Minggu lalu saat hujan deras dan banjir di sebagian Jakarta terutama Jakarta Utara, saya awalnya malas untuk bepergian namun bosan jika hanya diam di rumah.
maka saya timbul keinginan untuk mencoba LRT Velodrome Rawamangun dengan rute Kelapa Gading. kereta di atas jalan raya ini sebenarnya sudah lama beroperasi namun saya belum pernah mencobanya.
karena penasaran, saya pun mendaftar acara CLICK untuk menaiki LRT dan jelajah wisata religi di daerah Rawamangun. berangkat tanggal 23 Februari 2020 pukul 13.00 saya tiba lima belas menit kemudian.
pukul 13.30 kami berangkat menuju Kelapa Gading dengan enam gerbong berkapasitas 270 orang. selama perjalanan ini lah saya menemukan perbedaan LRT dengan MRT dari jumlah gerbong, jarak stasiun awal dengan akhir, durasi perjalanan sampai lintasan kereta.
LRT berjalan tidak terlalu cepat dengan suara yang lebih halus, tidak ada kabel listrik di atas kereta, durasi perjalanan cukup singkat yaitu 15 menit dan kapasitas gerbong tidak banyak.
karena malamnya habis hujan deras, maka saya bisa menyaksikan sebagian Kelapa Gading yang terendam banjir bahkan sampai mata kaki Mall Kelapa Gading.
setelah turun sebentar di Kelapa Gading, kami melanjutkan perjalanan ke Rawamangun untuk makan siang dan ziarah ke salah satu pahlawan yang membela Jakarta dari tangan penjajah.
selanjutnya saya menikmati makan siang di bakmi Tasikmalaya lalu menaiki angkot menuju masjid Assalifiyah di Jatinegara Kaum. di samping kiri masjid ini terdapat makam Pangeran Jayakarta IV yang ramai didatangi peziarah setiap hari bahkan dari luar kota. di depan dan belakang masjid juga terdapat makam keluarga yang masih terawat sampai sekarang.
depan sebelah kanan makam terdapat prasasti yang ditanda tangani oleh Djoko Santoso Mayjen TNI tahun 2003 dan dua buah tombak yang dulu menjadi alat perjuangan Pangeran Jayakarta melawan VOC.
Nama Pangeran Jayakarta saya kenal saat mempelajari Sejarah di bangku SMP ternyata bukanlah nama orang. Pangeran Jayakarta adalah gelar yang diberikan pada Fatahillah saat berhasil memimpin Sunda Kelapa dan meneruskan gelar tersebut pada pemimpin berikutnya.
Pada tahun 1619 Pangeran Ahmad Djaketra terdesak setelah keratonnya dihancurkan VOC pindah ke Jatinegara Kaum untuk menyusun strategi perang gerilya.
Setahun kemudian mendirikan masjid, semenjak itu di VOC menganggap Pangeran Jayakarta sering melakukan pemberontakan padahal beliau berjuang agar masyarakat bisa merdeka dari penjajah sampai tahun 1640.
Setelah itu perjuangan dilanjutkan oleh putra maupun keturunannya untuk membebaskan Jakarta dari VOC. Perjuangan tersebut tidak sia-sia karena Jakarta kini sudah jauh berkembang dan masyarakat masih ramai datang serta mendoakan Pangeran Jayakarta IV.
Hubungan dekat antara Cirebon, Banten dan Sunda Kelapa berhasil membuat VOC kewalahan bahkan terus mencari keberadaan Pangeran Jayakarta sampai generasi selanjutnya. Di makam ini terdapat empat makam utama yaitu makam Pangeran Lahut anak dari Pangeran Jayakarta. Kemudian Pangeran Soeria dan Pangeran Sageri itu keponakannya. Satu lagi Ratu Rupiah, istri dari Pangeran Sageri.
Masjid yang sudah berdiri ratusan tahun, masih terawat dengan baik bahkan buka setiap hari untuk siapa aja yang ingin beribadah. Di atas masjid masih ada bangunan lama yang masih dipertahankan sampai sekarang. Pohon besar disamping masjid seakan memayungi satu kompleks masjid dengan ranting dan daunnya.
Semakin sore pengunjung yang berziarah semakin ramai kami pun berpamitan sambil mengucapkan terima kasih kepada bapak Muhamad Sahroel yang masih keturunan Pangeran Sageri ke 16 karena bersedia memberikan informasi sejarah dan menemani berkeliling masjid sampai atap.
Ternyata menghabiskan akhir pekan bisa dilakukan di sekitar kita misalnya mengunjungi masjid atau makam bersejarah yang juga termasuk cagar budaya. Sebagai generasi muda kita patut bangga memiliki pahlawan seperti Pangeran Jayakarta yang terus berjuang melawan Belanda sampai merdeka.
Saya berharap makam Pangeran Jayakarta IV bisa menjadi salah satu obyek wisata sejarah dan religi di Jakarta yang ramai dikunjungi anak muda agar semangat perjuangan bisa terus dilanjutkan sampai generasi selanjutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H