Industri halal merupakan sektor yang sangat berpotensi dan menjanjikan. Hal tersebut didukung oleh laporan World Population Review (2020) yang menyatakan bahwa terdapat 1,91 miliar penduduk muslim dunia yang merupakan konsumen industri halal. Berdasarkan data Global Islamic Economy Report 2020/2021 menunjukkan pengeluaran yang dilakukan konsumen muslim untuk makanan halal, minuman halal, farmasi halal, kosmetik halal, pariwisata dan gaya hidup halal pada tahun 2019 mencapai USD 2,02 triliun.
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar dunia. Berdasarkan laporan The Royal Islamic Strategic Studies Centre pada 2021, Indonesia menyumbang 11,92% populasi muslim dunia. Sehingga, industri halal juga sangat berperan dalam perekonomian di Indonesia. Menurut data Kementerian Keuangan Republik Indonesia pada tahun 2019, konsumsi produk halal Indonesia mencapai USD 144 miliar, menyumbang USD 3,8 miliar terhadap PDB dan membuka 127 ribu lapangan kerja. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa perkembangan industri halal khususnya di Indonesia menarik dan bersifat progresif. Akan terus terjadi peningkatan pada sektor industri halal, selain karena jumlah populasi muslim yang terus meningkat, peningkatan tersebut dapat disebabkan oleh ketertarikan konsumen non-muslim terhadap produk bersertifikat halal, mengingat terjaminnya kualitas dan kemanan produk yang sudah bersertifikasi halal.
Sayangnya potensi yang ada dirasa belum bisa kita manfaatkan dengan maksimal. Indonesia terus berbenah sehingga menempati posisi ke 4 negara industri halal global menurut Global Islamic Indicator (2020), ini merupakan peningkatan besar setelah sebelumnya peringkat ke-5 pada 2019 dan peringkat ke-10 pada 2018. Ada 2 faktor yang mempengaruhi hal tersebut, yakni faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal diantaranya: pertama, banyaknya negara lain yang berkecimpung dan menjadi pesaing Indonesia dalam industri halal. Tidak hanya negara muslim seperti Malaysia, Turki dan Uni Emirat Arab, bahkan negara dengan mayoritas penduduk beragama non-muslim seperti Thailand, Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan ikut berkecimpung dalam industri halal. Hal ini sebenarnya wajar terjadi mengingat potensi besar dan progresif yang dimiliki Industri Halal. Namun berdampak kurang baik terhadap Indonesia, karena dapat mengurangi konsumsi terhadap produk halal yang dihasilkan Indonesia, baik di pasar domestik maupun internasional. Bahkan jika Indonesia tidak sanggup untuk bersaing, Indonesia hanya akan menjadi konsumen dari pasar yang menjanjikan ini. Kedua, belum terbentuk peraturan standarisasi halal yang dapat berlaku global. Saat ini, setiap negara masih menggunakan standarisasi halal yang berlaku pada negara masing-masing. Sehingga meskipun sudah berlabel halal saat di ekspor, harus dilakukan labelisasi ulang oleh negara penerima produk. Kecuali jika masing-masing negara memiliki perjanjian atau kerja sama khusus, seperti Organisation of Islamic Cooperation yang menyatakan bahwa sesama anggota dari Organisation of Islamic Cooperation tidak perlu melakukan sertifikasi ulang. Selain tidak efisien, sertifikasi ulang dapat menimbulkan kebingungan dan keraguan pada produk halal dari negara lain di kalangan konsumen. Tentu dengan kondisi seperti ini, regulasi sertifikasi halal yang dapat berlaku secara global sangat diperlukan, karena sejatinya aturan halal berasal dari Al-Qur’an dan Hadist, buka berdasarkan aturan negara.
Di sisi lain ada faktor internal yang juga memengaruhi belum maksimalnya Indonesia di kancah industri halal global, diantaranya: pertama, rendahnya halal awareness atau kesadaran dalam memeilih produk halal di kalangan masyarakat Indonesia. Biasanya, halal awareness ini sangat erat kaitannya dengan tingkat keimanan seseorang dan pemahaman terhadap konsep halal itu sendiri. Keimanan dan pemahaman yang baik terhadap agama islam akan membuat seorang umat muslim semakin selektif dalam memilih apa yang akan ia konsumsi. Sedangkan, rendahnya pengetahuan seorang muslim terhadap konsep halal akan mengecoh karena akan muncul anggapan  bahwa semua produk yang beredar merupakan produk halal. Kedua, keterlambatan pemerintah dalam penerapan Undang-Undang Jaminan Produk Halal. Sebenarnya, dalam upaya memaksimalkan perkembangan industri halal pemerintah sudah mengeluarkan UU No 3 Tahun 2014. Akan tetapi karena memerlukan proses yang bertahap, penerapan terkait UU JPH baru berlaku pada tahun 2019. Kewajiban pencantuman sertifikat halal baru berlaku 5 tahun setelah undang-undang disahkan. Faktor internal ketiga adalah minimnya kesadaran untuk berkompetisi dan bersaing pada pasar industri halal di kalangan masyarakat Indonesia. Peluang dan kesempatan yang menjanjikan tidaklah cukup jika kita tidak memiliki keinginan untuk dapat memanfaatkan dan mengoptimalkannya. Sama halnya dengan kesempatan besar Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dalam pasar industri halal ini, jika kita tidak memiliki keinginan yang kuat untuk bersaing dan memanfaatkan kesempatan, maka Indonesia hanya akan menjadi konsumen dari pasar industri halal yang menggiurkan untuk negara lain. Tentu dengan keinginan yang kuat, sejatinya segala jenis tantangan dapat terselesaikan satu per satu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H