Mohon tunggu...
Sartika Harahap
Sartika Harahap Mohon Tunggu... -

Setelah yang pertama aku menghormati Ibu dan Ayahku, lalu apa yang kedua, SEBUTIR BERAS.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Tanpamu Aku Kosong

21 Desember 2013   03:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:41 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibu, tanpa keikhlasan serta kesabaranmu selama mengandungku, tidak mungkin aku terlahir dalam keadaan sehat. Sebagaimana engkau sangat menjaga betul akan asupan makananmu ketika engkau tahu bahwa telah ada kehidupan didalam perutmu, yaitu aku, calon buah hatimu yang sangat kau nantikan. Walau mungkin pada saat itu ekonomi sedang tidak begitu mengerti apa itu menu sehat, tapi aku bisa merasakan betul bahwa kau selalu berusaha memberikan yang terbaik untukku selama aku dalam proses tumbuh didalam kandungan.

Engkau pertaruhkan nyawamu untukku, hingga ku lahir bersamaan dengan darahmu, tiada pernah kau mengeluh sedikitpun. Lelahmu, sakitmu dan perih yang kau rasakan seakan terbayar dengan tangisan pecah dari mulutuku ketika pertama kali aku merasakan udara di dunia ini.

Sejatinya pahlawan ialah engkau wahai ibu. Jasamu tidak akan pernah bisa terbayar oleh penghargaan apapun. Cinta serta doamu yang begitu tulus, memelihara ku dari kecil hingga kini aku mengerti apa itu kehidupan. Kesabaran yang kau miliki dalam mendidikku, mengajariku banyak hal, hingga aku telah dewasa dan kau selalu siap untuk mendengarkan semua keluhan-keluhan ku, tanpa terkadang aku lupa bahwa sebenarnya engkau pun butuh seorang pendengar.

Ibu, aku tahu diusiamu yang semakin senja, semakin banyak hal-hal yang mulai engkau khawatirkan. Aku tahu bu engkau mulai gelisah jika aku mulai hanya memiliki sedikit waktu untukmu, maafkan aku yang mulai mengabaikanmu oh ibu, maafkan aku yang terlalu sibuk mempersiapkan untuk menata masa depanku, maafkan aku yang lebih banyak mengurusi akan hal-hal diluar sana daripada menemanimu minum teh dimalam hari atau hanya sekedar menanyakan bagaimana kesehatanmu.

Musim berganti, waktu terus bejalan, ada dimana masa kita berganti. Seperti aku dengan usiaku yang produktif dan kau dengan usiamu yang semakin senja. Maaf jika terkadang aku sering memberikan nada-nada tinggi dalam merespon pembicaraanmu, maafkan aku yang tidak bisa sesabarmu, ketika bagaimana sabarnya dirimu dalam mendengarkan celotehanku semasa aku kecil, merengek meminta mainan yang terus menerus aku ulangi sampai aku mendapatkan apa yang aku ingini. Tapi kini ketika aku telah dewasa aku tidak bisa sesabarmu yang mendengarkan suaramu yang mulai terdengar lirih, dan lambannya respon mu ketika kita sedang bicara.

Aku tumbuh dewasa dengan mengurusi berbagai hal kesibukan duniawi dan disitu jugalah aku telah melewatkan banyak momen-momen yang seharusnya bisa kita lewati bersama. Tenagamu yang mulai berkurang serta daya respon yang mulai menurun, tubuhmu yang mulai rentan terhadap dingin, kerutan di tanganmu serta bercak-bercak hitam yang mulai tumbuh diwajahmu, dan langkahmu kini tak secepat dulu ketika mengejarku sewaktu kecil karena ingin memandikan aku, dan ku sadari bahwa penurunan produktifitas yang terjadi padamu ialah merupakan bagian dari proses menuju angka usia yang semakin senja.

Sering air mataku meleleh, jika terkadang ada dimana momen kita sedang bersama, dan kemudian aku baru menyadari bahwa ternyata engkau sudah begitu tua, bahkan aroma tubuhmu pun sudah berubah, kemana saja aku selama ini? Aku begitu sibuk dengan urusan-urusan ku, tapi kau? Engkau tetap melakukan segala sesuatunya secara mandiri, seakan tidak ada yang berubah dari fisik dan tenagamu.

Sudah menjadi rutinitasmu setiap hari, bangun tidur sebelum adzan Shubuh berkumandang, menyiapkan sarapan untuk suami dan anak-anakmu terlebih dahulu, bahkan kau tak pernah menyiapkan dirimu terlebih dahulu untuk bergegas berangkat kerja. Betapa luar biasanya dirimu ibu, engkau adalah wanita yang begitu tangguh, gerakmu begitu gesit, engkau selalu bisa diandalkan untuk keluargamu, menjadi pahlawan bagi anak-anakmu, menjadi suster dan merawatku ketika aku sedang sakit dan selalu ingin engkau tunggui, menjadi seorang guru yang membantuku memecahkan tugas sekolah yang tak bisa aku kerjakan, mampu menjadi seorang psikolog dalam memperhatikan tumbuh kembangku sedari anak, remaja hingga dewasa, dan Ibu juga mampu memposisikan dirinya seolah-olah ia adalah seorang teman, memberi masukan namun tak bersifat menggurui, padahal orang tua tetap menjadi sah jika ia ingin memberi nasihat berupa masukan yang secara ekstrim sekalipun, tapi itulah seorang Ibu, ia lebih paham betul dari seorang psikolog manapun, psikolog yang memang dimodalkan ilmu tentang ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku dan proses mental, dan hebatnya seorang Ibu ia lebih paham apa yang sedang dibutuhkan sang anak ketika sedang diambang kebingungan.

Bu, jika suatu hari nanti aku terbangun dari tidurku dan membuka mataku namun tak ku lihat lagi dirimu pada hari itu, percayalah bu, maka hari itu dan seterusnya aku merupakan seorang anak dengan tubuh yang utuh namun tanpa jiwa. Engkau merupakan setengah bagian dari jiwaku, dan setengahnya lagi ialah milik ayah, pria yang selalu mencintaimu, yang selalu melindungi kita. Jika diantara kalian harus pergi meninggalkan aku, bayangkan betapa nelangsanya hidupku yang harus tetap melanjutkan hidup dengan hanya setengah jiwa.

Aku mencoba mengerti, sadar akan semuanya, ya semua ini adalah bagian dari perputaran waktu, kelahiran serta kematian merupakan hal yang wajar dan kedua hal tersebut merupakan hukum mutlak, hukum alam yang nyata dalam hidup. Jika aku harus memilih untuk belajar atau tidak untuk bisa tetap melanjutkan hidup dan mengejar impian-impian yang dulu sering aku ceritakan padamu, aku lebih baik memilih untuk tidak belajar bertahan untuk bisa melanjutkan aktifitas ku. Bagaimana bisa aku yang selalu tergantung padamu, kini harus memulai hidup tanpamu. Tapi sebagai bukti cintaku kepadamu, aku harus tetap melanjutkan hidupku, membuktikan kepadamu bahwa aku mampu mewujudkan mimpi-mimpi yang dulu sering ku ceritakan kepadamu, dan mungkin ketika satu diantara beberapa daftar mimpiku terealisasikan, hal yang paling tidak ingin aku lakukan adalah mengunjungi peristirahatan terakhirmu dan menceritakan semuanya didepan nisanmu, aku sama sekali tidak ingin membayangkan hal itu, tapi aku harus melakukan itu bu, karna ku tahu cepat atau lambat tidak akan ku dengar lagi suara mu yang selalu meneriaki ku dengan tegas untuk menyuruhku melaksanakan ibadah sholat.

Engkau takkan sampai hati mengatakan kepadaku, bahwa ketika nanti kau telah menghadap sang pencipta, kau akan meminta padaNYA untuk selalu menjaga kami yang masih di dunia, anak-anakmu. Karena sesungguhnya engkau pun tahu betapa hancurnya hati kami, anak-anakmu jika kau mengatakan hal itu secara lisan. Redup bola matamu serta kelopak matamu yang mulai melayu, organ tubuhmu yang mulai mengalami penurunan fungsi, bahkan penurunan daya ingatmu, dan aku seakan tidak bisa menerima kenyataan, bahwa engkau telah dimakan usia ibuku, dan aku akan menjadi manusia paling rapuh jika kelak suatu hari nanti engkau akan pergi meninggalkanku.

Maaf jika aku terus menerus membicarakan kematian, bukan maksudku begitu, aku hanya berusaha realistis, bahwa itu memang nyata, dan aku seakan belajar untuk mempersiapkan hal yang terburuk dalam hidupku. Bagaimana bisa aku berusaha mengerti akan tragisnya kehilangan seseorang yang amat aku cintai, tapi dibalik itu semua aku paham, bahwa kau tidak akan lagi merasakan kelelahan, dan aku putrimu akan terus mendoakanmu, menjalankan semua apa yang perintahkan, apa yang kau ajarkan, dan semua itu akan tertanam didalam peraturan hidupku, kelak akan ku wariskan kepada anak-anakku.

Ibu, jika aku diberi 1 kesempatan pada yang maha kuasa, dan kau tahu apa yang ingin sekali aku minta padaNYA? Aku ingin kembali dimomen ketika kita sedang bertengkar, yah aku akan mengembalikan waktu, dan aku akan menghindari pertengkaran itu, aku tidak ingin berteriak kepadamu, berbicara dengan nada tinggi serta dengan mata yang menantang, aku ingin menghindari itu semua, itulah salah satu hal yang paling aku sesalkan didalam hidupku. Aku ingin selalu bisa mencium aroma tubuhmu, membelai rambut hitammu yang mulai tercampur banyak rambut-rambutmu yang kini berubah menjadi putih, memegangi lenganmu ketika engkau mulai mengeluh bahwa betapa letihnya kakimu ketika kau mulai terlalu lama berdiri dan melakukan perjalanan kaki yang cukup jauh bagimu.

Maafkan aku yang terkadang terlihat seperti tidak ingin engkau repotkan, padahal engkau hanya sekedar ingin ditemani sebentar, diantar atau juga dijemput, dan aku sebagai putrimu yang paling membangkang merasa seakan itu merupakan hal yang paling merepotkan diriku, dan merasa bahwa akan ada banyak waktuku yang terbuang jika aku harus terus melayani rengekanmu. Seseorang yang mulai menua akan kembali seperti layaknya balita, yang mulai merengek.

Bu, engkau tahu? Akhir-akhir ini apa yang sering aku minta pada tuhan disetiap doaku? Aku ingin tuhan segera mempertemukan aku pada jodohku, apa yang sudah menjadi takdir atau garis hidupku. Aku tahu betul sering disela-sela pembicaraan kita, kau selalu berbicara tentang rumah tangga, tentang tanggung jawab akan seorang istri, tanggung jawab ketika sudah menjadi seorang ibu, dan kau seperti mendambakan adanya sosok cucu didalam rumah ini, pecah tangisan bayi yang akan meramaikan suasana rumah. Apapun itu, aku hanya ingin membahagiakanmu selagi tuhan masih memberiku kesempatan. Takan pernah ku lewatkan sedetikpun untuk menjadikan hal apapun itu yang dapat membuatmu tersenyum. Tiada yang lebih membuatku bahagia selain bisa melihat engkau tersenyum dan mendengar tawamu. Teruslah tertawa, jangan pernah kecilkan suara tawamu, karena sesungguhnya pecah tawamu itulah yang membawa kedamaian dalam hidupku, membawa semangat seakan dalam hidup ini tak ada yang perlu dikhawatirkan.

Engkau laksana rembulan dimalam hari, matahari dipagi hari, air dilautan, dan tanah diatas bumi. Denganmu semuanya menjadi cukup, denganmu semuanya terasa mudah, semuanya terlihat sempurna, tiada yang kurang satupun. Pengorbanan kalian yang tak pernah ada henti-hentinya. Darah, keringat, tenaga serta air mata semuanya tercampur menjadi satu. Begitulah pengorbanan kalian ketika melahirkan kami didunia yang begitu banyak tanda tanya. Tiada yang lebih tulus dari cinta dan kasih seorang ibu terhadap anak-anaknya. Terima kasih untuk semua para Ibu yang ada didunia ini, kalian luar biasa, kalian lah sesungguhnya pahlawan itu.

NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community. Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community

link: https://www.facebook.com/groups/175201439229892/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun