ludruk. Tantangan pun diterima. Dan Sabtu malam lalu (25/6), lima orang mahasiswa dari Universitas Bhayangkara Surabaya (Ubhara) itu berakting di hadapan penonton yang memadati lapangan Pagesangan, depan Masjid Agung Surabaya.
Niat semula cuma bikin riset dan pendampingan, malah ditantang ikut berakting panggungDemikianlah, walau baru sekali bermain Ludruk, dan harus menggunakan dialog bahasa Jawa, penampilan kelima orang mahasiswa tersebut tidak mengecewakan dan bisa mengimbangi para pemain senior di grup ludruk Warna Budaya Surabaya.
Selain para mahasiswa Ubhara, pementasan ludruk tersebut juga didukung tim rekaman video dari Fakultas Komunikasi Universitas Airlangga Surabaya. Malam itu, grup ludruk itu menggelar lakon “Brandal Loka Jaya”, kisah perjalanan Sunan Kalijaga sebelum jadi Waliullah.
Para mahasiswa itu tergabung dalam dalam UKM UKPIM (unit kreatifitas dan pengembangan intelektual mahasiswa) Ubhara serta komunitas Arek Institute, organisasi nirlaba independen, yang fokus pada kegiatan mengulik tentang sejarah, pola kebudayaan, hingga aktivitas seni dan budaya dari subkultur Arek.
Salah satu kegiatannya adalah pendampingan komunitas Ludruk di wilayah Surabaya dan Sidoarjo agar lebih berkembang. Antara lain pendampingan kegiatan dokumentasi dan promosi secara digital, tiket, mengemas pertunjukan dalam platform Youtube dan sebagainya. Grup ludruk “Warna Budaya Pagesangan” adalah salah satu sasaran riset dan pendampingan.
Dipilihnya grup ludruk “Warna Budaya Pagesangan” karena grup ini masih eksis dan rutin menggelar pertunjukan di tengah sepinya permintaan pentas. Ludruk “Warna Budaya” yang berlokasi di Kelurahan Pagesangan, Kecamatan Jambangan Surabaya, berdiri sejak 2016.
Mayoritas anggotanya adalah warga Kelurahan Pagesangan. Secara rutin, grup ini menggelar latihan di balai Kelurahan, yang sudah tersedia peralatan satu set gamelan.
Menurut Ketua Ludruk Warna Budaya, Bambang Sugeng, sejak didirikan sampai sekarang, grupnya sudah berpentas 7 kali dan sudah punya nomor induk kesenian. Grup ludruk ini didukung penuh warga Kelurahan Pagesangan.
Lokasinya yang cukup strategis, relatif dekat dengan lapangan Pagesangan (sebelah Masjid Agung Surabaya) yang setiap harinya merupakan pusat kuliner, memungkinkan bisa membangun panggung yang menampung banyak penonton.
“Grup ludruk ini militan. Walaupun tidak ditanggap, ya kami pentas mandiri. Dan rencana ke depan akan banyak melibatkan anak-anak muda” pungkas Bambang Sugeng, yang juga Ketua LPMK Kelurahan Pagesangan.
Menyasar anak-anak muda agar menyukai seni Ludruk juga menjadi kiat Robert Bayoned, pimpinan The Luntas Indonesia. Grup ludruk yang berdiri tahun 2016 ini seluruh anggotanya anak-anak muda.
Nama grup sengaja dibikin kekinian, demikian juga cerita dan tampilannya, disesuaikan dengan trend masa kini. Misalnya, saat menggelar lakon Ujung Galuh, sejarah kota Surabaya, kostum pasukan Majapahit dibuat ala CoasdPlay .
Walaupun demikian grup ini tidak meninggalkan pakem ludruk, yaitu Tari Remo dan Kidungan. Saat menggelar ludruk di dua lokasi, Warung Mbah Cokro di Jl. Raya Prapen dan cafe Kayoon Heritage, Jl. Embong Kemiri, 18 & 22 Juni lalu, mayoritas penontonnya adalah anak muda.
Pertunjukan ludruk tersebut dalam rangka memberikan bantuan (saweran) untuk tokoh ludruk Cak Sapari (74 tahun) yang sedang sakit serius. “Banyak anak muda yang mengira ludruk sudah punah, bahkan banyak yang tidak tahu ludruk. Maka kita menyasar cafe atau tempat nongkrong anak muda untuk menggelar pentas ludruk” ujar Robert Bayoned.
Sementara dua minggu sebelumnya (4/6) penampilan grup ludruk “Marsudi Laras” pimpinan Hartatok di Gedung Kesenian Cak Durasim Taman Budaya Jatim juga penuh oleh penonton anak muda. Banyolan dua orang pelawak, Agung dan Arista, jebolan Audisi Pelawak Indonesia (API) 2005, mampu menggetarkan gedung kesenian berkapasitas 420 kursi itu dengan gelak tawa.
(Sasetya Wilutama)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H