Berjuta tetes mutiara langit baru saja usai. Senja tak lagi muram. Gemuruh air yang nyaris tak tertampung sungai di belakang rumahku jelas terdengar. Pelangi memendar elok, melengkung penuh senyum. Aku bernapas lega, setelah hampir lima jam tadi berada dalam suasana cemas karena hujan dan petir yang mengguyur dan membahana di kampung kami. Aku membuka kembali jendela. Kali ini lebih lebar. Berharap angin senja masuk ke rumah panggung kami dan memberikan kesejukan ke dalam hati kami yang sedari tadi tegang karena didera ketakutan selama hujan turun. Terdengar suara derit kecil dari jendela rumah kami yang disapa angin.
Aku masih berdiri di depan jendela sambil mendekap kerudung baruku yang tadi siang diberikan oleh Bu Nurlela, wali kelasku di SMP, sambil mengingatkanku bahwa kerudung itu harus dibayar paling lambat lusa. Sambil tersenyum dan mengucapkan terima kasih, aku langsung mengiyakan. Rupanya Bu Nurlela berbaik hati mengambilkannya dari koperasi karena di kelasku hanya aku yang belum memakai kerudung itu.
Aku menoleh kepada Ibu yang masih terbaring bersama adikku yang paling kecil dengan beralaskan tikar. Sejak hujan tadi kami berkumpul di ruang tengah rumah mungil kami ini yang juga berfungsi sebagai ruang tamu dan ruang makan. Melihat mata Ibu yang tampak memaksakan terpejam, aku tahu ada gelisah dan cemas yang memburu di dadanya. Lagi-lagi aku menarik napas. Semoga saja tidak ada yang perlu kami khawatirkan kali ini, harapku.
Adikku yang pertama, yang kini duduk di kelas III SD masih saja sIbuk dengan mobil-mobilan dari bambunya. Selama hujan tadi, ia asyik menyelesaikan mainannya itu. Pisau, sampah bekas serutan bambu, potongan-potongan kecil kayu, dan tali rafia berserakan. Barangkali besok ia harus bisa memamerkan hasil karyanya itu kepada teman-temannya di sekolah. Aku kembali menatap kerudung baruku. Kerudung beregoh putih polos dengan motif pita biru di seluruh sisi bagian bawahnya ini sangat kudambakan.
Dari sebulan yang lalu teman-teman sudah memakainya. Sementara aku belum mampu membelinya karena Bapak belum juga pulang. Meskipun tidak diwajibkan oleh sekolah, tapi karena kerudung itu tersedia di koperasi, aku sangat ingin memakainya. Hampir tiap hari aku menyampaikan keinginan itu kepada Ibu. Ibu selalu membesarkan hatiku bahwa aku pasti bisa memiliki dan memakainya. Tapi aku harus bersabar menunggu sampai Bapak pulang.
Biasanya Bapak akan pulang dengan sejumlah uang di saku celananya yang berlepotan lumpur. Disambut Ibu yang tampak senang, Bapak akan segera memberikan semua uang itu kepada Ibu. Besoknya, Ibu akan sibuk membelanjakan uang itu dengan kebutuhan makan kami. Beras, minyak sayur, gula, garam, kecap, aneka bumbu dapur, dan sebagainya yang menjadi kebutuhan wajib dibeli Ibu sebagai stok kebutuhan selama Bapak tidak ada.
Ibu juga akan membayar utang-utangnya kepada tetangga dan warung tempat kami jajan dan belanja Ibu ketika persediaan uang dari Bapak sudah menipis. Dan yang pasti, jika uang yang dibawa Bapak berlebih, Ibu akan mengajakku dan kedua adikku pergi ke pasar untuk membeli keperluan sekolah kami. Tak hanya itu, kami juga akan makan enak selama Bapak ada di rumah dua atau tiga hari. Dan hari ini adalah hari yang menjadi rencana kepulangan Bapak.
Biasanya Bapak akan sampai di rumah menjelang magrib. Bapak akan pulang setelah selesai bekerja pada jam empat. Dengan menempuh waktu perjalanan sekitar dua jam, seperti teman-temannya, Bapak juga akan menyarter ojek motor trial sampai rumah karena hanya kendaraan itu yang bisa melewati medan tempat kerja Bapak yang berbatu dan curam. Â Ah, rasanya sangat menyenangkan.
Sambil meletakkan kerudung baruku di dada, aku tersenyum membayangkan semuanya. Kepulangan Bapak selalu membawa kebahagiaan dan membangunkan harapanku dari sekadar mimpi. Persis seperti pelangi di senja ini yang bercahaya indah di langit nan terang. Tidak perlu menunggu lusa. Besok aku akan membayar kerudung ini kepada Bu Nurlela, batinku. Lagi-lagi aku tersenyum.
Menjelang magrib, tiba-tiba kampungku seakan gempar. Hilir mudik motor membuat kampungku ramai dengan suara kendaraan itu. Suara-suara samar yang menginformasikan bencana longsor semakin membuat suasana kampung menjadi hingar bingar. Ibu bangkit dari tikar dan menyelimuti adikku dengan kain sarung. Ia menghampiriku yang masih berdiri di jendela. Ibu tampak terkejut melihat hilir mudik motor trial yang kotor dengan lumpur.
Adikku yang sudah selesai dengan mobil-mobilan bambunya pun terusik dan kemudian menghampiri kami. Kami saling pandang. Benak kami dipenuhi pertanyaan melihat keadaan ini. Tak lama kemudian, Mang Hasan, teman bekerja Bapak, datang tergopoh-gopoh menuju rumah kami.