Puncak peringatan HUT RI ke 79 masih beberapa hari lagi tapi di kampung-kampung warga tampak sudah sibuk merayakannya. Ada yang latihan lomba baris berbaris, bersih-bersih lingkungan, pasang umbul-umbul dan memasang atribut lainnya. Dalam aktifitas yang guyub dan rukun itu banyak warga yang bersandal jepit dan ada juga yang memakai peci.Â
Rasanya tidak ada yang tidak mengenal sandal jepit, satu jenis alas kaki yang nyaman dipakai ke mana saja untuk segala rupa keperluan. Modelnya yang sederhana, harganya yang relative murah dan bahan bakunya yang enak diinjak membuat banyak orang menyukainya.Â
Sandal jepit mudah ditemui, dari pekarangan rumah sederhana hingga halaman rumah mewah dan istana. Dari halaman sekolah hingga emperan mushola. Sepertinya setiap orang pun pernah punya atau paling tidak pernah memakainya.Â
Walaupun murah, tetapi ketika kehilangan sandal jepit tetap saja meninggalkan rasa kesal di hati. Supaya tidak mudah hilang, tanpa rasa sayang orang akan mengiris ujung-ujungnya, melubangi atau memberi tanda dengan cara merusak lainnya.Â
Sandal jepit layak dibeli oleh mereka yang berfalsafah: ngapain beli sandal mahal, akhirnya toh diinjak juga. Falsafah ini ada benarnya, karena kenyataannya semahal apapun harganya, sebagus apapun modelnya, sepasang sandal tetap saja dipakai di kaki untuk diinjak.Â
Meski diinjak, sandal jepit akan tampak bersih dan enak dilihat jika hanya dipakai di lingkungan rumah, di seputaran istana atau dipakai untuk pergi ke masjid dan mushola. Dia menjadi salah satu benda remeh yang dianggap beruntung karena dipakai penghuninya untuk menjelajah sampai ke sudut-sudut rumah mewah dan istana yang tidak semua orang bisa lihat.Â
Sebaliknya, benda murah ini juga kadang perlu dikasihani. Dia kotor, penuh gedibal, busuk, butut dan tidak enak dipandang mata karena dipakai ke kamar kecil, ke tempat sampah, ke kandang ayam yang penuh kotoran atau tempat lain yang tidak kalah kumuhnya.Â
Namun ada juga sisi bagus sandal jepit, di manapun digunakan, di tempat mulia maupun di tempat kotor, fungsinya sebagai pelindung kaki tidak hilang. Dia siap, tanpa basa-basi dengan setia melindungi kai pemakainya dan tidak menolak dipakai ke manapun. Â Namanya juga alas kaki.Â
Begitu juga peci atau songkok, atau di beberapa daerah disebut kopyah atau kupluk. Kupluk sudah sejak lama menjadi tutup kepala khas Indonesia, dikenakan oleh rakyat biasa hingga pejabat terhormat.Â
Bung Karno, Presiden RI pertama dan Proklamator kita, dulu sering terlihat memakai kupluk di segala acara di dalam maupun di luar negeri. Saat memproklamasikan kemerdekaan pun, 79 tahun yang lalu, beliau terlihat mengenakan kupluk.Â
Di kalangan masyarakat biasa, penutup kepala khas ini biasa dipakai di berbagai acara, dari tahlilan, kenduren hingga agenda resmi di Kabupaten. Apalagi di acara yang bernuansa agama, kupluk seolah menggambarkan tebal tipisnya kadar ketaatan seseorang.Â
Beda dengan sandal jepit, kupluk dipakai di kepala. Maka, semurah apapun harganya, sejelek apapun modelnya, kupluk diposisikan di tempat yang mulia, terhormat dan selalu dijaga kebersihan dan kerapihannya.Â
Tetapi pada dasarnya sandal jepit dan kupluk hanyalah asesori. Dua benda ini hanya dipedulikan saat diperlukan saja. Di luar itu, sandal jepit terkapar di pelataran, sedangkan kupluk menjadi onggokan barang di gudangatau nyantol di cantelan topi.Â
Namun di balik keremehannya, pada waktu-waktu tertentu, sandal jepit dan kupluk menjadi barang penting yang digunakan untuk membangun citra diri. Pada saat-saat seperti ini, tidak terlalu sulit melihat orang memakai dua benda itu di berbagai tempat. Sandal jepit dan kupluk membantu mereka dalam membangun citra seolah merakyat, seolah sederhana, seolah peduli orang kecil, seolah religius dan banyak seolah-olah lainnya.Â
Di era maraknya medsos dengan daya jangkau menembus hingga dinding dapur, tidak sedikit orang dibuat terpesona pada citra yang dibangun dari mengenakan sandal jepit dan kupluk.Â
Sebagian lainnya lebih melihat apapun yang dipakai orang, sandal jepit maupun sandal kulit, kupluk maupun sombrero, blangkon maupun helm tidak akan berpengaruh banyak pada karakter dan akhlak asli si Pemakai. Juga tidak banyak merubah daya pandangpemakainya yang pendek menjadi visioner.Â
Banyak hal di sekeliling kita baik di jalan, di TV, di radio maupun di handphone yang mempesona mata. Begitu mempesonanya sehingga membuat yang semula tidak percaya menjadi percaya, yang awalnya tidak memiliki menjadi ingin memiliki, yang tidak punya ingin membeli. Sebuah pesona yang bisa membuat orang-orang lapar mata menjadi hilang hati.Â
Di bulan kemerdekaan sekarang ini rasanya lebih indah dan adem membaca kiriman pesan tentang warga yang sibuk menyiapkan acara tujuh-belasan. Di sana ada kesan amat kental aura suka hati, rela, ikhlas, tulus, guyub, rukun dan tanpa pamrih. Apalagi tidak sedikit diberitakan warga merogoh saku untuk meramaikan acara.Â
Anda yang setiap hari dikungkung kesibukan hingga lupa diri, ada baiknya setahun sekali, sekarang juga ambil sandal jepit dan kenakan kupluk, turun berbaur dengan sesama warga, ikut menebarkan ketulusan hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H