Baru-baru ini masyarakat Indonesia, khususnya di Jakarta mendapatkan “hadiah” terbaru berupa Terminal 3 Ultimate CGK. Yes, terminal yang baru saja diresmikan sebagai rumah baru untuk Garuda Indonesia di Soekarno Hatta International Airport; walaupun sementara hanya dijadikan sebagai hub domestik. Sebagai warga negara Indonesia yang dari dulu bermimpi pengen punya airport yang respresentatif untuk ditunjukkan ke mata dunia sebagai pusat transit, seharusnya sih saya bahagia. Tapi jujur saja, saya merupakan salah satu orang yang kecewa berat dengan pembukaan terminal ini. Dan setelah diselidiki, bukan hanya saya sendiri yang kecewa berat dengan terminal ini. Mengapa saya kecewa? Apa saya tidak boleh kecewa dengan mahakarya yang digadang-gadang sebagai karya anak bangsa? Apa kalau saya kecewa berarti saya termasuk dengan kelas menengah cengeng, seperti yang diutarakan baru-baru ini oleh salah satu profesor ternama di Indonesia?
Bandar Udara Soekarno Hatta yang terletak di Tangerang, Banten (karena kemarin habis diprotes sama “orang” kalo bandara ini bukan bandara Jakarta) merupakan salah satu bandar udara tersibuk di dunia. Kesibukan bandara ini sendiri hampir sejajar dengan beberapa airport besar di dunia seperti London Heathrow, Paris Charles de Gaulle, Tokyo Haneda, Beijing Capital, Dubai International, dan Singapore Changi. Walaupun masuk kategori sebagai bandar udara tersibuk di dunia, Soekarno Hatta sendiri tidak pernah mengalami ekspansi terminal yang signifikan sampai mengakibatkan terjadinya overcapacity.
Bagi orang yang sering terbang dari Tangerang, tentunya mereka akan tahu betapa chaos-nya bandara ini dari segi flow penumpang. Bukan cuma penumpang yang kena imbasnya. Para maskapai pengguna bandara ini pun kena dari sisi operasional. Antrean untuk lepas landas dan mendarat pun terkadang menjadi alasan kenapa sering terjadinya keterlambatan. Hal ini tentu saja membuat image penerbangan Indonesia menjadi kurang baik – karena dianggap sebagai tukang telat (dan kultur masyarakatnya sendiri yang seneng telat).
Hingga pada tahun 2010-an, saya mendengar dan membaca banyak sekali proposal dan agenda untuk memperluas bandar udara Soekarno Hatta. Desain awal yang muncul pada saat itu cukup menuai kritik karena memang kurang memiliki karakter dan kalah jauh dengan arsitektur-arsitektur gedung modern di Indonesia yang lebih memiliki nilai desain lebih. Hingga pada akhirnya muncul rendering terakhir yang didesain oleh Woodhead, sebuah perusahaan arsitektur asal Australia yang membuat saya salah satunya berdecak kagum.
Akhirnya sebuah mimpi (akan) benar-benar menjadi kenyataan. Nama Woodhead sebagai firma arsitektur sudah diakui hasil karyanya sebagai salah satu yang terbaik di dunia internasional. Dan tentunya desain yang muncul membuat saya cukup kagum karena beberapa bandar udara di kelas regional (Medan, Denpasar, Balikpapan, dan Makassar) juga sudah mengadopsi desain modern untuk terminal mereka yang hasilnya patut diancungi jempol.
Sebagai pintu gerbang utama, tentunya Bandara Soekarno Hatta pantas untuk mendapatkan perlakuan khusus. Dan masuknya firma internasional seperti Woodhead (Arsitektur) dan Vanderlande (Baggage Handling) tentunya membuktikan bahwa Soekarno Hatta benar-benar serius untuk berbenah. Selain itu, bapak dari bandara ini yaitu Angkasa Pura 2 juga menyewa jasa konsultan branding bernama Landor (Amerika Serikat) untuk memperbaiki brand mereka. Landor ini merupakan salah satu perusahaan yang ikut andil dalam revitalisasi perusahaan penerbangan Garuda Indonesia, yang saat ini sudah mendapat pengakuan internasional sebagai salah satu perusahaan penerbangan terbaik di dunia.
Eksekusi Buruk
Kekecewaan mulai muncul di tengah-tengah pembangunan Terminal 3 Ultimate ini. Pada mulanya hal ini dibahas di salah satu forum online bernama Skyscrapercity, salah satu forum tempat kumpulnya orang-orang yang memiliki interest di skyscraper, public infrastructure, urban planning, arsitektur, dan aviation. Member forum ini pun bisa dibilang bukanlah orang awam. Ada yang berprofesi sebagai arsitektur, kontraktor, desainer, fotografer, urban planner, dan sebagainya. Ridwan Kamil, Wali Kota Bandung pun sampai pernah menggelar acara gathering dengan member forum ini karena beliau menganggap bahwa diskusi-diskusi yang dilakukan di forum ini dapat menjadi sarana utama Kota Bandung untuk berbenah (Karena memang ada diskusi mengenai tiap kota di Indonesia). Selain itu, gathering juga sering dilaksanakan di project-project site yang dianggap fenomenal atau baru di mata orang Indonesia, dan didukung pula oleh sang owner project tersebut.
Kembali lagi ke poin utama mengenai kekecewaan yang muncul, banyak forumer yang mengeluhkan betapa buruknya eksekusi terminal ini ketika hampir mau jadi. Pemilihan lantai yang berbeda dari yang diekspektasikan, penempatan lighting yang jauh dari rendering, kolom-kolom jembatan yang tidak dipoles, signage yang tidak mengadopsi saran Landor (Bahkan sampai Landor tidak menempatkan Angkasa Pura 2 sebagai contoh utama di website corporate mereka - di mana Garuda Indonesia selalu ditaruh di halaman depan mereka), pemilihan warna yang buruk untuk karpet, dan juga hal-hal lainnya yang membuat banyak forumer kecewa.
Hilangnya nama Woodhead dari project ini pun membuat banyak forumer bertanya-tanya, karena pada akhirnya muncul sebuah nama firma arsitektur lokal yang entah namanya belum pernah terdengar muncul di project site dan gambar-gambar rendering. Perubahan rendering pun terjadi sana-sini, dan tanda tanya besar pun terjadi: Ada apa dengan Terminal 3 Ultimate? Bagaimana jadinya terminal 3 ultimate ke depannya?
Dan ka-boom, bom waktu pun meledak ketika terminal ini dipaksakan untuk dibuka. Ketika menteri perhubungan masih dijabat oleh Bapak Ignasius Jonan, beliau melarang pihak AP2 untuk membuka terminal ini karena memang kondisinya masih jauh dari kata sempurna. Selain itu terjadi juga masalah di ATC, di mana tower ATC tidak bisa melihat pergerakan pesawat di T3 ini. Hal itu juga yang membuat dibangunnya tower ATC “darurat” yang juga merusak desain dari terminal ini.
Saya pun bingung kenapa hal ini sampai tidak dipikirkan oleh pihak AP2 sebagai pemilik bandara? Hingga tidak lama berselang, bapak Ignasius Jonan dicabut mandatnya sebagai menteri perhubungan dan diganti oleh Budi Karya Sumardi, yang pada sebelumnya menjabat sebagai dirut Angkasa Pura 2. Dan ketika pak Budi Karya Sumardi menjabat, terminal 3 ini pun diperbolehkan untuk beroperasi. Suatu kebetulankah?
Rhenald Kasali dan Kultwit yang Blunder
Baru-baru ini terjadi polemik di dunia maya mengenai kacaunya pembukaan Terminal 3 Ultimate dan ajakan untuk “memaklumi” keadaan yang terjadi. Salah satu profesor terkemuka bernama Rhenald Kasali, yang rupanya menjabat sebagai komisaris utama Angkasa Pura 2 banyak sekali membalas twit-twit yang dianggap menyerang pembukaan Terminal 3 ini. Beliau pun sempat mengeblok beberapa Twitter yang dianggap memberi kritikan ke T3 dan bahkan sampai memfitnah para kritikus sebagai akun bayaran airport negeri sebelah. Hal ini sebenernya terjadi karena selama pembangunan, pihak Angkasa Pura 2 mengatakan bahwa T3 ini akan menyaingi Changi dan Kuala Lumpur International Airport; yang pada nyatanya memang tidak mampu menyaingi kedua bandara itu. Ga malu Pak bikin rumah perubahan tapi bapaknya sendiri ga menunjukkan spirit dan mentalitas untuk bisa benar-benar berubah?
Jangankan sama Changi, sama Husein Sastranegara Bandung dan Denpasar aja kalau dilihat dari banyak sisi itu jauh banget bedanya. Denpasar aja diem-diem bisa bikin smoking area bernuansa resort lengkap dengan tatanan landscaping-nya yang rapi dan punya view ajib ke pantai. Itu juga ga pake embel-embel karya anak bangsa segala. Bandara Husein Sastranegara yang terminal barunya didesain Pak Ridwan Kamil aja bisa sebegitu rapi, detail, dan epik walaupun kecil.
Dan yang bikin saya bingung juga kenapa jargon karya anak bangsa ini harus dibawa petantang-petenteng ke mana-mana sih? Bukannya semua gedung dan mall keren di Indonesia itu dibangun sama orang Indonesia juga ya? Arsitek Indonesia banyak kok yang karyanya keren-keren. Bahkan kalau rajin gugel, banyak kok mahasiswa-mahasiswa perguruan tinggi swasta di Indonesia yang kuliah arsitektur atau desain pada bisa bikin proposal desain gedung dan signage epik plus keren buat renovasi bandar udara di Indonesia – walaupun hanya sebatas untuk tugas kuliah. Bahkan pernah ada tugas kuliah salah satu anak semester akhir (Cari aja di Pinterest atau Google karya yang dibuat Mutiara Fatrin) yang bikin logo buat Soekarno Hatta Airport beserta collateral-collateral lainnya, yang hasilnya kalau menurut saya jauh lebih bagus apa yang dibuat sama Landor.
Kapan ya kira-kira Indonesia bisa punya gerbang utama yang representatif? Cobalah tengok bandar udara Haidar Aliyev di Baku, Azerbaijan ini.... Negara yang mungkin bisa dibilang anak kemaren sore, negara yang engga sepopuler Indonesia.
Oleh: I Made Mahendra Budhiastra
Hospitality Management Graduate
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H