Dulu, belasan tahun yang lalu, penulis pernah ditugasi mengikuti Aktor sekaligus Penyanyi, mendiang Krisbiantoro melakukan pengambilan gambar dalam rangka pembuatan film dokumenter tentang Persuteraan Alam. Tempatnya di Candiroto, Magelang dan di Regaloh, Pati, Jawa Tengah.Â
Pengambilan gambar tersebut melibatkan banyak orang, mulai dari supir, kamerawan, petugas generator listrik dan kabel serta banyak lagi yang lain. Prosesnya cukup panjang, mulai dari persiapan dan diakhiri dengan pengemasan properti.Â
Mengikuti kegiatan itu selama beberapa hari telah membuka mata, ternyata membuat film untuk bisa menjadi tontonan yang bagus, menarik dan enak dinikmati, tidak selalu mudah dan tidak juga selalu mulus. Ada saja gangguannya, dari sekedar salah ucap hingga salah sambung kabel sehingga berakibat pengambilan gambar harus diulang.Â
Berulang kali terdengar aba-aba "action" utk mengawali adegan dan diakhiri dengan aba-aba "cut" tanda menghentikan adegan. Untuk satu adegan bisa berkali-kali terdengar "action" dan "cut" sampai dianggap sempurna.Â
Hebatnya, setiap kali mengalami hambatan dan adegan harus diulang, Krisbiantoro beserta crew-nya tersenyum dan tertawa-tawa, tidak satupun keluar bunyi makian atau cacian dan menyalahkan yang lain. Mereka mentertawakan kekeliruan mereka sendiri. Rupanya dengan cara itulah suasana kerja tetap terjaga nyaman dan aman. Lalu semuanya pun bisa berlanjut, kerja dengan smooth.Â
Bayangkan seandainya ada terucap sepotong saja suara marah dan menyalahkan, dijamin kerja menjadi sangat melelahkan dan membosankan. Tidak ada orang yang betah dan nyaman bekerja dalam suasana seperti itu.Â
Entah itu memang kebiasaan di dunia kerja film atau itu pembawaan Krisbiantoro, penulis tidak tahu. Tetapi pelajaran penting yang bisa dipetik dari sana adalah suasana kerja yang nyaman itu penting dan itu antara lain kita sendiri masing-masing yang menciptakan.Â
Di muka bumi ini kayaknya tidak ada sesuatu yang bisa dikerjakan sendirian, selalu berjalan dan bekerja dengan melibatkan banyak orang. Oleh karena itu di manapun tempatnya akan selalu ada potensi untuk terjadi ketidakharmonisan hubungan satu orang dengan yang lain.Â
Konflik bisa terjadi di keluarga, suami, istri, dan anak, atau meluas lagi dengan Mertua, Om, Tante, dan Ipar. Demikianpun di tingkat RT, RW dan Kelurahan. Juga di lingkungan perkantoran. Â Apalagi di tingkat Kabupaten yang mengurus hampir semua hajat hidup warganya. Dari soal kelahiran, pernikahan, kematian, kriminal, infrastruktur, kesehatan, pangan, papan dan pendidikan.Â
Ditambah lagi dengan urusan Pendapatan Asli Daerah (PAD), Pajak dan Pendapatan lainnya. Jamaknya, semua itu akan membuat pusing tujuh keliling, kurang istirahat, kurang hiburan dan kurang tidur para pejabatnya. Apalagi seorang Wakil Bupati.Â
Dalam bahasa Jawa, Wakil biasa dimaknai sebagai awak dan sikil. Awak artinya badan dan sikil artinya kaki. Â Maka Wakil bisa dimaknai sebagai penggerak utama dalam mewujudkan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Kepalanya. Sebagai awak dan sikil, akan lebih capek dan lelah dibanding boss-nya.Â