Mohon tunggu...
Politik

Kasus Penistaan Agama oleh Ahok: Pentingnya Menata Ulang Cara Berpikir

14 Desember 2016   08:41 Diperbarui: 14 Desember 2016   09:41 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pro Kontra dugaan kasus penistaan agama yang didakwakan pada Ahok telah menggelinding bak bola salju, semakin hari semakin besar dan melebar kemana-mana, saling lapor, saling tuding dan saling hujat antar sesama anak bangsa menjadi santapan kita setiap hari yang disuguhkan oleh media massa, terakhir berdasarkan gelar perkara yang dilakukan Polri, Ahok didakwa melakukan penistaan dan saat ini telah memasuki fase persidangan di PN Jakarta Utara.  Maraknya pemberitaan media serta kuatnya tekanan massa mengindikasikan bahwa diakui atau tidak, kasus ini sudah masuk dalam ranah politik nasional yang melibatkan banyak pihak. Kondisi menurut saya, turut diperparah oleh cara berpikir yang tidak komprehensif serta cenderung  jump to conclusion,sehingga melalui tulisan ini saya ingin memberikan pendapat tentang pentingnya menata ulang cara berpikir dalam melihat masalah ini secara jernih.

Kasus ini diawali dengan munculnya viral di media sosial bernama facebook dimana seseorang bernama Buni Yani mengunggah video yang diberi tambahan caption bernada provokatif. Singkat cerita kemudian keluar fatwa dari MUI yang menyatakan bahwa Ahok menistakan Al-Quran dan/atau Ulama.

Dalam melihat permasalahan ini ada sejumlah pertanyaaan yang harus dijawab untuk sampai pada suatu kesimpulan akhir. Selain itu haruslah ditelusuri jauh kebelakang apakah Ahok selaku pihak terlapor memiliki riwayat menistakan agama, sebab biasanya seorang penista agama adalah sesorang yang sudah ‘memiliki bakat’ (meminjam istilah psikologi) memusuhi atau menistakan agama. Kembali ke masalah pertanyaan, Ada 3 pertanyaan yang harus dijawab yakni :

  • Apakah sebelumnya Ahok memiliki riwayat menistakan agama ?
  • Apakah hal tersebut dilakukan secara sengaja ?
  • Bagaimana menginterpretasi pernyataan Ahok dalam pidatonya di Kepulauan Seribu ?

Kita mulai dari Pertanyaan Pertama, Apakah Ahok sebelumnya memiliki riwayat menistakan agama ?. Berdasarkan fakta-fakta sewaktu Ahok menjabat Bupati di Bangka Belitung diketahui bahwa pada masa bakti dari tahun 2005 - 2006 begitu banyak warga masyarakat yang diberangkatkan haji dan umroh, bahkan sampai seorang pendeta yang menyodorkan proposal ditolak Ahok,  dengan alasan proporsi bantuan ke umat Muslim harus lebih besar karena jumlah umat Muslim disana jauh lebih banyak. 

Dulu, jauh sebelum kasus ini merebak, ketika Ahok masih menjabat sebagai Wakil Gubernut DKI, penulis pernah berkesempatan sampai di Belitung Timur dan bertanya kepada warga sekitar rumah orang tua Ahok. Jawaban yang diterima penulis adalah bahwa sejak dari orang tua Ahok, telah dikenal sebagai keluarga yang sangat dermawan dan sering membantu masyarakat termasuk dalam pembangunan rumah ibadah baik itu mesjid, gereja maupun vihara tanpa pilih kasih. 

Pada saat Ahok menjabat Gubernur DKI sebagaimana kita ketahui bersama, penjaga (marbot) mesjid juga diberangkatkan umrah. Sehingga sampai disini kita melihat bahwa sebelum munculnya kasus dugaan peninstaan agama melalui video yang beredar di dunia maya, fakta berbicara bahwa seorang Ahok tidak memiliki riwayat menistakan agama tapi sebaliknya justru sangat careke umat Muslim.

Pertanyaan Kedua,  Apakah hal tersebut dilakukan secara sengaja ?. Ada pihak-pihak yang menyatakan bukankah pak Ahok melakukan kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu ?.  Apa hubungannnya menyebut Al Maidah 51 dalam pidatonya ?. Nah justru disinilah berdasarkan teori kausalitas, titik terangnya mulai kelihatan. Seperti kita ketahui, bahwa menjelang pencalonan gubernur DKI Jakarta, isu tentang tidak bolehnya  seorang Muslim memilih pemimpin dari kalangan non  muslim menyeruak sangat kencang ke permukaan. Alasan yang dikemukakan oleh beberapa pihak adalah karena ada dalilnya dalam Al-Quran yaitu Surah Al-Maidah 51 yang berbunyi : “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia(mu); mereka satu sama lain saling melindungi. Barang siapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”.

Dalam konteks Al Maidah 51, ahli tafsir Al-Quran yang nomor satu di Indonesia saat  ini, Prof. Quraish Shihab mengatakan bahwa  dalam menafsirkan  ayat ini tidak bisa dilepaskan dari ayat-ayat sebelumnya dan dikatakan pula bahwa yang dimaksud dengan kata ‘awliya’yang bermakna jamak, tidak selamanya merujuk ke pemimpin, selengkapnya bisa dibaca di Tafsir Al-Maidah Ayat 51 Menurut Prof Quraish Shihab

Selain itu juga ada kajian kontekstual Prof. Hamka Haq, selengkapnya bisa dibaca di Halal Memilih Wakil Pemimpin dari Umat Agama Lain dan masih banyak lagi contoh lain seperti  Al-Maidah ayat 51 yang dipolitisir, selengkapnya  di Al-Maidah 51 yang Dipolitisir atau tafsir Ibnu Abbas di Tafsir Al-Maidah 51 Menurut Ibnu Abbas

Pandangan yang menyatakan bahwa Al Maidah 51 ini merujuk ke pemilihan seorang pemimpin pemerintahan patut kita hargai, namun kita juga tidak bisa menafikan bahwa banyak juga pandangan yang menyatakan bahwa  hal itu tidak (selalu) merujuk pada pemilihan pemimpin. Hal ini bukan baru diperdebatkan sekarang tapi sudah sejak lama dan tampaknya masih akan berlanjut terus.

Sehingga menurut hemat saya keluarnya pernyataan Ahok yang out of context pada saat itu karena adanya beban mental akibat tekanan banyak pihak yang berusaha mengganjalnya dengan dalil Al-Maidah 51 yang nota bene merupakan  ayat yang debatable penafsirannya. Saya ulangi lagi, yang debatable itu penafsirannya. Pertanyaan penting kemudian disini adalah apakah bisa seseorang didakwa atau bahkan dihukum hanya karena penafsiran ayat yang berbeda ?

Pertanyaan ketiga, Bagaimana menginterpretasikan pernyataan Ahok di Kepulaan Seribu ?.  Pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu  berbunyi : “…jadi jangan percaya sama orang,kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibugakbisa pilih saya, yakan dibohonginpakai surat Al Maidah 51macem-macem itu, itu hak bapak ibu, ya. Jadi kalau bapak ibu perasaangak bisa pilihnih, karena saya takut masuk nerakadibodohinitu ya,gakapa-apa karena itu panggilan pribadi bapak ibu. Program ini jalan saja. Jadi bapak ibugak usah merasagak enak. Dalam nuraniengga bisa pilih Ahok.

Gasuka sama Ahok. Tapi, programnyagua kokterima,gua enggaenakdong amadia, utang budi, jangan. Kalau bapak ibu punya perasaanenggakenak, nanti mati pelan-pelan loh kena struk. Jadiengg….., bukanenggak. Ini semua hak bapak ibu sebagai warga DKI. Kebetulan saya gubernur mempunyai program ini. Ya tidak ada hubungannya dengan perasaan bapak ibu mau pilih siapa. Ya saya kira itu…”

Untuk menjawab pertanyaan ketiga ini maka kita tidak bisa terlepas dari pertanyaan dan jawabab pertama dan kedua. Salah satu kajian bahasa tentang pernyaataan tersebut di atas dilakukan oleh Yeyen Maryani – Peneliti Badan Bahasa Kemendikbud, selengkapnya dapat dibaca di Begini Kata Ahli Bahasa Soal ApakahAhok Menistakan Agama Terkait Al-Maidah 51

Dalam transkrip tersebut sama sekali tidak disebut tentang subjek yang oleh MUI difatwakan sebagai (menghina) ulama.  Juga disebutkan dibohongin ‘pakai’ bukan dibohongin ‘oleh’ sehingga bila dikaitkan dengan pertanyaan dan jawaban pertama dan kedua mengandung interpretasinya adalah sebagai berikut :  ada orang-orang yang menggunakan/mempolitisir ayat tersebut seolah-olah sudah mutlak bahwa yang dimaksudkan Al-Maidah 51 adalah larangan memilih pemimpin dari kalangan non muslim.    Jadi menurut saya  tidak ada unsur menghina Al-Quran dan/atau Ulama.

Lagi-lagi, menurut saya keluarnya pernyataan Ahok tersebut bukan dilandasi oleh suatu keinginan atau rencana menistakan atau menghina agama tetapi lebih kepada ungkapan alam bawah sadar karena ada orang-orang yang menggunakan tafsiran yang debatable tersebut untuk menghambat dirinya maju pada Pilgub DKI 2017.

Ditinjau dari sisi hukum, berdasarkan hasil gelar perkara menurut salah seorang peserta yang enggan disebut namanya, bahwa dalam gelar perkara tersebut ahli pidana memperingatkan bahwa penyelidik harus membuktikan mens area (niat jahat)  dalam pernyataan Ahok jika kasus ini dinaikkan ke penyelidikan. (Dikutip dari Ahok Bisa Lolos dari Jerat Penistaan Agama, Ini Sebabnya).

Menurut pakar hukum tata negara Universitas Parahyangan, Asep Warlan Yusuf,  fatwa MUI merupakan rujukan bagi umat Islam dalam menjalankan hidup.  Namun, fatwa tidak berlaku dalam hukum positif Indonesia. Tidak ada satu pun aturan Indonesia memasukkan posisi fatwa. Dikutip dari Wajah Lain MUI Hadapi Kasus Ahok

Berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas, masih pantas/relevankahkah menduga atau mendakwa Ahok menistakan agama ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun