Mohon tunggu...
Sasetya wilutama
Sasetya wilutama Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Pemerhati budaya

Mantan redaktur majalah berbahasa Jawa Penyebar Semangat Surabaya dan pensiunan SCTV Jakarta. Kini tinggal di Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ilmu Tidur dan Ilmu Baca

16 November 2023   11:00 Diperbarui: 16 November 2023   11:04 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tidur pulas. (foto: Sas)

Salah satu tempat favorit saya adalah perpustakaan kantor. Dua lantai dari ruang kerja saya, Letaknya di sudut. Tidak terlalu besar namun koleksi bukunya termasuk lengkap. Selain buku tentang media, khususnya Pertelevisian dan Periklanan, juga banyak tersedia novel, majalah dan koran nasinal serta daerah. Saya rutin mengunjungi ruang perpustakaan itu, minimal seminggu sekali. Membaca banyak buku ? 

Tidak. Saya tidur.

Salah satu kebiasaan kronis saya adalah sering mengantuk di siang hari, terutama antara jam 11 atau 2 siang. Badan lesu, kaki terasa berat untuk melangkah. Otak tak bisa diajak berpikir lagi.  Konon minum kopi bisa mencegah kantuk. 

Namun bagi saya tidak berpengaruh. Minum kopi berapa gelas pun tetap saja mengantuk. Obat satu-satunya ya dibuat tidur barang sejenak. Jika nekat tidur atau sekedar memejamkan mata sejenak di ruang kerja, tentu sangat tidak pantas. Bisa ditegur pimpinan dan mempengaruhi kondite. Apalagi ruangan departemen ini luas dan hampir tak ada sekat. Setiap aktifitas staf  bisa dilihat oleh pimpinan departemen.

Maka setelah hunting ke beberapa tempat, satu-satunya tempat yang paling aman ternyata di ruang perpustakaan. Duduk menyisih di pojok, membuka buku atau majalah dengan serius,  tapi mata terpejam. 

Sepuluh atau lima belas menit kemudian, terkadang juga lebih, bangkit dengan mata terang dan badan segar kembali. Lumayan. Yang penting bisa pulas, walaupun sebentar. Untunglah staf perpustakaan ini orangnya baik. Dia tahu saya tertidur, tapi diam saja. Bahkan sesekali meledek, "Habis melekan nglembur sama istri ya pak?". Saya pun tak kalah membalas ledekannya, "Ya. Semalam ngetiknya over limit".

Dulu,  waktu masih aktif di kantor biro Surabaya, saya menemukan tempat spesial dan sangat aman untuk tidur. Yakni di bawah meja kerja Rachmamtoro, di ruang Unit Produksi. 

Babe, demikian kami  biasa memanggilnya, adalah staf Produksi paling senior, baik dari segi usia maupun pengalamannya. Jika mengantuk berat di siang hari, saya langsung merangkak masuk di kolong mejanya dan si Babe cuma ketawa saja.  Tiga teman lagi di ruang Unit itu cuek saja. Sudah paham "kesudrunan" saya. Pernah suatu hari seorang teman Produser wanita yang masuk ke ruangan itu berteriak kaget karena tiba-tiba saya nongol dari kolong meja.

Perkara tidur, saya memang bisa tidur dimana saja serta kondisi apa saja. Di lantai masjid, di atas becak, bangku terminal bus, di atas karung pasir, semua sudah pernah saya tiduri. Dari ranjang hotel bintang empat sampai dipan brengsek berdebu pun bisa tidur dengan pulas. Saat saya beberapa kali menginap di kantor, saya tidur di atas meja meeting berbantal buku-buku. Nyaris tak pernah ada masalah dengan kesulitan tidur, seperti banyak dialami beberapa teman saya.

Hal ini karena saya menerapkan "Ilmu Tidur". Ilmu ini saya dapatkan dari latihan dasar Teater, yang saya ikuti sejak remaja. Yakni, teknik mengatur pernafasan agar menghasilkan vokal yang keras tanpa harus berteriak. Latihan seperti ini saya kira juga diajarkan bagi para penyanyi di pelatihan olah vokal. Beberapa tahun kemudian saya baca artikel tentang cara mencegah sulit tidur. 

Ternyata caranya mirip. Yaitu mengatur pernafasan dengan menghirup nafas secara pelahan, dihitung lima sampai sepuluh kali. Kemudian tahan napas sejenak, lalu lepaskan nafas dengan hitungan yang sama. Lepaskan dan buang semua beban pikiran. Lebih afdol jika disertai dzikir dalam hati menyebut nama Allah Swt. Maka tidak sampai 3 menit akan pulas tidur.

Tentu saja kedatangan saya ke perpustakaan tidak semata-mata "numpang tidur". Saya juga membaca buku tapi di rumah. Seperti perpustakaan lainnya, buku-buku tersebut bisa dipinjam dengan tenggat waktu maksimal 2 minggu. Jika melewati tenggat waktu, akan dikenai denda. Dan saya angkat jempol untuk penanggung jawab perpustakaan kantor ini, yang mempunyai selera baca yang baik. Buku novel yang tersedia sebagian besar novel sastra. Dari barisan sastrawan Indonesia, ada novel karya Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Budi Darma, Umar Kayam. Juga ada beberapa buku Antologi Cerpen Kompas. 

Dari novel terjemahan ada karya sastrawan Jepang, Yasunari Kawabata, sastrawan Rusia : Dostojevsky, sastrawan Mesir : Orhan Pamuk, dan sebagainya. Juga tersedia novel best seller. Saya harus menunggu sampai 6 bulan untuk bisa meminjam dua novel karya Dan Brown, karena banyak sekali peminatnya, yakni : The Da Vinci Code dan Angel's & Demons (Malaikat dan Iblis). Juga ada novel "Perang dan Damai" karya Leo Tolstoy, dan beberapa novel jenis sastra lainnya.

Begitulah, kegemaran saya membaca novel ini sudah berlangsung sejak remaja. Novel sastra pertama yang baca adalah "Kutbah Di Atas bukit' karya Kuntowijoyo, saat SMP kelas 3 yang saya pinjam dari mobil perpustakaan keliling yang biasa mangkal di dekat sekolahan. Karena saya tidak pernah punya dana untuk beli buku, maka satu-satunya andalan adalah Perpustakaan Negara, yang waktu itu masih di Jl. Walikota Mustajab Surabaya, arah berseberangan dengan Balai Kota. Dari perpustakaan itulah saya bisa membaca karya Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Marah Rusli, Mochtar Lubis dan barisan sastrawan yang sudah saya sebut tadi.

Membaca karya sastra ternyata sangat berpengaruh dalam profesi saya di bidang tulis menulis. Walaupun bukan wartawan tangguh, tapi sedikit banyak tulisan jurnalistik saya punya "style" lah. Terbukti beberapa kali memenangkan lomba karya jurnalistik, walaupun saya menulis dalam bahasa Jawa. Dan seyogyanya wartawan juga banyak membaca karya sastra, agar tulisannya enak dibaca. Saya ingat cerita seorang teman wartawan ex. Harian Memorandum. Bahwa pendiri dan Pimpinan Redaksi koran ini, H.Agil H.Ali, mewajibkan wartawannya untuk membaca novel sastra. Terbukti dari beberapa wartawan ex. Memorandum yang saya kenal, misalnya Henri Nurcahyo, Syamsul Arifin, Joko Pitono, tulisannya tajam, fokus dan enak dibaca.

Kegemaran membaca saya juga ditunjang oleh "Ilmu Baca" yang saya miliki. Ilmu ini saya dapatkan dari membaca juga. Buku "Teknik Membaca Cepat dan Efisien" (saya lupa nama penulisnya) yang saya pinjam dari Perpustakaan Negara saat masih kuliah, saya baca berulang-ulang dan saya praktekkan. Ini merubah cara membaca saya, menjadi lebih cepat dan langsung mengetahui gagasan si penulis. Maka buku seberapapun tebalnya, dengan teknik membaca sesuai petunjuk buku tersebut, bisa diselesaikan dengan lebih cepat dan mata tidak mudah lelah. 

Antara lain dengan teknik melompat, melewati kalimat-kalimat "bunga kata" yang tidak perlu. Sebab yang ingin diperoleh seorang pembaca aktif adalah "daging"nya, gagasan atau ide dari si pembuat karya. Dalam karya fiksi, menjadi sangat asyik membacanya ketika gagasan si penulis itu disampaikan melalui berbagai plot atau alur cerita yang berliku-liku, dengan bahasa yang berkarakter. Apalagi ditulis dengan kedalaman wawasan dan referensi. 

Pembaca seperti mendapat pengalaman batin yang kaya dan menambah wawasannya.  Novel karya Orhan Pamuk yang mengisahkan Sultan Salahuddin yang ditulis dengan riset sejarah dan kedalaman wawasan, saya seperti mendapat pemahaman dan wawasan baru tentang perjuangan para pemimpin Islam paska jaman kenabian Rasulullah SAW.

Gagasan adalah inti dari setiap karya, apapun wujudnya. Seorang penulis atau konten kreator pada hakekatnya adalah bermain dengan gagasan. Dari satu kalimat kemudian dikembangkan menjadi beribu-ribu kalimat, berpuluh-puluh bab, berpuluh-puluh episode. Saya ingat saat diajak H. Deddi Mizwar ikut rembugan brain storming mempersiapkan serial sinetronnya. 

Waktu itu di salah satu cafe di Jakarta. Diundang juga Dedi Setiadi, Wahyu HS (alm) si penulis sinetron tangguh yang sudah banyak menghasilkan skenario bagus, antara lain "Bajaj Bajuri", Muklis Gumilang (Warkop) dan beberapa lagi. H. Deddi Mizwar membuka pertemuan ide yang unik. Seorang begajulan (preman) lari dari kejaran massa, kemudian sembunyi di salah satu masjid. Ternyata malaikat maut menjemputnya. Orang-orang yang tidak tahu bahwa dia seorang preman kemudian menganggap bahwa dia seorang ulama besar yang meninggal dalam keadaan husnul khotimah di masjid.

Saya tidak mengikuti lagi meeting lanjutan, karena saya mendapat tugas pekerjaan lain dari kantor. Ternyata dari ide dasar itu kemudian muncul serial "Para Pencari Tuhan". Dalam salah satu episode, saya lihat adegan preman yang masuk masjid untuk berlindung, walaupun tidak persis dengan cerita awal saat di cafe itu. Kreatifitas selalu berkembang secara dinamis. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun