Mohon tunggu...
Sarkoro Doso Budiatmoko
Sarkoro Doso Budiatmoko Mohon Tunggu... Dosen - Penikmat bacaan

Bersyukur selalu.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Calon Presiden Pemalu

6 September 2022   21:08 Diperbarui: 6 September 2022   21:13 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Rasa sesal yang amat sangat pernah dirasakan oleh seorang pemalu ketika pada akhirnya tidak bisa menyampaikan gagasan bagusnya di sebuah forum penting. Itu terjadi hanya karena gagasan yang serupa sudah disampaikan oleh seorang pemalu lain yang lebih dahulu berhasil mengatasi kendala rasa malu. 

Sebuah situasi yang cukup menyesakkan dada. Teman dekat atau Anda sendiri mungkin pernah mengalami hal yang sama. Tanpa disadari, perasaan malu memang sering menghalangi orang untuk maju. 

Negeri ini penuh dengan orang-orang pemalu, termasuk di dalamnya orang-orang yang ingin menjadi Presiden. Sudah muncul banyak nama yang disuarakan akan diusung atau mengusung diri sebagai Presiden RI pada Pemilu 2024 yang akan datang. Tetapi belum ada yang menyatakan secara terbuka keinginannya tersebut. Mereka masih malu-malu harimau, malu tapi mau banget. 

Banyak diantara nama-nama bakal calon itu sudah melakukan kunjungan kesana-kemari, muncul di acara ini dan itu, mengadakan aneka ragam perayaan. Dan yang lebih kentara lagi, memasang baliho dengan gambar wajahnya dimana-mana tersebar hingga pelosok. 

Tentu bukan baliho untuk sekedar pamer foto close-up wajah dirinya, tetapi foto untuk tujuan agar lebih dikenali oleh masyarakat. Dari foto itu ada yang tersenyum manis, senyum simpatik dan ada juga yang senyumnya "wagu". 

Ada lagi yang bergerak lebih jauh. Selain pasang baliho, juga memasuki tempat-tempat berkumpulnya komunitas tertentu, seperti sepeda onthel, jalan pagi, atau mendatangi tempat orang-orang bekerja seperti di pabrik-pabrik, pasar-pasar, atau ke kampus-kampus. Mereka melakukan apa saja yang bisa membuatnya lebih dikenal. 

Sepertinya mereka melakukan "test the water", menjajagi seberapa kuat dukungannya dan sepopuler apa namanya. Kalau nanti ternyata kuat dan kondang, dilanjutkan dengan persiapan lain sebelum akhirnya terang-terangan mencalonkan diri. Sebaliknya kalau sekiranya lemah dan kecil kemungkinan terpilih, mundur teratur tanpa berita menjadi pilihannya, dengan demikian tidak kehilangan rasa malu. 

Menjadi Presiden yang berkuasa di sebuah negara besar seperti Indonesia tentu menyenangkan. Wajar saja kalau banyak yang menginginkan meskipun malu-malu. Tetapi menjadi Presiden di negara yang super luas juga bukan pekerjaan ringan. 

Dia, selain harus mampu mengumpulkan suara terbanyak, juga wajib memiliki visi jauh ke depan melampaui angan-angan orang awam untuk memajukan negara. Dia juga wajib mempunyai kemampuan memimpin yang efektif, apalagi pada saat-saat genting. 

Angin yang berhembus sekarang ini sepertinya para pemilih cenderung menyukai calon-calon yang religius, bermoral dan berakhlak mulia. Ini dimaknai oleh para calon dengan sering memakai simbol-simbol religi. Simbolnya bisa mulai dari memakai sarung, kopyah, jilbab, baju koko, mendatangi ponpes dan pengajian-pengajian. 

Religiusitas diasosiasikan dengan gaya hidup lurus, jujur dan taat menjalankan tuntunan agama. Orang berharap calon-clon yang seperti itu tidak akan melakukan kebohongan, manipulasi dan tindak pidana korupsi. Sebuah penyakit yang dirindu penjahat tetapi dibenci masyarakat. 

Pemilik hak suara tentu kalau bisa dan kalau ada akan memilih sosok Pemimpin ideal, pemimpin idaman dan pujaan rakyat. Pemimpin yang adil, yang memahami kesulitan hidup warganya, yang mampu menguasai dan mengelola ekonomi negeri demi kesejahteraan dan kemakuran hampir 300 juta warganegara. 

Sayangnya semua pidato para calon menjelang Pemilu isinya bagus-bagus dan seringkali malah lebih menyerupai mimpi. Orasi berapi-api pun hanyut tertiup angin sepoi-sepoi ditelan mimpi. Ketika terpilih banyak yang berubah menjadi sekedar janji-janji setinggi langit tanpa ada wujudnya. 

Ada sebersit harapan, agar pidato atau janji kampanye tersebut bukan hanya sekedar janji kosong, kampanye dilakukan di dalam kampus. Kampus menjadi filter agar pidato tidak asal buka mulut. 

Berbeda dengan blusukan, berkampanye di depan civitas akademika sebuah kampus perlu persiapan matang. Paling tidak isi pidato yang disampaikan adalah sesuatu yang memiliki dasar dan bukan sesuatu yang di awang-awang. 

Masuk ke dunia kampus "besar" yang berisi orang-orang "besar" tentu memerlukan nyali yang juga "besar".  Sepanjang kampus tersebut masih berpegang teguh pada kemuliaan ilmu dan menjunjung tinggi nilai, norma dan tatakrama keilmuan, kampanye di dalam kampus adalah sebuah ide yang bagus. 

Kampanye di kampus sekaligus juga bermanfaat untuk menepis tatapan sinis sebagian masyarakat yang meragukan kemampuan calon pemimpin. 

Para calon pemimpin tentu paham bahwa dirinya memang sosok paling pantas dan paling baik untuk  memimpin bangsa dan Negara ini. Mereka haruslah ksatria, karena untuk kedudukan yang sangat penting bagi bangsa ini diperlukan seorang berjiwa ksatria. 

Ksatria yang mempu mengekspresikan dengan baik penguasaannya atas masalah bangsa yang aktual lengkap dengan solusinya. Negeri ini memerlukan pemimpin yang brilian, amanah. dan mencintai rakyat secara tulus. 

Calon pemimpin yang pemalu lebih baik minggir, apalagi calon pemimpin yang tidak tahu malu. Mereka lebih baik mundur sebelum nantinya menjadi pemimpin yang bikin malu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun