"Ritual" mudik ternyata juga mengenal perputaran dan regenerasi. Silahkan amati, ada yang tahun ini mengawali mulai menjalani mudik, ada yang beberapa tahun sedang menjalani dan disisi lain ada juga yang beberapa tahun tidak ada acara mudik lagi.Â
Entah kebetulan atau tidak, atau Tuhan yang atur, mudik tahun ini hanya terpaut beberapa hari setelah "ritual" coblosan Pemilu. Ritual yang nyaris membelah persaudaraan dan peseduluran.Â
Bagi yang sudah tidak menjadi pemudik lagi, tidak selalu bebas sepenuhnya dari urusan permudikan. Bahkan bisa lebih sibuk dan lebih repot dari yang sedang mudik. Seperti sibuk bersiap-siap menjadi tujuan mudik dari anak dan keluarganya atau menerima kunjungan sanak-saudara yang lebih muda. Bukankah mudik itu pulang kampung menuju tempat tetua bermukim?Â
Kesibukan menyambut pemudik, meski repot, tetapi dengan senang hati dijalani. Senang karena menerima kedatangan orang-orang tercinta adalah kebahagiaan yang luar biasa. Bahagia karena rasa kangen setelah sekian lama tidak ketemu akan terobati, apalagi melihat perkembangan dan pertumbuhan anak cucu. Semua itu sebuah kebahagiaan yang tiada tara.Â
Tenaga dan waktu yang dikeluarkan untuk menyiapkan segala rupa agar layak didatangi tidak akan terasa berat. Tertutup oleh harapan nikmatnya kangen-kangenan dan bercengkerama dengan keluarga.Â
Sebenarnya juga tidak terlalu repot karena dalam urusan mudik, rumah tidak harus "wah". Senyum ramah tuan rumah akan terasa lebih mewah. Untuk urusan istirahat bisa cukup dengan menggelar bantal-kasur di atas tikar sambil nonton TV.Â
Makanan pun tidak harus yang mahal-mahal. Dalam mudik, pertemuan, keguyuban dan ngobrol bersama jauh lebih penting dari urusan makan dan empuknya tempat tidur. Seringkali makanan tradisional dan makanan kala kecil malah lebih diburu.Â
Kehiruk-pikukan orang menjadi tempat tujuan mudik lebih fokus pada memastikan keselamatan kelancaran dan kenyamanan anak-cucu sanak saudara saat dalam perjalanan mudik.Â
Sebagai mantan pemudik akan tahu persis betapa tidak pastinya situasi jalan. Dia tahu persis risiko yang dihadapi  para pemudik apapun moda transportasi yang digunakannya. Berita maupun informasi yang berseliweran di media sosial sudah lebih dari cukup untuk membuat orang udik was-was.Â
Pemudik tahu persis bagaimana tidak berdayanya mereka ketika terperangkap dalam kepadatan kendaraan yang berjejalan di jalan. Terbayang, bagaimana ruwetnya kalau kondisi tubuh tidak fit, lalu urusan hajat besar maupun kecil dan belum lagi mengurus anak-anak, jika ada.Â
Kabar terjadinya kecelakaan beruntun di jalan tol Japek KM 58 beberapa hari sebelum lebaran adalah contoh tingginya risiko yang dihadapi pemudik. Sikap hati-hati pelalu-lintas harus disertai dengan perilaku ber-etika dan disiplin mentaati peraturan. Tanpa itu, sepertinya sebagus apapun jalan tol tidak banyak membantu.Â