Mohon tunggu...
Saroh Ganik Haryati
Saroh Ganik Haryati Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswi Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Keberadaan Lurik yang Perlu Dijaga

25 Desember 2012   23:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:03 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1356477107559162983

Kebudayaan merupakan suatu hal yang perlu dilestarikan karena terdapat nilai-nilai budaya yang kental. Dalam hal ini kain lurik juga merupakan salah satu kekayaan yang dimiliki di Indonesia. Kain lurik pada saat ini banyak berkembang di Pulau Jawa. Kain tradisional ini sudah ada sejak zaman kerajaan mataram yang ditandai dengan adanya prasasti dengan mengenakan kain lurik. Kain lurik berasal dari bahasa jawa yaitu lorek yang berarti garis-garis.

Awalnya kain lurik ini dibuat seperti selendang yang berfungsi untuk menggendong tenggok (tempat yang terbuat dari anyaman bambu). Dahulu juga banyak digunakan masyarakat untuk pakaian sehari-hari, biasanya digunakan para wanita untuk membuat kebaya. Sedangkan para laki-laki menggunakan lurik untuk bahan baju misalnya dibuat kemeja. Bahkan kain lurik juga digunakan untuk upacara yang berkaitan dengan kepercayaan seperti ruwatan, siraman, mitoni,dan sebagainya.

Kain lurik yang hanya bermotif garis-garis tetapi banyak terdapat macam corak yang diberikan. Misalnya, corak klenting kuning, sodo sakler, lasem, tuluh watu, dan sebaginya. Dengan seiring perkembangan zaman banyak motif-motif lurik yang bermunculan seperti yuyu sekandang, sulur ringin, dan masih banyak lagi. Pada zaman dahuu kain lurik mempunyai motif yang sangat banyak, tetapi dengan seiring berkembangnya waktu motif-motif kain lurik sedikit dilupakan. Dimana zaman sekarang motif-motif lurik banyak divariasikan dan disesuaikan dengan warna trend saat ini.

Proses dalam pembuatan kain lurik zaman dahulu dengan sekarang pun juga sudah berbeda. Dahulu kain lurik ditenun dengan menggunakan benang katun yang dipintl dengan menggunakan tangan dan ditenun menjadi selembar kain dengan alat yang disebut dengan Gedog. Tetapi, saat ini proses produksi kain lurik sudah menggunakan ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) yang lebih modern dan dapat menhasilkan kain yang lebih banyak. proses dari pemintalannya pun juga sudah modern yaitu menggunakan mesin. Salah satu inti yang membuat kain disebut dengan kain lurik penggunaan benang katun, sehingga menghasilkan tekstur yang khas pada kain ini. Sehingga apabila kain bermotif lurik ini dipintal dengan benang polyester tidak dapat disebut sebagai kain lurik. Karena teksturnya yang berbeda dengan kain lurik yang terbuat dari bahan katun.

Disini sejenak kita melihat salah satu desa yang berada di kota Klaten yaitu desa Pedan. Desa Pedan merupakan salah satu desa yang saat ini masih sebagai pengrajin kain tenun lurik. Dimana kain tenun lurik yang juga merupakan kebudayaan dari masyarakat Indonesia yang masih ada di zaman modern ini walaupun dalam proses pembuatannya masih menggunakan alat tradisional. Yaa.. meskipun sudah banyak alat mesin tenun yang lebih modern disaat ini, tetapi pembuatan kain tenun lurik Pedan masih menggunakan alat tenun tradisional yaitu dengan alat tenun kayu manual. Dengan menggunakan alat tenun tradisional diyakini hasil lebih bagus dibanding dengan menggunakan alat mesin yang modern. Harga yang ditawarkan dari kain lurik juga bermacam-macam ada yang Rp. 30.000,00 per meter tergantung jenisnya.

Selain mendapat hasil yang lebih bagus para pengusaha kain lurik tersebut juga ingin menjaga warisan budaya Indonesia agar para penerus generasi bangsa bisa menikmati warisan dari nenek moyang. Seiringnya berjalannya waktu kepopuleran dari kain lurik Pedan ini tersaingi oleh produk kain-kain modern. Sehingga untuk menjaga kelestarian kain lurik tersebut, maka Pemkab Klaten mengeluarkan kebijakan agar para PNS mengenakan kain lurik Pedan setiap hari Rabu dan Kamis. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemkab Klaten tersebut tidak hanya mengangkat nama lurik tetapi juga potensi ekonomi lokal.

Memang kain lurik saat ini masih jauh dari populer dibanding kain batik walaupun yang sama-sama berada di tanah Jawa. Kain lurik pun masih belum menjadi primadona dikalangan para masyarakat. Padahal dalam pembuatan kain lurik perlu ketrampilan khusus yang membutuhkan kejelian agar menghasilkan perpaduan warna yang indah. Namun sangat disayangkan kelestarian kain lurik yang mengandung makna spiritual ini. Tidak seberuntung kain batik yang sudah terdaftar di UNESCO sebagai warisan budaya Indonesia. Dimana kain lurik saat ini sudah terancam punah, maka perlu perhatian dari pemerintah untuk melestarikan keberadaan dari kain lurik yang memiliki beberapa keterbatasan. Sehingga sebelum bangsa lain mengklaim kain lurik sebagai warisan budayanya seperti halnya kain batik.

Sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kebudayaan alangkah baiknya kita melestarikan budaya yang sudah ada sejak nenek moyang. Dengan tetap menggunakan produk-produk lokal agar kelestarian budaya di Indonesia tetap terjaga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun