Mohon tunggu...
Sasetya wilutama
Sasetya wilutama Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Pemerhati budaya

Mantan redaktur majalah berbahasa Jawa Penyebar Semangat Surabaya dan pensiunan SCTV Jakarta. Kini mengabdi di almamaternya, Stikosa-AWS Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bagaimana Saya dan Perusahaan Media Melakukan Transformasi Digital? (1)

21 Februari 2024   10:16 Diperbarui: 21 Februari 2024   10:27 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Namun situasinya kini sudah berubah drastis. Jika mengirim artikel maupun karya cerita pendek ke berbagai media, saya tidak perlu repot print naskah, lalu mengirim ke alamat redaksi melalui kantor pos. Namun cukup dengan mengirim file naskah dikirim ke alamat email redaksi. Demikian juga saat membutuhkan data tambahan untuk menambah bobot tulisan. Dulu saya melakukannya dengan membaca buku di perpustakaan atau membalik-balik klipping yang rajin saya kumpulkan. Sekarang tinggal cari di google, sudah keluar ribuan data yang kita inginkan. Apalagi dengan teknologi AI (Artificial Inteligence), segalanya jadi makin mudah dan cepat. Tinggal mengetik perintah di ChatGPT, dalam hitungan detik sudah muncul artikel berita utuh siap tayang.

Dalam menulis artikel maupun berita untuk media online, ada perubahan teknik menulis yang cukup mendasar. Dengan jutaan artikel yang campur aduk di mesin pencarian google, seorang penulis/ wartawan dan media saling berlomba agar konten beritanya bisa muncul di halaman pertama mesin pencari dengan menggunakan teknik SEO (Search Engine Optimization). Hal ini membutuhkan keahlian tersendiri untuk membuat keyword (kata kunci) sehingga memudahkan mesin pencari menemukan halaman dan menempatkannya di halaman pertama.

Namun dibalik semua kemudahan tersebut, ada banyak konsekwensi yang harus dihadapi. Masa era digital ini antara lain ditandai dengan banyaknya media cetak yang tumbang, alias berhenti beroperasi, karena tidak mampu lagi bersaing dengan media digital dengan berbagai platform-nya. Biaya operasional yang tinggi tidak sepadan dengan minat masyarakat yang makin menurun dan beralih ke media digital untuk mendapatkan informasi. Jalan terakhir terpaksa menutup usahanya, atau bertransformasi menjadi media online. Imbasnya, terpaksa melakukan PHK terhadap para karyawannya.

Demikian juga media elektronika. Hanya berselang waktu 40 tahunan, sejak siaran televisi pertama kali mengudara di Indonesia pada tahun 1962, televisi dan radio sudah menjadi media usang, bahkan disebut sebagai media konvensional. Walaupun Pemerintah kemudian membuka keran untuk memulai siaran TV Digital dua tahun lalu, namun belum mampu untuk mengangkat kembali pamor media televisi yang pernah berjaya. Bahkan kabar terakhir dari Washington Post menyebutkan tanda-tanda kematian beberapa TV Kabel yang dulu pernah berjaya mendunia, antara lain : ABC News, Fox News, CNN News, Discovery Channel, Cartoon Network, HBO, ESPN dan sebagainya. Kematian itu tentu akan menjalar ke Indonesia. Hanya tinggal masalah waktu saja saluran TV Kabel yang saat ini masih beroperasi di Indonesia akan menutup usahanya. Pahit memang. Tapi itulah realita yang harus dihadapi sebagai imbas dari makin moncernya media digital.

Di Indonesia, menurut hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2023, jumlah pengguna internet mencapai 215,63 juta dari 270 juta penduduk Indonesia. Pengguna platform Tik Tok mencapai 106,5 juta, urutan kedua setelah Amerika Serikat. Pengguna Youtube 139 juta, urutan keempat setelah India, USA dan Brasil. Sedangkan pengguna Instagram 104,8 juta, urutan keempat setelah India, USA dan Brasil. Sementara jumlah penonton televisi Indonesia makin menurun.  Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penurunan sebesar 3,25% selama periode tiga tahun. Dari 93,21 % penduduk Indonesia pada tahun 2018 menjadi sekitar 89,96% pada tahun 2021.

Ini memang masa sulit bagi industri media massa. Di era digital, setiap orang bisa menjadi pemilik media. Cukup dengan membuat akun secara gratis di platform Youtube, Tik Tok maupun Instagram, seseorang bisa memproduksi beragam konten sesuai seleranya, bahkan bisa memproduksi konten berita. Jika ingin punya siaran radio sendiri, cukup dengan melakukan siaran live yang memang disediakan di Tik Tok. Fenomena live Tik Tok saat ini memang sedang ngetrend. Setiap hari, selama 24 jam, kita bisa menyaksikan siaran live dari para pengguna Tik Tok dengan berbagai konten, mulai dari karaoke sampai omon-omon biasa. Peralatan audio mixer sederhana untuk kebutuhan live di Tik Tok laku keras di pasaran.

Dengan fenomena baru ini, mau tidak mau setiap pekerja media harus merubah mindset dan melakukan transformasi digital agar tetap bertahan. Tak terkecuali saya yang harus belajar lebih dalam lagi untuk mengenal seluk belum media digital. Walaupun tidak terlalu ahli, namun saya merasa beruntung masih terlibat aktif di periode era digital ini.

Lalu bagaimana dengan transformasi digital yang dlakukan oleh perusahaan media ? Akan saya ceritakan di tulisan selanjutnya. Tunggu ya....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun