Â
Â
Peran dan Tanggung Jawab Korporasi Terhadap Perlindungan  Hak-Hak Pekerja Sebagai Kewajiban Hak Asasi Manusia
Â
      Oleh :Â
Sarwan Hi Ibrahim
Sebagai tantangan sosial,politik, dan ekonomi yang terjadi di suatu perusahaan atau korporasi baik yang terjadi di dalam suatu negara di mana perusahaan itu terletak maupun di negara lain sudah tentu akan mempengaruhi aktivitas dan bisnis yang dijalankan oleh perusahaan yang bersangkutan. Oleh karenanya, seiring dengan perkembangan zaman dan perkembangan masyarakat. Semakin banyak perushaan atau korporasi yang menyadari kebutuhan untuk berkolaborasi dan bermitra baik dengan pemerintah,masyarakat sipil,tenaga kerja, atau bahkan bermitra dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang salah satu bagiannya adalah hadirnya  The United Nations Global Compact. Pemahaman dan kesadaran yang semakin meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan atau prinsip-prinsip universal yang terdapat dalam  The United Nations Global Compact. Sebelum lebih jauh penulis menguraikan diawal penulisan ini perlu kemukakan beberapa argumentasi dalam dalam tulisan ini. Pertama, pengertian korporasi dalam penulisan ini merujuk pada segala bentuk usaha ekonomi baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum. Kedua, pengertian HAM disini adalah hak asasi manusia secara umum sebagaimana yang diatur dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dan Instrumen HAM  Internasional lainnya yang akan penulis uraikan. Ketiga,analisis yang digunakan dalam tulisan ini terbatas pada konstruksi hukum Internasional. Dalam hal ini hukum internasional berlaku dan mengikat negara-negara dan dalam batas tertentu actor lain selain negara berdasarkan sifat dan fungsinya. Ada beberapa catatan yang diperhatikan dalam menerapkan kewajiban HAM dalam hal ini bahwa pemberian kewajiban perlindungan kepada individu atau badan hukum bukan berarti telah terjadi pengalihan tanggung jawab dari negara terhadap institusi lain. Baik negara maupun institusi lain memepunyai kewajiban terhadap HAM sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing. Pada saat ini; mekanisme HAM yang tertuang dalam berbagai perjanjian internasional pada umumnya menitikberatkan pada pertanggungjawaban negara dan bukan aktor-aktor lain. Akses terhadap aktor bukan negara biasanya dilakukan dalam kerangka nasional. Hal ini lah yang sering digunakan oleh para ahli untuk menyatakan bahwa korporasi atau aktor lain tidak terikat pada perjanjian HAM. pada saat ini mekansime HAM yang tertuang dalam berbagai konvensi internasional pada umumnya menitikberatkan pada pertanggungjawaban HAM oleh negara dan bukan actor-aktor lain. Akses terhadao actor non negara biasanya dilakukan dalam kerangka instrument hukum nasional. Dengan demikian pandangan untuk menyatakan bahwa korporasi atau actor lain tidak terikat pada Instrumen Perjanjian HAM Internasional masih sangat kuat. Pandangan penulis ada dua pembagian jenis HAM yang kemudian disebut Hak Sipil dan EKOSOB (Ekonomi,Sosial dan Budaya) pemaknaan HAM disini membuka peluang actor-aktor non negara memiliki tanggungjawab pemenuhan terhadap HAM.  Kewajiban-kewajiban aktor bukan negara tidak bersumber langsung dari Kovenan Ekonomi, Sosial, dan Budaya tetapi dari kewajiban negara untuk melindungi HAM (state obligation  protect) dimana negara berkewajiban untuk melindungi warganya dari pelanggaran yang dilakukan oleh individu atau institusi lain yang berada dalam wilayah jurisdiksinya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban HAM korporasi bersumber pada akibat logis dari obligation to protect. Pelanggaran yang dilakukan korporasi tidak hanya menimbulkan pertanggungjawaban korporasi tetapi juga pertanggungjawaban negara dalam hal terjadi pertanggungjawaban ganda. Selain itu kerangka hukum internasional telah memberi ruang hadirnya The Guiding Principles on Business and Human Rights yang menempatkan korporasi sebagai pihak yang memiliki kewajiban dan tanggung jawab di dalam penghormatan dan penegakkan HAM dewasa ini. Dalam suatu aktivitas perusahaan didalamnya terdapat hak-hak pekerja yang harus dijamin dan dilindungi sebagai bagian dari hak asasi manusia dalam konteks menjalankan aktivitas ekonomi di suatu negara., Guilding Principles telah menyediakan mekanisme bagaimana penanggulangan pelanggaran HAM tersebut dapat ditunaikan oleh setiap korporasi yakni dengan mengacu kepada hukum positif dan hukum HAM internasional yang berlaku di negara tempat mereka beroperasi,kemudian mencari cara untuk selalu menghormati prinsip hukum HAM internasional ketika mereka dihadapkan kepada pilihan kebijakan korporasi yang sulit, dan menjadikan penyebab risiko pelanggaran HAM sebagai isu kepatuhan hukum yang harus menjadi perhatian dimanapun mereka beroperasi.
Korporasi Dalam Konstruk UN Global Compact
UN Global Compact sebagai komitmen atau instrument internasional dalam kegiatan usaha atau ekonomi di suatu negara merupakan inisiatif kebijakan dunia bisnis yang berikrar untuk memperhatikan dan menegakkan prinsip-prinsip universal seperti penegakkan HAM, perlindungan ketenagakerjaan termasuk hak-hak pekerja buruh dalam suatu korporasi. Konsekuensi dari penandatanganan ini mengikat setiap korporasi untuk tunduk terhadap implementasi sepuluh prinsip UN Global Compact dimana enam diantaranya memprioritaskan kewajiban pemenuhan HAM dan standar ketenagakerjaan. Â Kemudian Dari 10 prinsip yang tercantum di UN Global Compact, dua prinsip pertama mewajibkan dunia bisnis untuk mendukung dan menghormati perlindungan HAM serta menjamin aktivitas bisnis mereka bersih dari praktek pelanggaran HAM apapun.[1] Selanjutnya, mulai dari prinsip ketiga hingga keenam menekankan kepada perlindungan tenaga kerja utamanya tentang kebebasan berserikat dan pengakuan atas nilai tawar kolektif para pekerja, penghapusan segala bentuk kerja paksa dan angkatan kerja dibawah umur serta pengabaian diskriminasi atas jenis pekerjaan tertentu. Kewajiban pemenuhan HAM dalam hal ini melindungi (to protect),menghormati (to respect),dan memenuhi (to fulfill) juga melekat pada korporasi sebagai actor yang berpotensi melakukan pelanggaran HAM dan juga sebagai pengemban kewajiban terhadap hak asasi manusia khususnya dalam dunia kerja. Lahirnya UN Global Compact dan kesepakatan Dewan HAM PBB yang mengkategorikan korporasi sebagai pihak ketiga menjadi semacam dialog masyarakat internasional dan para pemangku kepentingan agenda bisnis dan HAM terutama korporasi perihal sinerji peran negara dan korporasi di dalam penghormatan dan pemenuhan HAM. Selain itu, fenomena ini juga seakan menjadi dialektik antara teori hukum internasional klasik dan kontemporer tentang legal personality atau subyek hukum yang secara tradisional tidak lagi hanya mengkultuskan peran negara saja.
Korporasi dalam beberapa Instrumen HAM Internasional
 Perkembangan hukum HAM internasional pun terjadi secara gradual yang ditandai dengan keberhasilan masyarakat internasional menyepakati International Bill of Human Rights yang terdiri dari Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1948 dan disusul dengan lahirnya International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) pada tahun 1966. Rezim hukum HAM internasional tersebut mewajibkan setiap negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi HAM individu dan masyarakat dibawah yurisdiksinya. Perlindungan ini menekankan eksekusi remedy atau penanganan yang diantaranya mencakup implementasi dari undang-undang domestik. Jadi, meskipun hukum HAM internasional tidak secara langsung mengikat korporasi namun korporasi harus tetap tunduk terhadap hukum positif negara tempat mereka beroperasi yang terikat oleh hukum HAM internasional. Korporasi yang menanamkan investasi di setiap negara pihak ICCPR dan ICESCR harus patuh terhadap pemenuhan hak yang tercantum di dua kovenan tersebut. Seperti contoh untuk hak sipil dan politik yang tercantum dalam ICCPR yakni kewajiban untuk memenuhi hak menikmati kebebasan fisik dan spiritual; hak diperlakukan secara adil, dan hak berpartisipasi dalam proses politik, hak untuk hidup,hak untuk bebas dari penyiksaan serta perbudakan, hak atas privasi, hak untuk bebas dari penahanan sewenang-wenang, hak atas pengadilan yang adil, kebebasan beragama, kebebasan berekspresi dan berkumpul, serta hak-hak kaum minoritas dan hak untuk bebas dari diskriminasi termasuk para pekerja buruh. Sedangkan untuk pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang termaktub di dalam ICESCR mencakup hak untuk mendapatkan upah yang adil, hak untuk kondisi kerja yang aman dan sehat, dan hak untuk membentuk dan bergabung dengan serikat buruh, dan hak-hak sosial seperti hak atas pendidikan, hak atas standar kesehatan, dan standar hidup yang layak, serta hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya dan kebebasan dari diskriminasi. Korporasi harus memastikan bahwa mereka memenuhi semua kewajiban HAM yang menjadi hukum positif dari yurisdiksi tempat mereka menjalankan aktivitas bisnis. Namun demikian, pemenuhan HAM oleh korporasi ini jangan diartikan sebagai ambil alih tanggung jawab yang sebenarnya diwajibkan atas negara. Namun sebenarnya, hal yang paling penting untuk selalu menjadi perhatian korporasi adalah pencegahan dan mitigasi bagi mereka yang menjadi korban atas pelanggaran HAM tersebut. Ini menjadi prioritas karena setiap korporasi tidak selalu mampu memberikan penanggulangan atas pelanggaran HAM yang mereka lakukan. Panduan hukum HAM yang tidak spesifik, respons terhadap terjadinya pelanggaran yang terkadang lambat adalah sebagian dari banyaknya kelemahan yang dimiliki oleh korporasi maka mutatis mutandis peran negara juga sangat berarti dalam hal ini negara berkewajiban untuk memastikan bahwa korporasi memberikan penangggulangan yang tepat untuk para korban pelanggaran HAM. Bentuk penanganan dapat bervariasi dari yang ringan seperti permintaan maaf, restitusi dan rehabilitasi hingga yang cukup serius seperti kompensasi materi maupun non-materi serta sanksi sesuai dengan keputusan pengadilan seperti denda, sanksi administrasi atau sanksi kriminal. Negara juga harus mampu menjamin bahwa proses penanganan itu harus bersifat imparsial, bebas dari korupsi dan pengaruh tekanan politik, serta steril dari upaya apapun yang ditujukan untuk membatalkan akses atas penanganan itu sendiri Korporasi sebagai salah satu aktor non-negara (non-state actor) di dalam ranah hubungan internasional, tentunya memiliki peranan yang berbeda dengan negara di dalam penegakkan HAM. Korporasi bersama dengan kelompok masyarakat lainnya, organisasi internasional seperti PBB juga dianggap memiliki pengaruh yang sama sebagai aktor non-negara terhadap kerberhasilan maupun kegagalan negara di dalam menegakkan HAM.
Â
Closing Statement