Saya bergidik. Biasanya, yang saya dengar, kasus kekerasan fisik dalam rumah tangga dilakukan oleh suami kepada istrinya. Ini malah terbalik. Menurut cerita Pak Ridwan, perlakuan kasar istri si kakek itu sudah berlangsung lama. Jika dagangan yang dijajakan si kakek tidak habis dan tidak mendapatkan uang sesuai jumlah dagangannya, istrinya selalu memaki dengan sangat kasar.Â
Bahkan tak jarang disertai pukulan, baik menggunakan tangan maupun benda. Seluruh uang yang dipegang si kakek diambil semua oleh istrinya. Karena merupakan urusan intern keluarga, tak ada satupun tetangga yang menegur. Toh si kakek juga diam saja dan pasrah atas semua tindakan kasar istrinya.Â
Dulu, beberapa tetangga suka memberi sekedar uang tip untuk pegangan pribadi si kakek. Namun sejak tahu bahwa uang tip tersebut selalu dirampas istrinya, pemberian uang tip tersebut dihentikan. Sebagai gantinya, beberapa tetangga yang bersimpati atas nasib si kakek selalu memborong dagangan yang belum habis terjual. Semata mata untuk mencegah tindakan bengis istrinya.
Penasaran dengan cerita Pak RT, suatu hari saya iseng ingin melihat langsung bagaimana keseharian keluarganya. Setelah bertanya kesana kemari akhirnya saya menemukan rumah si kakek. Bangunan rumah itu sangat sederhana seperti umumnya deretan rumah di gang kecil kampungnya. Ada sesosok wanita berperawakan sedang. Usia sekitar 60-an.Â
Di teras rumahnya, seorang lelaki remaja sedang bermalas-malasan sambil bermain gitar. Tak ada kelebat si kakek. Barangkali ia sedang menjajakan dagangan. Beberapa saat kemudian, ada sepeda motor berhenti di depan rumah. Si pengemudi seorang lelaki yang lebih tua dari lelaki pertama tadi. Ia masuk sebentar ke dalam rumah dan keluar lagi menstarter motornya.
Saya diam diam perhatikan wanita itu. Saya yakin dia istri si kakek. Wajahnya biasa saja. Artinya tidak menampilkan wanita yang kasar perangainya. Dan dua lelaki itu saya yakin anaknya.Â
Usia dan fisik mereka sebenarnya sudah sangat pantas untuk bisa menggantikan si kakek berjualan. Masak tega membiarkan ayahnya yang sudah renta bekerja keras sementara ia bermalas-malasan. Apakah ibunya tidak mengajarkan pada si anak, bagaimana cara membahagiakan orangtua ? Berbagai pertanyaan akhirnya tersendat di dada.
Dari cerita yang beredar, si kakek mempunyai beberapa anak dari perkawinan pertamanya. Tapi entah dimana keberadaannya. Tak pernah terlihat anak-anaknya itu mengunjungi bapaknya. Dua anak lelaki tadi merupakan bawaan dari istrinya yang sekarang. Sedangkan istrinya adalah penduduk asli kampung itu. Jadi saat menikah, si kakek tinggal di rumah istrinya yang sekarang ini. Dan mereka tidak dikaruniai anak.
Saya tercenung dengan kisah ini. Entah kesalahan apa yang dilakukan si kakek di masa mudanya sehingga ia mendapat karma yang pedih seperti ini. Karena posisinya hanya numpang di rumah istrinya, ia tidak punya pilihan kecuali harus tunduk pada istrinya. Jika melawan, resikonya akan terusir dari rumahnya. Mau berteduh kemana, mau berlindung ke siapa ? Di saat usia makin renta dan tenaga makin melemah.
Perlahan rasa kekaguman saya terhadap si kakek agak memudar. Ia memang pejuang keluarga, tapi dengan keterpaksaan yang sangat besar. Daripada terusir dari rumahnya. Dan ini memberi hikmah yang besar untuk kehidupan saya dalam mempersiapkan hari tua.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H