Mohon tunggu...
Muhammed Rivai
Muhammed Rivai Mohon Tunggu... Konsultan - menulis, menlis dan menulis

...menjadi bermanfaat itu lebih bermakna...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perang Dan logika Demokrasi

18 November 2015   13:15 Diperbarui: 18 November 2015   13:15 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

            Pasca perang dingin praktis Amerika serikat (AS) tidak mempunyai lawan tanding yang setara untuk berkompetisi baik dari segi militer, ekonomi dan pengaruh politik. Kondisi ini menjadikan AS tampil sebagai pemain utama penentu arah percaturan global. Pengaruh ekonomi dan politik AS semakin di perluas dengan melakukan kampanye keseluruh dunia dan kembali merekrut bekas “musuhnya” di perang dingin untuk dijadikan sebagai mitra baru diwilayah-wilayah strategis untuk memuluskan agendanya mewujudkan tatanan dunia baru dibawah bendera Demokratisasi dan liberalisasi ekonomi.

            PBB sebagai payung politik yang telah berdiri jauh sebelum berahirnya perang dingin semakin kokoh berdiri dan terus melakukan rekrutmen aggota baru, sehingga negara-negara yang tidak tergabung dalam keanggotaannya akan tersisih dari pergaulan internasional yang akan merugikan kepentingan nasional negara yang bersangkutan. Disisi lain Word Bank dan IMF sebagai payung ekonomi semakin perkasa menguasai peredaran dan perputaran uang sehingga memaksa negara-negara “demokratis baru” untuk turut bergabung dan menjadi pasien dari lemabaga ekonomi dunia ini. Secara kasat mata negara-negara demoratis baru yang turut bergabung mengalami pertumbuhan ekonomi yang mengagumkan meski sebagian ada yang terseok-seok. Namun yang pasti negara-negara tersebut secara terpaksa harus mengubur ideologi dan dan identitas aslinya dan berganti dengan Demokrasi, liberalisme dan kapitalisme ala amerika.

            Gelombang demokratisasi telah menyeber keseluruh dunia termasuk didalamnya Indonesia, runtuhnya rezim otoriter Soeharto tidak bisa dilepaskan dari pengaruh situasi politik gloal ini. Negara-negara dengan kepemimpinan “otoriter” dan yang berhaluan diluar demokrasi seperti yang difahami barat adalah sasaran tembak untuk digulingkan dengan berbagai macam cara dan propaganda yang dilakukan terus-menerus hingga rezim yang bersangkutan berahir tragis ditangan rakyatnya sendiri sebagai anak didik yang dibesarkan melalui proses panjang dengan sedikit sokongan melalui tangan-tangan yang telah disebar negara tersebut, bahkan dalam beberapa kasus AS terlibat secara langsung.

            Propaganda AS terkai Demokrasi keseluruh dunia terbilang cukup sukses, hari ini dunia telah menerima secara sadar logika “Demokrasi” yang dibangun dan dikampanyekan tersebut. Sehingga sebagai pejuang demokrasi yang sejati para aktivisnya akan merasa sangat berdosa jika mereka tidak “menDakwahkan” demokrasi kesuluruh pelosok dan ujung negeri. Menjadikan seluruh dinia dibawah bendera demokrsasi adalah agenda jangka panjang yang terus di upayakan untuk memuluskan agenda AS mewujudkan tatanan dunia baru. Namun  Agenda ini terganjal oleh ideologi politik yang tidak bisa diberangus dengan cara apapun seperti yang dilakukan terhadap ideologi-ideologi lainnya. Di negara-negara ini  AS berhasil menanamkan pengaruhya, namun menyisakan konflik berkepanjangan dengan identitas asli yang tertanam kuat dimasyarakatnya. Islam adalah identitas sekaligus ideologi yang punya content yang sangat potensial sebagai ancaman bagi demokrasi ala AS.

            Kisah sukses AS dalam menyingkirkan musuh ideologisnya diseluruh dunia menyisakan Islam sebagai duri dalam daging yang harus dilenyapkan. Upaya serius ini dilakukan untuk mencegah tampilnya Islam sebagai kekuatan potensial yang akan mengancam bahkan menggantikan dominasai AS dikemudian hari. Munculnya Islam yang diprediki sebagai kekuatan peradaban yang akan menjadi pemain penentu jauh hari telah banyak di prediksi oleh ilmuan barat, Islam yang mengakar dimasyarakat akan menjadikannya bukan hanya sekadar agama akan tetapi juga mewarnai corak dan nilai budayanya. Sehingga ancaman akan munculnya konflik semakin terbuka lebar jika merunut pada logika Clash of Civilizations yang dikemukakan Samuel Huntington (1996).

            Sadar akan munculnya entitas politik yang mengancam eksistensinya, AS melakukan upaya serius untuk mencegah munculnya kekuatan politik diluar rezim demokratis. Untuk memuluskan jalan ini, kampanye demokrasi semakin digencarkan ditambah dengan perang melawan terorisme. Perang melawan terorisme telah berhasil membangun stigma bahwa Islam adalah bagian yang tidak terpisahkan dari agenda ini.

            Demokratisasi dan upaya pemberantasan terorisime adalah dua senjata ampuh yang melegalkan tidakan AS disetiap konflik bersenjata yang melibatkannya. Keterlibatan ini baik secara langsung ataupun tidak telah menunjukkan kepada kita bahwa perang global yang terjadi hari ini buknlah peristiwa yang berdiri sendiri, ini adalah rentetan peristiwa panjang atas agenda demokratisasi AS keseluruh dunia untuk memperluas pengaruh dan penguasaannya terhadap percaturan politik global. Upaya serius ini adalah bentuk kerja keras AS untuk mewujudkan demokrasi sebagai the only game in the town (Jua Linz & Stepan).

            Dengan menjadi negara yang demokratis konflik dan peperangan diharapkan akan berahir dengan sendirinya, karena ada ada Adagium dalam demokrasi: perang tidak terjadi diantara dua negara yang demokratis. Namun dimasa transisi Adagium ini justru dimanfaatkan untuk menghancurkan dan memerangi musuh-musuh potensial AS yang dianggap tidak demokratis dan tempat tumbuh suburnya bibit-bibit tidakan radikalisme dan terorisme.

            Logika inilah yang menjadi penjelasan utama mengapa AS menyerang Irak. Irak adalah negara diktator yang harus ditumbangkan untuk menyelamatkan masadepan masyarakatnya. Afganistan harus dimusnahkan karena negara ini adalah teroris yang harus dihancurkan. Begitu juga ISIS, Alqaida dan berbagai macam lembaga dan organisasi yang dicap teroris. Disisi lain hal ini jugalah yang menjadi penjelasan kenapa AS tidak bergeming terhadap Israel. Israel adalah negara demokratis yang secara otomatis menjadi saudara yang sedang melawan negara “teroris” dalam logika AS. Sehingga berapapun nyawa rakyat Palestina yang melayang bukan persoalan serius bagi AS karena dalam kacamatanya rakyat Palestina tidak lebih dari kumpulan teroris yang harus di tumpas dan dimusnahkan. Konsistensi dalam logika ini jualah yang membuat AS tidak mengakui kemenangan mutlak HAMAS dalam pemilu beberapa tahun yang lalu.

            Berkaca pada kudeta Mesir logika ini juga memberi penjelasan bahwa “Islamisme” yang di usung oleh Ikhwanulmuslimin sesunggunhnya telah memposisikannya sebagai musuh strategis bagi AS, sehingga membiarkannya terus berkuasa dan semakin kuat meski dengan cara yang demoratis adalah kesalahan besar bagi AS. Kudeta militer adalah upaya terahir yang mendapat dukungan dengan berbagai macam propaganda sebagai pembenaran atas tindakan tersebut walaupun dengan mengorbankan ribuan nyawa rakyat Mesir.

            Disisi lain ratusan korban yang berjatuhan di Prancis atas serangan teroris adalah bencana kemananusiaan yang memilukan. Karena jelas pelaku yang “mengaku” bertanggungjawab adalah kelompok yang dianggap teroris yang menjadi musuh utama AS dan sekutunya. Namun yang menjadi catatan penting adalah tindakan balasan yang dilakukan segera setelah peristiwa itu terjadi, layaknya serangan AS ke Afganistan dengan tuduhan pelaku tindakan teror yang meruntuhkan menara kembar WTC pada 11 september 2011 adalah Alqeda sebagai kelompok yang paling bertanggungjawab. Namau tahun-tahun berikutnya fakta justru mengungukap Alqaedah adalah korban dari politik luarnegeri AS. Peristiwa serupa bisa saja terjadi di Prancis, tindakan teror ini adalah strategi AS untuk memancing Prancis terlibat aktif dalam perang yang kini sedang menyita banyak energi AS dalam meredakan konflik yang disemainya sendiri.

            Tragedi kemanusiaan yang terjadi hari ini diseluruh belahan dunia adalah dampak serius dari ideologi tunggal hegemonik yang dipaksakan dan melahirkan peradaban yang sakit. Kembali pada fitrah kemanusiaan yang hakiki adalah penawar dari penyakit akut ini, Agama adalah fitrah insani yang dengannya manusia bukan sekedar membangun peradaban semu yang miskin dan kering dari nilai namun memanusiakan manusia dengan nilai dan bobot ruhiah yang menjadikan jiwa lebih hidup dan bermakna.

 

@rivai19

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun