannya konvensi Ekosob dengan alasan bahwa negara tidak boleh intervensi atas kegiatan ekonomi. Sedangkan negara-negara sosialis mendukung kelahiran konvensi Ekosob ini dengan alasan bahwa negara memiliki tanggungjawab untuk menyejahterahkan rakyatnya. Jalan tengah perdebatan tersebut adalah dengan dikeluarkanya dua konvensi atas derivasi deklarasi universal HAM 1948, yaitu Konvensi Hak Sipil dan Politik serta Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Latar belakang perdebatan ideologis ini diakui oleh Verloren Van Themaat. Menurut Themaat, dalam tertib ekonomi internasional terdapat dua sistem ekonomi yang berbeda. Pertama adalah negara-negara yang menganut pada prinsip liberalisasi pasar yang dikenal dengan negara kapitalis. Kedua adalah negara-negara sosialis yang menganut pentingnya intervensi negara dalam bidang ekonomi.
Jika melihat bagian pembukan konvensi Ekosob, terlihat jelas bahwa pembentukan konvensi didasarkan pada Piagam PBB (Pasal 1 ayat 2 dan 3 serta 55) serta Deklarasi Universal HAM 1948, terutama pada Pasal 22-27. Konvensi juga menyadari bahwa individu memiliki kewajiban atas individu dan komunitasnya serta memiliki kewajiban untuk memperjuangkan hak-hak yang dijamin dalam konvensi.
Sejak lama, Indonesia telah mengakui dan berkomitmen atas pemenuhan hak Ekosob yang secara eksplisit telah diakomodasi dalam konstitusi dan sejumlah peraturan perundangan yang ada. Dalam hal kesehatan, misalnya, Pasal 28H (1) menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Sementara dalam Pasal 34 (3) disebutkan bahwa “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. Demikian pula dalam hal pendidikan, Pasal 28C (1), Pasal 31 (1), (2), (3), dan (4) antara lain menyebutkan bahwa:
·Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan;
·Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya;
·Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% APBN dan APBD .
Komitmen Indonesia dalam mengimplementasikan hak Ekosob juga diwujudkan dengan mengesahkan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (KIHESB) melalui UU No. 11 Tahun 2005. Dengan demikian, pelaksanaan ketentuan dalam Kovenan ini mengikat Indonesia secara hukum oleh karena Indonesia telah menjadi Negara Pihak. Kovenan ini mengatur tentang kewajiban negara pihak.
Pertama, mengambil langkah-langkah secara sendiri maupun melalui bantuan dan kerjasama internasional, khususnya dalam bidang ekonomi dan teknis. Kedua, memaksimumkan sumber dayanya yang tersedia dalam pemenuhan hak Ekosob. Ketiga, secara bertahap mencapai realisasi atas hak-hak Ekosob. Keempat, melalui cara-cara yang sesuai, termasuk secara khusus melakukan perbaikan terhadap langkah-langkah legislatif.
Sebagai lembaga yang memiliki mandat dalam pemajuan HAM –seperti termuat dalam Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia– Komnas HAM melakukan berbagai upaya, termasuk mendorong pemajuan hak Ekosob. Salah satu kegiatan yang dilakukan untuk menunjang hal ini adalah merumuskan Indeks Hak Asasi Manusia (Human Rights Index/HRI) melalui serangkaian penelitian. Kegiatan penelitian HRI untuk tahun ini mengambil sampel empat wilayah provinsi sebagai pilot project: DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Gorontalo, dan Maluku. Adapun hak Ekosob yang masuk dalam cakupan penelitian ini adalah hak atas pangan, perumahan, kesehatan, pendidikan dan pekerjaan. Tulisan ini merupakan laporan penelitian untuk hak atas kesehatan dan pendidikan di Provinsi DKI Jakarta.
Pemenuhan Hak Atas Kesehatan
Ratio legisUU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan menjadi salah satu unsur penting bagi kesejahteraan. Pertimbangan dasar regulasi ini juga mengamanatkan bahwa setiap kegiatan dalam upaya memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan harus dilaksanakan berdasarkan prinsip non-diskriminasi, partisipatif, dan berkelanjutan. Oleh karena itu, setiap kegiatan dan upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan dengan mengikutsertakan masyarakat secara luas yang mencakup upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif secara menyeluruh serta berkesinambungan.
Mengacu pada KIHESB bahwa hak atas kesehatan berisi hak kebebasan dan kepemilikan, kemerdekaan mencakup hak untuk memeriksakan kesehatan tubuh termasuk kebebasan seksual dan berproduksi dan hak untuk bebas dari gangguan, hak untuk bebas dari penganiayaan, tindakan medis tanpa persetujuan dan eksperimen. Kepemilikan termasuk hak atas sistem proteksi kesehatan yang menyediakan kesempatan yang sama bagi tiap orang untuk memenuhi standar kesehatan yang memadai dan terjangkau.
Dalam tataran implementasinya, ketiga elemen kunci tersebut beririsan dengan tiga ranah pendekatan, yaitu: struktur, proses, dan hasil. Setiap elemen kunci mengukur tigaindikator yang menjadi satu kesatuan secara integratif untuk memandang komitmen dari struktur, upaya atau proses terutama terkait legislasi dan kebijakan yang mendukung, serta hasil dari perwujudan hak atas kesehatan di suatu wilayahprovinsi dalam bentuk kegiatan dan program kesehatan yang nyata. Kerangka model evaluasi ini secara illustratif dapat divisualisasikan sebagai berikut.
Sejak masa pemerintahan Jokowi-Ahok, pemenuhan hak atas kesehatan di DKI Jakarta mengalami peningkatan sangat signifikan dalam berbagai ranah, baik struktur, proses, maupun hasil.
Pemenuhan Hak Atas Pendidikan
Pada level struktur, pemenuhan hak atas pendidikan perlu mengacu pada sumber hukum perundangan tertinggi, yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Dalam konstitusi negara kita barangkali pendidikan dipandang merupakan aspek paling penting dan mendasar sehingga dalam konstitusi disebutkan secara eksplisit hak warga dan sekaligus kewajiban negara untuk memenuhinya sampai pada penyebutan nominal anggarannya. Pasal 31 UUD 1945 menyebutkan bahwa “ (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya’ (3) ... ; (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional” Pesan yang sama juga dapat kita simak pada Undang-Undang no.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.
Selanjutnya, dalam konteks pemenuhan hak atas pendidikan di Provinsi DKI Jakarta, dasar normatif tersebut dijabarkan dalam serangkaian regulasi daerah, baik melalui Perda, Pergub, Surat Keputusan Gubernur, maupun Surat Keputusan dan Surat Edaran Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta. Menurut Tri Joko, Kepala Sub-Bagian Perda, Setda Provinsi DKI Jakarta, regulasi bidang pendidikan di DKI Jakarta merupakan yang terbanyak dan mungkin paling komplit. Selama tahun 2013 saja lebih dari sepuluh regulasi mengenai pendidikan yang ada di DKI Jakarta. Namun demikian, meskipun secara kuantitatif sangat banyak, anatomi regulasi pendidikan secara umum dapat dipetakan sebagai berikut.
Bagan tersebut menunjukkan adanya ketersediaan struktur yang mendukung pemenuhan dan perwujudan hak atas pendidikan di Provinsi DKI Jakarta. Dalam konteks DKI, mulai dari Perda DKI No. 8 Tahun 2006 Tentang Sistem Pendidikan, beragam Pergub tentang pendidikan yang menjadi turunan pelaksanaannya hingga ke level petunjuk teknis (juknis) dan petunjuk pelaksanaannya (juklak). Dalam hal Pergub pendidikan, untuk tahun 2013 saja, misalnya, ada tiga Pergub yang dikeluarkan, yaitu: Pergub No.34 Tahun 2013 Tentang Biaya Operasional Pendidikan SD/MI Negeri; Pergub No.36 Tahun 2013 Tentang Biaya Operasional Pendidikan SD/MI Swasta; Pergub No. 23 tahun 2013 Tentang Bantuan Biaya Personal Pendidikan Bagi Peserta Didik dari Keluarga Tidak Mampu Melalui Kartu Jakarta Pintar. Sejumlah produk regulasi ini yang kemudian akan tercermin dan terimplementasikan dalam ragam program pendidikan.
Dari sisi proses, Pemda DKI juga telah menunjukkan beragam upaya terkait program layanan pendidikan, terutama program publik dalam bentuk intervensi khusus yang mendorong pemenuhan hak atas pendidikan. Program Kartu Jakarta Pintar (KJP) dengan segala program turunannya bahkan menjadi ikon tersendiri yang sekaligus menjadi salah satu program andalan pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam bidang pendidikan. Namun demikian, di luar program KJP yang paling massif, program pendidikan lainnya juga sebetulnya cukup beragam, termasuk dan terutama misalnya “Program Wajib Belajar” yang sedikit banyak memiliki implikasi paling nyata terhadap capaian hasil dan kualitas pendidikan di DKI Jakarta.
Capaian penting lainnya yang perlu dikemukakan dan dideskripsikan secara lebih detil dari indikator ketersediaan adalah dimensi hasil. Dalam konteks ini kita akan melihat bagaimana target dan capaian beberapa aspek terkait pemenuhan dan perwujudan hak atas pendidikan, seperti jumlah sarana pendidikan, SDM dan tenaga pendidikan yang dimiliki, terutama guru beserta rasionya serta implikasinya terhadap tingkat kemampuan baca tulis, maupun capaian makro yang lebih progresif, yakni Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang tentu saja sangat dipengaruhi taraf dan capaian hasil pendidikan.
Dibandingkan angka-angka tahun sebelumnya, perkembangan jumlah sekolah mengalami perubahan yang bervariasi. Pada tahun 2011/2012, misalnya jumlah total sekolah TK dan SMP meningkat menjadi 1.802 (TK), dan 958 (SMP). Sementara SD dan SMA justru menurun, yakni menjadi 2.938 (SD) dan 486 (SMA). Sementara jumlah guru dan siswa untuk semua tingkatan meningkat. Adapun jumlah ruang kelas relatif tetap, dan kalau pun ada penambahan maupun pengurangan angka tidak terlalu signifikan. Kondisi ini tentu akan melahirkan masalah dalam hal ketersediaan ruang kelas. Masalah susulan lainnya terkait kondisi ruang kelas itu sendiri yang banyak dikabarkan mengalami penyusutan kualitas fisiknya. Bahkan, ratusan ruang kelas akhir-akhir ini dikabarkan rawan ambruk.
Hingga saat ini, ada sekitar 744 unit sekolah negeri di Jakarta yang diperkirakan rawan ambruk. Rawan ambruk akibat atap sekolah tersebut masih menggunakan kayu sehingga ke depan harus diganti dengan atap penyangga baja ringan. “Sesuai instruksi bapak wakil gubernur mulai tahun depan semua gedung sekolah yang masih menggunakan kayu sebagai penyangga atap akan diganti menjadi baja ringan. Saya kira instruksi pimpinan merupakan hal baik untuk menghindari munculnya gedung rawan ambruk,” ujar Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Didi Sugandhi. Karena itu, Disdik DKI juga berencana untuk segera melakukan renovasi sejumlah sekolah yang secara fisik sudah kurang layak. “Kita sudah ajukan daftar gedung sekolah rawan ambruk. Mudah-mudahan dewan mendukung semua program yang diajukan. Ini jadi prioritas kami selama ini,” tambah Didi.
Sementara itu, dari sisi peserta didiknya sendiri meskipun pemerintah Provinsi DKI telah melakukan program pendidikan secara massif, nyatanya belum mampu menggenjot peningkatan secara sangat signifikan terhadap tingkat pendidikan. Hingga kini, presentase penduduk yang berumur 10 tahun ke atas menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan masih menyisakan angka lulusan pendidikan Sekolah Dasar dan yang belum tamat Sekolah Dasar dalam jumlah yang cukup tinggi, yakni sekitar 27 persen.
Di luar itu, ada catatan tambahan penting lainnya yang justru memperlihatkan “angka merah” terkait perwujudan hak atas pendidikan di Provinsi DKI Jakarta, yaitu soal kualitas. Retno Listyarti menilai bahwa dari sisi kualitas, pendidikan di DKI Jakarta masih sangat krusial. Setidaknya, ada tiga masalah mendasar yang terkait satu sama lainnya, yaitu: tenaga pendidik (guru), sarana dan prasarana, serta mentalitas para penyelenggara pendidikan yang ujungnya berdampak pada masih rendahnya kualitas out-put pendidikan.
Diskusi dan Rekomendasi
Pemetaan pemenuhan Hak Ekosob dalam penelitian ini memang belum tuntas terutama karena keseriusan Komnas HAM sendiri perlu dipertanyakan dalam program ini, baik dari sisi metodologis maupun aspek-aspek teknis dalam implementasinya. Namun begitu, dari survei awal, terutama di wilayah Provinsi DKI Jakarta ada beberapa temuan menarik, terutama dalam dua isu Ekosob, yaitu kesehatan dan pendidikan.
Pemenuhan hak atas kesehatan di DKI Jakarta mengalami peningkatan cukup signifikan pasca pergantian pemerintahan Jokowi-Ahok. Dari ketiga ranah yang dijadikan basis pengkajian, yaitu struktur, proses, dan hasil, kinerja hak atas kesehatan mengalami peningkatan. Berbagai kebijakan dan legislasi terkait hak atas kesehatan dibarengi upaya-upaya implementasinya telah menunjukkan capaian angka-angka positif yang juga diiringi tingkat kepuasan dan harapan yang sangat positif dari warga Jakarta umumnya. Angka-angka capaian indikator yang dideskripsikan di atas cukup mengkonfirmasi kinerja positif dalam hal akes dan pemenuhan hak atas kesehatan.
Adapun untuk pemenuhan hak atas pendidikan tampaknya masih stagnan. Meskipun dari sisi proses legislasi dan kebijakan sudah diupayakan berbagai terobosan yang cukup progresif, namun di tingkat struktur, terutama struktur pelaksana di bawah Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta tampak kurang greget. Bahkan sejumlah rencana perbaikan yang sudah disepakati pun kesulitan implementasinya karena ketidaksiapan struktur pelaksananya. Hal ini sekaligus menjadi penghambat sehingga sejumlah indikator pencapaian hasil hak atas pendidikan cenderung stagnan, meskipun beberapa indikator lainnya mengalami sedikit perbaikan. Karena itu, “kebijakan susulan” yang kemudian banyak dipromosikan Ahok seperti lelang jabatan kepala sekolah dan kepala dinas pendidikan bisa jadi merupakan terobosan untuk memecah kebuntuan di level “struktur” untuk mendongkrak proses dan hasil yang lebih baik dalam kaitannya dengan akses dan perbaikan hak atas pendidikan di DKI Jakarta.
Terpilihnya Jokowi menjadi orang nomor satu di negeri ini membawa angin segar bagi banyak hal, termasuk dan terutama dalam hal perbaikan dan peningkatan atas pemenuhan hak Ekosob. Hak atas kesehatan dan hak atas pendidikan yang merupakan hak paling mendasar telah direspon Jokowi-Ahok dengan “Kartu Jakarta Sehat” dan “Kartu Jakarta Pintar” di level DKI Jakarta. Dengan runningnya Jokowi ke pentas nasional setidaknya kita dapat berharap agar program ini dapat diproyeksikan menjadi kebijakan nasional. Dengan begitu, perbaikan dan peningkatan atas pemenuhan hak Ekosob, terutama hak atas kesehatan dan hak atas pendidikan mengalami kemajuan yang sangat signifikan. Salah satunya, misalnya dengan mempromosikan “Kartu Indonesia Sehat” dan “Kartu Indonesia Pintar” di level nasional. ***
Simak: http://senandikahukum.wordpress.com/2009/02/25/hak-asasi-manusia-dalam-hukum- .....
Simak: http://senandikahukum.wordpress.com/2009/02/25/hak-asasi-manusia-dalam-hukum- .....
Simak Pasal 31 UUD 1945 beserta penjeasannya.
Wawancara dengan Tri Joko, Jakarta: Jumat, 27 September 2013.
Simak antara lain Perda No.8 Tahun 2006 terutama bagian mengenai “Jam Belajar Masyarakat”.
Simak: Harian Republika, Jakarta: Sabtu, 16 November 2013.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H