Mohon tunggu...
Sarnabilah Nuraini
Sarnabilah Nuraini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar/mahasiswa

Mahasiswa fakultas syariah universitas islam negri Raden mas said surakarta - Mahasiswa fakultas syariah universitas islam negri Raden mas said surakarta

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

DinamikaHukum Perdata Islam di Indonesia (Analisis Legislasi Hukum Perkawinan Islam dalam Sistem Hukum Nasional)

14 Maret 2024   20:32 Diperbarui: 14 Maret 2024   20:34 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

 *Pencatatan Perkawinan*
Al-Qur'an dan hadis tidak mengatur secara rinci mengenai pencatatan perkawinan. Namun dirasakan oleh masyarakat mengenai pentingnya hal itu, sehingga diatur melalui perundang-undangan, baik UU RI. No.1 Tahun 1974 maupun melalui KHI. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat, baik perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan hukum Islam maupun perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat yang tidak berdasarkan hukum Islam. Pencatatan perkawinan merupakan upaya untuk menjaga kesucian (misaqan galid}an) aspek hukum yang timbul dari ikatan perkawinan. Realisasi pencatatan itu, melahirkan akta nikah yang masing-masing dimiliki oleh istri dan suami salinannya. Akta tersebut dapat digunakan oleh masing-masing pihak bila ada yang merasa dirugikan dari ikatan perkawinan itu untuk mendapatkan haknya. Akibat perkawinan tidak dicatat, muncul beberapa penamaan dalam perkawinan seperti perkawinan sirri, perkawinan di bawah tangan dan perkawinan liar. Pemahaman "perkawinan yang tidak dicatat" adalah berbeda dengan "perkawinan sirri". Yang dimaksud dengan "perkawinan tidak dicatat" adalah perkawinan yang memenuhi rukun dan syarat sesuai dengan hukum Islam, tetapi tidak dicatatkan atau belum dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan sebagai Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Instansi Pelaksana di wilayah kecamatan setempat. Istilah "tidak dicatat" tidak sama dengan istilah "tidak dicatatkan." Kedua istilah tersebut mengandung makna berbeda. Pada istilah "perkawinan tidak dicatat" bermakna bahwa perkawinan tidak mengandung unsur "dengan sengaja" yang mengiringi iktikad atau niat seseorang untuk tidak mencatatkan perkawinannya.
Adapun istilah "perkawinan yang tidak dicatatkan" terkandung iktikad atau niat buruk dari suami khususnya yang bermaksud perkawinannya memang "dengan sengaja" tidak dicatatkan. Karena itu menyepadankan "perkawinan tidak dicatat" dengan "perkawinan yang belum dicatatkan" berbeda dengan perkawinan tidak dicatatkan. Telah dikemukakan bahwa "perkawinan tidak dicatat" adalah berbeda dengan "perkawinan sirri", karena yang dimaksud dengan "perkawinan yang tercatat" adalah perkawinan yang memenuhi rukun dan syarat berdasarkan hukum Islam. Menurut UU RI. No.1 Tahun 1974, jika perkawinan yang sah secara syar'i maka sah pula menurut peraturan perundang-undangan. "Perkawinan yang tidak dicatat" adalah sah menurut peraturan perundang-undangan karena sesuai dengan hukum perkawinan Islam yang berlaku di Indonesia berdasarkan Pasal 2 ayat 1 UU RI. No. 1 Tahun 1974 juncto Pasal 4 KHI sebagai ius constitutum jo. Pasal 3 RUU-HM- PA-Bperkwn Tahun 2007 sebagai ius constituendum. Sebelum UU RI. No.1 Tahun 1974, sudah ada UU RI. No. 22 Tahun 1946 yang mengatur tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
Semula undang-undang ini hanya berlaku untuk daerah Jawa dan Madura, tetapi dengan lahirnya UU RI. No. 32 Tahun 1954 yang disahkan tanggal 26 Oktober 1954, UU RI. No. 22 Tahun 1946 diberlakukan untuk seluruh daerah luar Jawa dan Madura. Dengan kata lain, lahirnya UU RI. No. 32 Tahun 1954 berarti UU RI. No. 22 Tahun 1946 berlaku seluruh daerah di Indonesia. Bahkan konon sebelum UU RI. No. 22 Tahun 1946 sudah ada peraturan yang mengatur hal yang sama yakni Huweklijkksordannatie Buitengewesten No. 482 Tahun 1932 adalah peraturan-peraturan tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk yang berlaku di daerah Swapraja. Pencatatan perkawinan dalam UU RI. No. 22 Tahun 1946 disebutkan: (1) perkawinan diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah, (2) bagi pasangan yang melakukan perkawinan tanpa pengawasan dari Pegawai Pencatat Nikah dikenakan hukuman karena merupakan satu pelanggaran. Lebih tegas tentang pencatatan perkawinan ditemukan pada penjelasannya bahwa dicatatkannya perkawinan agar mendapat kepastian hukum dan ketertiban. Ketika menjelaskan hukuman bagi pasangan yang melakukan perkawinan tanpa pengawasan, maksud hukuman bagi pasangan yang melanggar adalah agar aturan administrasi diperhatikan, tetapi tidak mengakibatkan batalnya perkawinan. Pencatatan perkawinan yang diatur dalam UU RI. No. 22 Tahun 1946 jo. UU RI. No. 32 Tahun 1954 Pasal 6 ayat 1 "untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah." Pasal 6 ayat 2 "perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.

 *Perkawinan Wanita Hamil Luar Nikah*
Perkawinan wanita oleh fukaha telah sepakat tentang larangan mengawini seorang wanita yang seorang diikat dengan perkawinan sah sebelum melahirkan anaknya, sekalipun suami wanita mafqud (hilang), kecuali setelah ada kepastian hukum tentang hilangnya suami tersebut dengan ketetapan pengadilan dan setelah selesai iddahnya, demikian pula mengawini wanita hamil akibat syubhat. Akan tetapi, mengawini wanita hamil akibat hubungan luar nikah (berzina) dan tidak diikat suatu akad nikah yang sah, diperselisihkan oleh ulama fikih. Wahbah al-Zuhayli mengemukakan bahwa ulama sepakat menghalalkan laki-laki yang berzina untuk menikahi wanita yang dizinainya. Jika wanita tersebut melahirkan anak setelah lewat 6 (enam) bulan dari waktu akad nikah dilaksanakan, maka ditetapkan nasab anak itu kepadanya. Namun, jika anak itu lahir kurang dari 6 (enam) bulan setelah akad nikah dilangsungkan, maka anak tersebut tidak dapat dinasabkan kepadanya, kecuali bila mengakui bahwa itu adalah anaknya, tidak menyatakan secara jelas bahwa anak itu adalah dari hasil perbuatan zina. Dengan begitu, ditetapkan nasab kepadanya, karena dimungkinkan ada akad sebelumnya atau terjadi hubungan seksual karena "syubhat" (tanpa disadari) dengan tujuan memberikan kemaslahatan dan menjaga kehormatan muslim. Mayoritas ulama fikih berbeda pendapat mengenai perkawinan wanita hamil luar nikah dengan rincian masalah sebagai berikut;
1.Mazhab Syafi'iyah membolehkan mengawinkan wanita hamil luar nikah dengan laki-laki lain yang bukan menghamilinya, sebab kandungannya itu tidak sah nasabnya (keturunannya).
2.Mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa membolehkan mengawinkan wanita zina dengan laki-laki yang mengzinainya/menghamilinya, baik hamil maupun tidak hamil. Namun jika hamil, tidak boleh menggaulinya sampai melahirkan anaknya.
3.Mazhab Malikiyah berpendapat bahwa tidak boleh mengawinkan dengan wanita zina, sebelum wanita itu bersih dari perbuatan zinanya dengan tiga kali haid atau setelah lewat tiga bulan setelah dinyatakan tidak hamil. Apabila mengawinkan setelah bersih, maka perkawinannya itu fasid (rusak atau batal), wajib difasakh, baik hamil itu tampak ataupun tidak. Apabila kehamilan itu tampak tidak boleh dikawinkan.
4.Mazhab Hanabilah berpendapat bahwa tidak membolehkan mengawinkan wanita zina, baik hamil maupun tidak hamil dengan laki-laki yang mengetahui keadaanya itu, kecuali dua syarat:
a.Apabila iddahnya telah habis, yakni manakala tidak hamil tiga kali suci dan kalau hamil sampai melahirkan kandungannya.
b.Wanita zina itu harus bertobat dari perbuatan maksiatnya, jika tidak bertobat walaupun iddahnya telah selesai, haram dinikahi oleh siapapun.
Status Hukum Anak Luar Nikah
Akibat buruk dari perbuatan zina adalah bertentangan mengenai kedudukan hukum anak zina yang menjadi persoalan dari dahulu sampai sekarang, di antaranya ada yang menganggap tidak sah, kecuali dari para pihak ibunya, sehingga putus hak waris dari pihak bapaknya. Ada pula yang menganggap sah sebagai anak biasa dan mendapat waris dari kedua belah pihak. Alasan tidak sah sebagai anak bapaknya karena anak itu lahir tanpa perkawinan sah. Bahkan ada yang menganggap bahwa anak dilahirkan tanpa ikatan perkawinan sah, jika anak itu perempuan halal dinikahi oleh bapaknya karena dianggap bukan anaknya. Anak zina yakni seorang anak dilahirkan secara tidak sah, maka anak itu disebut sebagai anak luar nikah. Sebagai akibatnya, anak zina tidak dapat dinasabkan kepada ayah biologisnya, melainkan hanya kepada ibunya. Ditegaskan dalam hukum bahwa anak zina tidak berhak ayah biologisnya menjadi wali, tidak dapat saling mewarisi dan memberikan nafkah. Di sisi lain, dilihat dari sisi kemanusiaan, manusia memiliki hati nurani, perasaan, kasih sayang, demikian seorang ayah sebagai manusia tidak boleh menutup mata hatinya untuk memberikan kasih sayang, tidak membiarkan terlantar atau menjadikan anaknya hidup sengsara meskipun anak dilahirkan akibat perbuatan zina. Laki-laki yang telah berzina dengan entengnya ditiadakan tanggung jawab atas perbuatannya, mestinya dihukum dengan sanksi yang jauh lebih berat untuk memenuhi segala kebutuhan anak tersebut. Jika demikian konsepsinya, melepaskan tanggung jawabnya, dapat dipastikan laki-laki pezina itu tidak ada beban untuk berzina lagi.

 *Perceraian Dan Akibat Hukumnya*
Perceraian dalam hukum Islam adalah sesuatu perbuatan halal yang mempunyai prinsip dilarang oleh Allah swt. Berdasarkan hadis Nabi Muhammad saw. "sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak/perceraian." Hadis itu menunjukkan bahwa perceraian merupakan upaya alternatif terakhir yang dianggap pintu darurat yang dapat dilalui oleh suami istri apabila ikatan perkawinan dalam rumah tangga tidak dapat dipertahankan keutuhan dan kelanjutannya. Sifat alternatif pintu darurat berarti telah ditempuh berbagai cara dan teknik untuk mencari kedamaian di antara kedua belah pihak, baik melalui hakam (arbitrator) dari kedua belah pihak maupun langkah-langkah dan teknik yang diajarkan dalam al-Qur'an dan hadis. Putusnya perkawinan sebagaimana yang diatur dalam UU RI. No.1 Tahun 1974 dinyatakan dalam pasal 38 bahwa perkawinan dapat putus karena: Kematian, Perceraian dan Atas keputusan Pengadilan. Akibat putusnya perkawinan karena perceraian dapat ditemukan dalam UU RI. No.1 Tahun 1974 pasal 4, sebagai berikut:
1.Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.
2.Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam kenyataannya tidak dapt memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut.
3.Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

 *Poligami Perspektif Hukum Islam*
Perkawinan poligami boleh saja dilakukan asalkan dari perkawinan itu dapat dicatatkan kepada pejabat yang berwenang, berlaku adil kepada semua istri-istrinya dan melindungi hak-hak anak yang dilahirkan sebagaimana perkawinan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. dengan sembilan istrinya, bukan terdorong oleh motif memuaskan nafsu seks. Sebab, dengan motif demikian, tentu Nabi menikahi gadis-gadis dari kalangan bangsawan dan dari berbagai suku pada masa Nabi masih berusia muda. Akan tetapi, Nabi saw. berumah tangga hidup rukun, bahagia dan sejahtera. Dalam perspektif UU RI. No.1 Tahun 1974, alasan perkawinan poligami diatur dalam Pasal 3 ayat 2 "Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan." Pasal 4 ayat 1 "Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat 2 undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggal." Pasal 4 ayat 2 "Pengadilan dimaksud dalam ayat 1 Pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
1.Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
2.Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3.Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Dapat dipahami bahwa alasan perkawinan poligami yang diatur dalam UU RI. No.1 Tahun 1974 Pasal 3 dan 4, perkawinan poligami hanya dapat dilaksanakan dalam keadaan terpaksa. Akan tetapi, di sisi lain pada kedua pasal itu mengindikasikan istri berada dalam posisi lemah dan terdesak. Sebab, manakala istri menolak memberikan persetujuannya, Pengadilan Agama dapat mengambil alih kedudukan istri sebagai pemberi izin. Sementara itu, syarat kebolehan perkawinan poligami dalam KHI diatur dalam Pasal 55 ayat 2 "Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya". Ironisnya, pada Pasal 59 dinyatakan " Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam Pasal 55 ayat 2 dan 5, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama dan terhadap penetapan itu istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.

 *Hak Dan Kewajiban Suami Istri*
Hak-hak istri yang paling penting dengan secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut;
1.Menjaga kesucian istri dan menggaulinya dengan cara makruf.
2.Seorang suami wajib menggauli istrinya dengan baik dan diwajibkan mengeluarkan yang menjadi hak istrinya yang harus dipenuhi tanpa penangguhan.
3.Keadilan dalam masalah nafkah
Menurut Imam al-Nawawi al-Battani dalam bukunya Uqud alLujjain, sebagaimana yang dikutip oleh Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan dalam bukunya Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU RI. No.1 Tahun 1974 sampai KHI, secara sistematis menjelaskan hal-hal yang harus dilakukan suami, sebagai berikut;
1.Memberikan nasihat, menyuruh dan mengingatkan untuk berbuat baik serta menyenangkan hati istri.
2.Memberi nafkah istri sesuai dengan usaha kemapuan.
3.Selalu bersabar dan tidak mudah marah apabila istri berkata dan berbuat sesuatu yang menyakitkan.
4.Bersikap lemah lembut dan berbuat baik terhadap istri karena pada umumnya mereka kurang sempurna akal dan agamanya.
5.Menuntun istri dengan jalan kebaikan.
6.Mengajari dalam urusan agama seperti yang berkenaan dengan taharah.

 *Conclusion*
Perkawinan adalah institusi yang kompleks dan penting dalam masyarakat, di mana perceraian, poligami, dan kehamilan di luar nikah adalah beberapa isu yang seringkali menjadi perdebatan. Penting untuk memahami bahwa setiap kasus memiliki konteks dan faktor-faktor unik yang mempengaruhinya. Namun, secara umum, penting untuk mempromosikan hubungan yang sehat dan saling menghormati dalam perkawinan, memberikan perlindungan hukum bagi semua pihak yang terlibat, dan memastikan perlakuan yang adil dan layanan dukungan bagi individu yang mengalami perceraian atau kehamilan di luar nikah. Selain itu, pendekatan yang komprehensif dan inklusif diperlukan dalam membahas isu-isu ini, dengan memperhatikan nilai-nilai keadilan, kesetaraan gender, dan kesejahteraan keluarga. Solusi untuk isu-isu tersebut dapat mencakup beberapa pendekatan, antara lain:
1.Pendidikan dan Kesadaran: Memberikan pendidikan tentang pentingnya hubungan yang sehat, komunikasi yang efektif, dan tanggung jawab dalam perkawinan serta konsekuensi dari poligami dan kehamilan di luar nikah.
2.Pemberdayaan Perempuan: Mendorong kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan melalui akses yang lebih baik terhadap pendidikan, pekerjaan, dan akses ke layanan kesehatan reproduksi.
3.Penegakan Hukum yang Adil: Meningkatkan penegakan hukum untuk melindungi hak-hak perempuan dalam perceraian dan mengurangi praktik poligami yang merugikan.
4.Dukungan Sosial: Memberikan dukungan sosial dan psikologis bagi individu yang mengalami perceraian atau kehamilan di luar nikah, termasuk akses ke layanan konseling dan bantuan hukum.
5.Pembaharuan Hukum: Mendorong reformasi hukum yang mengakui hak-hak perempuan dalam perkawinan dan mengurangi ketidakadilan gender dalam sistem hukum keluarga.
6.Penguatan Keluarga: Mendorong pembentukan keluarga yang kokoh melalui program-program pendidikan keluarga dan dukungan bagi orangtua dalam membangun hubungan yang sehat dengan anak-anak mereka.
Pendekatan-pendekatan ini dapat membantu memperbaiki masalah-masalah yang berkaitan dengan perkawinan, perceraian, poligami, dan kehamilan di luar nikah dengan cara yang lebih holistik dan berkelanjutan.

 *Bibliography*
Fikri. Dinamika Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Vol. 5. Yogyakarta: TrustMedia Publishing, 2016.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun