Mohon tunggu...
Sofian Munawar
Sofian Munawar Mohon Tunggu... Editor - PENDIRI Ruang Baca Komunitas

"Membaca, Menulis, Membagi" Salam Literasi !

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Sampah dan Demokrasi

21 Februari 2015   17:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:46 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_369986" align="aligncenter" width="300" caption="sumber photo: national geographic"][/caption]

Sofian Munawar Asgart
Peneliti the Interseksi Foundation, Jakarta

Masih banyak yang belum tahu jika 21 Februari adalah “Hari Sampah Nasional” atau lebih tepatnya adalah “Hari Peduli Sampah Nasional” (HRSN). Penetapan 21 Februari sebagai HPSN dipicu sebuah tragedi kemanusiaan yang terjadi tahun 2005, tepat pada hari itu di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Leuwi Gajah, Cimahi, Jawa Barat. Lantas, apa hubungannya sampah dengan demokrasi?  Mari lanjutkan ceritanya …

Ironi Leuwi Gajah: Musibah dan Berkah

Tragedi Leuwi Gajah yang telah merenggut ratusan korban jiwa dan keugian materi yang tak terkira itu tentu merupakan musibah kemanusiaan. Mungkin ini satu satunya tragedy kemanusiaan dimana ratusan jiwa direnggut oleh sampah. Bahkan dua kampung dikabarkan hilang dari peta. Banyak pakar kemudian turut berkoar seputar akar masalah, aspek teknis hingga aspek manajemen atas musibah yang mengharukan itu. Namun apa boleh dikata, ratusan jiwa sudah melayang, dan kerugian materi pun tak terbilang.

Namun demikian, tragedi Leuwi Gajah telah menerbitkan kesadaran atas rapuhnya sistem dan tatakelola sampah kita. Muncul keinsyafan untuk terus memperbaiki manajemen sampah selain kesadaran akan pentingnya kepedulian atas sampah, mulai dari hulu hingga hilir. Musibah Leuwi Gajah juga yang kemudian menginspirasi ditetapkannya HPSN setiap 29 Februari. Kesadaran ini tentu belum cukup, kini saatnya setelah 10 tahun pasca tragedi Leuwi Gajah kita merefleksi kembali bagaimana mengisi dan memanfaatkan HPSN ke depan.

Interseksi Tatakelola Sampah

Dalam banyak kasus kita sering terjebak untuk saling melempar kesalahan dan sekaligus tanggung jawab dalam hal pengelolaan sampah. Masyarakat sering menuduh dan menagih tanggung jawab pemerintah yang tidak becus mengelola sampah. Sebaliknya, pemerintah seringkali menuduh masyarakat yang tidak memiliki kepedulian dalam mengelila kebersihan lingkungan.

[caption id="attachment_369987" align="aligncenter" width="402" caption="sasgart image"]

1424490729802442094
1424490729802442094
[/caption]

Harus disadari bahwa sampah merupakan tanggung jawab bersama, bukan saja pemerintah dan masyarakat tapi juga dunia industry yang sebenarnya menjadi hulu dari material sampah. Demikian juga masyarakat di bagian hilir perlu memiliki kesadaran yang baik dan memiliki kepedulian untuk mengelola sampah secara bijak. Sementara pemerintah harus mampu merumuskan kebijakan yang baik dan tepat yang dapat memastikan bahwa tatakelola sampah berjalan secara baik.

Refleksi: Antara Sampah dan Demokrasi

Secara ideal, demokrasi sering didefinisikan sebagai sesuatu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Meskipun pada kenyataannya tidak semanis yang diidealisasikan. Bahkan, dalam perkembangannya harus diakui bahwa demokrasi ternyata bukan pilihan “ideal” karena menurut Plato danAristoteles, justru Aristokrasi adalah pilihan terbaik dalam mengelola keperluan public. Karena itu, konsep demokrasi seolah menjadi sampah buangan yang kini sedang diais-ais dan ahkan menjadi ideologi utama pada tataran global.

Keberhasilan sejumlah negara demokrasi tentu bukan dengan mengcopy-paste, tapi dengan modifikasi di sana sini sesuai tingkat kebutuhan dan perkembangan zaman. Norwegia, misalnya, merupakan contoh negara yang berhasil memodifikasi konsep-konsep demokrasi menjadi sesuatu yang berguna dan mensejahterakan rakyatnya. Sebaliknya, kita di Indonesia, demokrasi seolah masih menjadi beban yang memberatkan.

Demikian halnya sampah, seolah setali tiga uang dengan term demokrasi di atas. Di tangan orang-orang kreatif, sampah bisa melahirkan banyak peluang. Norwegia termasuk negeri yang kekurangan sampah. Mereka justru mengimpor sampah untuk beragam keperluan. Sementara kita, masih bergelut dengan persoalan sampah karena lebih dari 50 persen sampah kita belum bisa diurai dan terus menerus menjadi beban. Di negara maju seperti Norwegia demokrasi maupun sampah telah menjadi komoditas yang menjadi alat untuk mensejahterakan rakyat. Sementara di negeri ini, demokrasi dan sampah seolah menjadi beban dan ancaman. Mari kita refleksikan agar di 10 tahun peringatan HPSN ini dapat diproyeksikan kea rah kehidupan kebangsaan kita yang lebih baik dan menjanjikan.

[caption id="attachment_369988" align="aligncenter" width="526" caption="sumber: presentasi sofian asgart"]

14244908001662789447
14244908001662789447
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun