Penulis: Rahma Danisa Eka Safitri, Herlina Putri Khawismaya, Qotrunnida Amalia.
Sitasi: Safitri, R.D.E., Khawismaya, H.P., & Amalia, Q. (2024). Asia Tenggara Pasca-1970-an: Membaca Ulang Demokrasi di Era Kontemporer. Kompasiana.com.
Demokrasi, atau dikenal juga sebagai pemerintahan rakyat, adalah sistem di mana keputusan-keputusan penting dibuat berdasarkan kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas oleh anggota masyarakat dewasa, baik secara langsung maupun melalui perwakilan (Novianti, 2013). Wilayah Asia Tenggara memiliki catatan sejarah yang dinamis terkait perjalanan rezim politik dan menunjukkan variasi dalam perkembangan demokrasi (Yeats, 2007). Dalam konteks Asia Tenggara pasca tahun 1970-an, beberapa negara yang ada di kawasan ini mengalami tantangan yang besar dalam mempertahankan sistem demokrasi negaranya setelah meraih kemerdekaan.
Dominasi Rezim Otoriter dan Diktaktor di Asia Tenggara
Pasca tahun 1970-an, Asia Tenggara menghadapi berbagai perubahan penting, terutama dalam bidang demokrasi dan kebijakan sosial. Walaupun beberapa negara menunjukkan tren demokratisasi, kemajuan dalam kebijakan sosial tidak selalu berjalan seiring dengan proses tersebut. Bahkan di negara-negara dengan sistem pemerintahan yang cenderung otoriter, peningkatan kualitas kebijakan sosial tetap menjadi salah satu agenda utama (prioritas) (Putra & Aminuddin, 2020).Â
Sebagai contoh, Filipina mulai menunjukkan perubahan besar di bawah pemerintahan Corazon Aquino pada 1987, yang mencakup upaya untuk memperluas akses terhadap layanan publik (Putra & Aminuddin, 2020). Di Malaysia, pelaksanaan Kebijakan Ekonomi Baru sejak 1971 di bawah kepemimpinan Mahathir Mohamad berhasil memperbaiki akses masyarakat terhadap layanan publik. Sementara itu, di Thailand, meskipun demokrasi elektoral sering mengalami fluktuasi, peningkatan bertahap dalam akses layanan publik mulai terlihat, terutama setelah krisis ekonomi dan penerapan Konstitusi Thailand tahun 1997.
Di Indonesia sendiri, demokrasi mengalami represi di bawah pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Soeharto, yang kemudian membuka jalan bagi reformasi politik dan demokratisasi (Acharya, 1999). Kekuasaan dipusatkan pada militer dan birokrasi, sementara oposisi, termasuk komunis, dieliminasi, dengan fokus pada pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan teknokratis. Sedangkan, Singapura di bawah Partai Aksi Rakyat (PAP) menguatkan stabilitas melalui kontrol ketat terhadap masyarakat sipil (Girling, 1988).
Proses Transisi Demokrasi.
Di beberapa negara Asia Tenggara, transisi menuju demokrasi seringkali dimulai dengan perubahan rezim yang melibatkan perubahan besar dalam sistem politik, seperti di Indonesia pada 1998 dan Filipina pada 1986. Perubahan ini biasanya terjadi setelah munculnya ketegangan politik yang memicu kekacauan bahkan kekerasan. Namun, dalam beberapa kasus, seperti Thailand pada 2014, perubahan rezim malah membawa negara kembali ke sistem otoriter. Selain itu, meskipun beberapa negara mulai menerapkan demokrasi prosedural, masih banyak kekurangan, seperti lemahnya penegakan hukum, terbatasnya hak-hak warga, dan rendahnya partisipasi masyarakat dalam politik. Militer memainkan peran penting dalam proses ini, baik sebagai pendukung maupun penghambat. Kadang-kadang, militer terbelah menjadi kelompok yang mendukung perubahan (softliner) dan yang menolak perubahan (hardliner), seperti yang terjadi di Filipina dan Indonesia. (Kingsbury, 2017).
Peran Masyarakat Sipil dalam Demokrasi
Menurut Kingsbury (2017), masyarakat sipil memiliki peran penting dalam proses demokratisasi di Asia Tenggara, terutama dalam transisi dari otoritarianisme ke sistem politik yang lebih terbuka. Di Indonesia, organisasi masyarakat sipil menjadi aktor utama dalam reformasi 1998 yang mengakhiri kekuasaan Orde Baru. Gerakan ini berhasil mendorong keterbukaan politik dan menguatkan peran masyarakat dalam proses pengambilan keputusan politik. Contoh serupa terlihat di Filipina melalui gerakan "People Power," yang berhasil menggulingkan rezim Marcos pada 1986 dan menjadi simbol transisi demokrasi di kawasan tersebut (Stepan, 1986).
Namun, di banyak negara Asia Tenggara, ruang bagi masyarakat sipil sering kali dibatasi oleh pemerintah. Dalam situasi di mana kekuasaan negara meningkat dan kekuatan masyarakat sipil menurun, otoritarianisme cenderung menguat, seperti yang terlihat di Vietnam dan Kamboja. Pemerintah di negara-negara ini menggunakan regulasi ketat, tekanan hukum, dan bahkan kekerasan untuk melemahkan kekuatan non-negara yang dianggap mengancam stabilitas kekuasaan mereka. Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus, kekuasaan negara yang kuat seringkali hadir bersamaan dengan lemahnya masyarakat sipil, menciptakan kondisi yang tidak kondusif bagi demokrasi substantif (Kingsbury, 2017). Sebaliknya, ada juga momen-momen di mana kekuatan masyarakat sipil meningkat bersamaan dengan menurunnya kekuasaan negara, seperti yang terjadi di Indonesia menjelang dan setelah jatuhnya Presiden Soeharto. Meski demikian, pertumbuhan kekuatan negara dan masyarakat sipil secara bersamaan, yang dapat menciptakan keseimbangan positif, masih jarang terjadi di Asia Tenggara (Kingsbury, 2017).
Tantangan Demokrasi di Era Kontemporer
Dinamika politik di Asia Tenggara juga dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal, termasuk tekanan dari organisasi internasional dan aktor non-pemerintah yang dapat mempengaruhi kebijakan nasional (Yeates, 2007). Demokrasi di era kontemporer menghadapi berbagai tantangan yang kompleks. (1) Korupsi yang merajalela melemahkan institusi negara dan menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah. (2) Populisme dan polarisasi politik semakin memperburuk situasi, menciptakan retorika yang memecah belah masyarakat dan memperlemah dialog demokratis. Selain itu, kebebasan sipil seringkali dibatasi, dengan pembatasan terhadap media, oposisi politik, dan hak berkumpul di beberapa negara. (3) Intervensi militer, seperti yang terjadi di Thailand dan Myanmar, menunjukkan bahwa kekuatan non-sipil masih memiliki pengaruh besar terhadap pemerintahan. (4) Ketimpangan sosial dan ekonomi juga menjadi hambatan signifikan, karena kelompok marjinal sering kali
merasa tidak terwakili.Â
Fenomena kemunduran demokrasi, atau democratic backsliding, terlihat dalam manipulasi pemilu dan melemahnya supremasi hukum di beberapa negara. Media digital dan globalisasi, meskipun memperluas akses informasi, juga memfasilitasi penyebaran disinformasi dan polarisasi opini publik sehingga juga membawa tantangan baru dalam bentuk tekanan ekonomi dan sosial yang mempengaruhi kebijakan domestik dan stabilitas politik (Yeates, 2007). Selain itu, demokrasi kerap gagal melindungi hak minoritas, seperti yang terlihat dalam krisis Rohingya di Myanmar, serta menghadapi kelemahan institusi seperti parlemen dan peradilan yang tidak independen.