Mohon tunggu...
Sarmila Alma Naila
Sarmila Alma Naila Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Ilmu Komunikasi UMS

Hanya anak perempuan yang ingin membanggakan orang tua

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Beauty is Pain, Standar Kecantikan yang Tak Selalu Indah

30 Desember 2021   02:00 Diperbarui: 30 Desember 2021   02:04 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi standar kecantikan yang menyakitkan. Sumber : pinterest

Apa yang kamu bayangkan ketika ditanya mengenai definisi 'cantik'?. Beberapa orang mungkin menyebutkan bahwa cantik itu harus berkulit putih dan bersih, memiliki badan yang langsing dan tinggi, memiliki hidung mancung, dsb. Hal tersebut adalah stereotip yang selama ini dikonstruksikan oleh media melalui tayangan-tayangan iklan komersil. Menurut Felicia Goenawan (2007) dalam jurnalnya yang berjudul "Ekonomi Politik Iklan Di Indonesia Terhadap Konsep Kecantikan", konsep kecantikan secara tersirat sudah ditanamkan pada stigma masyarakat melalui tayangan-tayangan, salah satunya adalah iklan. Televisi sebagai salah satu dari budaya populer memiliki peran yang sangat besar dalam pembentukan stereotip-stereotip yang berkembang di masyarakat, terutama stereotip mengenai standar kecantikan yang harus dimiliki oleh perempuan. Beberapa iklan yang muncul di televisi menggunakan trik pemasaran, seperti 'pakailah sabun wajah A, wajah anda akan putih merona seperti wanita jepang'. Atau iklan sampo yang memperlihatkan rambut panjang lurus dan tebal si bintang iklan. Dari hal ini, muncullah stigma masyarakat mengenai standar kecantikan, bahwa perempuan yang cantik haruslah seperti yang ditampilkan pada iklan.

Pada akhirnya, banyak perempuan yang bersikeras tampil cantik dengan mengikuti apa yang ditampilkan oleh media. Mereka berusaha tampil cantik seperti yang ada di iklan dengan mengunjungi salon-salon kecantikan, melakukan perawatan di klinik kecantikan, arau menggunakan produk-produk skincare yang bahkan beberapa harganya tidak ramah bagi beberapa kalangan. Hal ini pada akhirnya terus-menerus terjadi selama media masih mengkonstruksikan kecantikan sebagai suatu hal yang dipandang memiliki standar yang harus diikuti oleh semua perempuan apabila mereka ingin dianggap cantik.

Representasi kecantikan yang dimunculkan oleh media ini pada akhirnya memaksa kalangan menengah kebawah untuk tidak kalah cantik dengan mereka kalangan menengah atau menengah keatas yang dengan mudah bisa melakukan banyak perawatan terhadap tubuhnya. Kapitalis pun menjadi salah satu alasan mengapa pada akhirnya konsep cantik di negara kita berubah. Perempuan pada akhirnya berlomba-lomba untuk menjadi yang sempurna dimata orang lain. Perusahaan kecantikan berlomba-lomba menggunakan model yang cantik, seakan menampilkan bahwa produk mereka akan membuat konsumen tampil seperti model. Pada akhirnya, sifat konsumtif dari konsumen pun muncul. Mereka rela menghabiskan uang yang banyak, demi bisa tampil cantik seperti model, juga tergiur dengan iming-iming yang dilantunkan oleh perusahaan, seperti contohnya 'glowing seketika'.

Namun ternyata, standarisasi kecantikan yang ada saat ini tidak hanya dimunculkan oleh media seperti televisi saja, media sosial pun menjadi arus utama bagaimana konsepkecantikan di Indonesia hadir. Munculnya influencer-influencer yang terkenal dan diikuti oleh banyak orang juga menjadi salah satu kunci bagaimana konsep dan standar kecantikan di indonesia saat ini. Mereka selebriti internet biasanya melakukan review pada produk kecantikan, yang pada akhirnya membuat banyak orang merasa 'keracunan' dan ingin membeli produk yang di review tersebut. Saat ini pun skincare addict saya rasa sudah sangat menjadi sifat yang umum pada perempuan-perempuan di Indonesia. Berasa kurang kalau tidak punya skincare diatas meja rias. Dan berasa ketinggalan jika tidak punya skincare keluaran baru yang sudah di review oleh influencer.

 Lalu, bagaimana nasib kaum perempuan yang ingin tampil cantik, namun dengan keterbatasan ekonomi? Ditemukan bahwa banyak dari mereka kaum menengah kebawah melakukan segala hal asal mereka bisa tampil cantik. Banyaknya oknum-oknum penjual skincare abal-abal yang muncul saat ini dikarenakan mereka melihat bahwa saat ini skincare merupakan suatu hal yang dianggap wajib dimiliki oleh perempuan apabila mereka ingin tampil cantik. Menggunakan produk abal-abal pada akhirnya menjadi jalan pintas bagi mereka yang ingin tampil cantik dengan hasil yang instant dan hanya mengeluarkan biaya yang relatif murah, ketimbang dengan skincare asli berlisensi dan sudah bersertifikat BPOM.

 Padahal mereka tidak tahu-menahu bagaimana skincare abal-abal tersebut diproses dengan bahan yang aman atau tidak. Stereotip cantik harus putih dan bersih itu juga yang membuat banyak produsen-produsen maupun penjual skincare abal-abal ini menggunakan iming-iming 'putih secara instant'. Namun, sebenarnya kita tidak perlu muluk-muluk melihat mereka para produsen atau penjual skincare abal-abal. Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya juga, iklan promosi produk yang sudah jelas izin edarnya saja menggunakan taktik marketing demikian agar konsumen bisa nyangkut dengan produk  mereka.

Standar kecantikan saat ini yang dikonstruksikan oleh media ternyata memang cukup membuat banyak perempuan merasa rendah diri. Kata insecure pun akhirnya lahir dari kerendah dirian dan ketidak percaya dirian mereka yang muncul, karena menganggap mereka kalah cantik dengan mereka yang memiliki kulit putih dan bersih, atau bentuk badan dan rambut yang indah. Tak sedikit dari mereka perempuan merasa bahwa mereka terlalu dibanding-bandingkan dengan perempuan yang sudah memenuhi standar kecantikan. Perempuan seharusnya bukan menjadi bahan perbandingan antara satu dengan yang lainnya. Pada hakikatnya, perempuan memiliki kecantikannya dan keunikannya masing-masing. Setiap perempuan adalah cantik. Maka dari itu, kita sebagai perempuan haruslah bijak dan pintar dalam menilai standar kecantikan yang ada. Jangan sampai kita terlalu memikirkan standar yang ada, dan malah membahayakan diri sendiri. Just be yourself, and you are pretty on your way own. 

Surakarta. Sarmila Alma Naila/ Mahasiswi Ilmu Komunikasi UMS

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun