Beberapa hari belakangan ini jalan-jalan sudah kembali ramai anak sekolah dan mahasiswa seiring dimulainya tahun ajaran baru dan kelas tatap muka. Aktifitas sekolah dan kampus nyaris sudah kembali ke situasi sebagaimana dulu sebelum pandemi. Demikian juga pertokoan, pasar, mall dan supermarket.Â
Pemandangan lalu lintas pagi yang padat merayap dan macet pun kembali hadir. Segala macam kendaraan tumpah ruah di jalan, dari bis sekolah, bis kota, mobil, angkot, o-jol, sepeda motor, sepeda onthel, anak-anak jalan kaki hingga ibu-ibu mengantar anaknya. Semua hilir-mudik, kesana-kemari ke segala penjuru dalam rangka menuntut ilmu, mencari nafkah dan menjahit masa depan yang lebih cerah.Â
Begitulah, pemandangan yang sebenarnya sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu. Meskipun tentu ada bedanya. Dulu, jumlah penduduk masih belum sebanyak sekarang, lahan hijau masih luas, pepohonan masih banyak, sawah masih membentang, jalan lancar walau masih sempit, sungai masih mengalir deras dan bersih, kendaraan masih belum banyak dan udara masih belum banyak dikotori polutan. Â Â
Dunia berputar dan jaman terus berjalan, yang lama menjadi usang yang baru berkembang dan yang akan datang dijelang. Kini semuanya sudah jauh berbeda. Hijaunya pohon dan sawah diganti banyak tumbuh gedung-gedung megah, pertokoan dan mall, perumahan, jalan-jalan baru maupun pelebaran jalan yang lama dan bandar udara baru. Perubahan sangat terasa di pulau Jawa. yang pertambahan penduduk dan kebutuhan infrastruktur meningkat begitu pesat.Â
Kita hidup di bumi yang satu. Bumi yang tidak pernah bertambah menjadi lebih besar dan meluas, atau mengecil dan menyempit. Maka, menambah sesuatu berarti mengurangi yang lain. Puluhan atau ratusan kilometer jalan tol, umpamanya, harus dibangun di atas lahan yang semula perumahan, sawah, kebun atau hutan.Â
Demikian pun bandar udara, komplek perumahan dan real estate, banyak diantaranya berdiri di atas lahan yang semula kebun, sawah atau hutan. Contoh lebih nyata sekarang ini ada di pembangunan IKN.Â
Namun banyak pihak melihat beralihnya fungsi lahan hijau untuk keperluan lain adalah konsekwensi lumrah dari perkembangan, kemajuan jaman dan pertambahan penduduk. Apalagi persepsinya, apapun bentuk sumberdaya alam yang ada, baik hutan, kebun, tambang dan mineral, semua itu memang untuk dimanfaatkan dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia sekarang. Seolah sumberdaya alam itu adalah harta cadangan yang tidak akan pernah habis. Benarkah demikian? Coba lihat Jepang dan Pakistan.Â
Jepang negara kaya tetapi memiliki hutan seluas 67% dari luas daratannya. Negara ini mampu bangkit dari kekalahan perang dunia II, lalu membangun dan mensejahterakan rakyatnya tanpa "merusak" hutan. Kekayaannya diraih tanpa memperlakukan hutan sebagai sumberdaya utama ekonomi negeri.Â
Pada tahun 2010, Kepala Pusat Inovasi LIPI saat itu (lipi.go.id), Bambang Subiyanto, menyatakan bahwa Jepang lebih banyak mengimpor kayu untuk kebutuhan dalam negeri demi menjaga kelestarian lingkungan dan hutan mereka. Negeri Sakura itu lebih mendayagunakan sumber daya hutan untuk perlindungan tata air dan konservasi tanah.Â
Disisi lain, lihatlah Pakistan. Hamid Mir, seorang columnist dari Islamabad menulis di washingtonpost.com 14 Juli 2022, bertajuk Climate Change is a Bigger Threat to Pakistan than Terrorism. Â Terjemahan bebasnya kira-kira: Perubahan Iklim itu Lebih Kejam dari Terorisme. Mir menulis bahwa di tahun 2022 saja banjir di Pakistan telah menewaskan 150 orang termasuk wanita dan anak-anak.Â
Ditulisnya bahwa di negerinya, pemanasan global berandil besar pada terjadinya cuaca akstrim. Cuaca ekstrim ini berbuah banjir di suatu daerah dan mengakibatkan kekeringan di daerah lainnya. Beberapa daerah diperkirakan akan tenggelam lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya.Â
Sayangnya, hanya sedikit orang yang memberi perhatian dan bencana yang selama ini terjadi malah sudah menjadi fenomena biasa. Padahal efeknya lebih buruk, lebih menakutkan dan lebih mematikan dibanding ancaman terorisme.Â
Ditambahkan Mir dalam kolomnya, penggundulan hutan menjadi kontributor yang signifikan bagi pemanasan ekstrim. Ketika merdeka di tahun 1947, pakistan memiliki hutan seluas 33% dari luas daratannya, dan sekarang, setelah 75 tahun, tersisa hanya lima persen.Â
Meskipun sekilas, dua ilustrasi di atas (Jepang dan Pakistan) bisa memberi perspektif lain tentang bagaimana sebuah negara memperlakukan sumberdayanya. Tentu saja banyak contoh lain yang bisa dijadikan pelajaran berharga. Negeri Qatar yang kaya raya misalnya, bisa juga menjadi bahan kajian. Negeri padang pasir kaya minyak ini menurut wikipedia sama sekali tidak memiliki hutan.Â
Kesan kuat yang sering terasa adalah ketika bencana bertubi datang, hutan menjadi obyek paling empuk untuk dikambing-hitamkan. Tetapi pada saat normal, Â dengan seenak hati mengobok-obok fungsi hutan untuk berbagai keperluan, seakan-akan tidak ada alternatif lain yang lebih baik dan lebih aman.Â
Sekarang ini apa yang Anda pikirkan saat ribuan bahkan jutaan wajah ceria, tanpa dosa, penuh harapan dan tawa canda anak-anak lewat di depan mata setiap pagi dan sore? Anak-anak yang juga adalah generasi penerus dan pengelola negara tercinta di masa datang?Â
Bukankah mereka semua perlu makan, minum, buku, sandang, papan dan hiburan? Suatu hari nanti ketika dewasa harus mencari nafkah. Kemudian, ketika beranjak matang, mereka berkeluarga, beranak pinak dan membutuhkan tempat tinggal.Â
Pertanyaannya, seberapa besarkah ketersediaan kebutuhan yang azazi itu akan tersisa nanti? Seberapa lega nanti mereka dalam bernafas? Bagi yang tua tentu tidak mau mewariskan kepada generasi mendatang hidup sengsara dan penuh derita.Â
Beruntung, kontrol sosial berupa kepedulian masyarakat terhadap kelestarian sumberdaya di negeri kita ini cukup besar. Seperti bisa dilihat dari reaksi masyarakat terhadap ketetapan kementrian KLHK dengan SK Menteri LHK Nomor 287, 5 April 2022. SK itu menyatakan 1,1 juta hektar hutan yang tersebar di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Banten beralih status menjadi Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK).Â
Ketetapan ini mengundang keresahan sebagian masyarakat sebagaimana banyak diberitakan oleh media massa. Keputusan itu mereka yakini bakal mengakibatkan deforestasi dan memicu konflik sosial Apabila keyakinan ini benar, inilah awal bencana. Hutan seluas 1,1 juta hektar bukan luas yang sedikit, lebih luas dari negeri Singapura.Â
Apapun sumberdaya unggulan dan seberapapun besarnya kekayaan yang dimiliki sebuah negara, bila salah kelola, salah kebijakan dan salah mengambil keputusan bisa mengundang bencana berkepanjangan.Â
Salah satu cara menghindari bencana dengan menyingkirkan sifat angkara murka, yaitu serakah, mau menang sendiri, tidak mau mendengar dan tidak peduli. Karena kita tidak hidup sendirian di bumi ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H