Di kota-kota di Indonesia, apalagi di kota besar, hampir bisa dipastikan sudah sangat jarang, atau bahkan tidak pernah ditemui lagi delman.
Delman, sebuah kendaraan beroda dua atau lebih yang ditarik oleh kuda. Dulu kendaraan ini mejadi andalan masyarakat untuk alat transportasi barang maupun manusia.Â
Delman dikemudikan, lebih tepatnya dikendalkan, oleh orang yang biasanya disebut "Kusir".
Kusir mengendalikan jalannya delman melalui dua utas tali yang terhubung dengan ujung-ujung besi yang dimasukkan ke mulut kuda. Tidak heran, muncul istilah zaman "kuda gigit besi". Sebuah kiasan untuk menggambarkan keadaan awal abad 20. Saat jalan-jalan sepi dan hanya dilewati oleh kereta yang ditarik kuda.Â
Agar si kuda penarik delman sepenuhnya dalam kendali kusir, tidak tengok kanan, tengok kiri dan selalu melihat ke depan, mata kuda diberi semacam kacamata. Kacamata yang mengurangi ruang dan daya pandangnya. Lalu muncul kiasan "kacamata kuda", menggambarkan orang yang selalu melihat lurus ke depan, atau orang yang kurang peduli dengan sekelilingnya.Â
Rodanya berbentuk bundar dengan ukuran bervariasi dari yang berdiameter besar, sedang hingga kecil. Rangkanya terbuat dari kayu dengan bantalan besi atau karet ban bekas sehingga saat roda berputar tidak menimbulkan getaran yang terlalu keras. Dari perputaran roda delman inilah muncul petuah bahwa hidup ini layaknya roda yang berputar, sesekali di atas, lain waktu di bawah.Â
Si kuda pun biasanya dibuat berpenampilan menarik, memakai jambul dan selempang berwarna-warni. Kakinya pun diberi sepatu besi dan disebut tapal kuda. Kalau berjalan menimbulkan suara yang khas, persis seperti digambarkan oleh lagu kanak-kanak berjudul Naik Delman, "tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk..., suara sepatu kuda..."
Delman dengan gambaran seperti di atas telah menjadi sumber banyak inspirasi penulisan kata-kiasan, petuah dan lagu. Sayangnya, delman sepertinya segera akan menjadi sejarah dan masuk museum.Â
Serupa dengan delman, gerobag yang ditarik sapi atau sering disebut pedati, sepertinya akan bernasib sama. Masuk museum.
Pedati sebetulnya lebih menarik untuk ditonton karena rancang bangunnya sangat bervariasi tergantung daerah asalnya. Tetapi saat ini juga sudah sangat jarang dipakai orang untuk mengangkut barang.Â
Delman dan pedati ditinggal orang semata-mata karena tuntutan zaman. Perkembangan ilmu, teknologi, ekonomi, dan sosial menggiring orang beralih ke alat transportasi yang lebih cepat, nyaman, kuat, mudah dan relatif murah. Alat transportasi itu dikenal sebagai mobil.
Lalu, masuklah mobil-mobil buatan Jepang, Amerika dan Eropa menggantikan delman dan pedati. Bahkan kini ditambah mobil-mobil dari Korea, China, dan Malaysia ikut masuk dan banyak dipakai orang Indonesia. Dan sayangnya, sekian lamanya delman dan pedati minggir, tidak diikuti menggantinya dengan "delman atau pedati" bermesin.
Masyarakat Indonesia yang terkenal kreatif dan inovatif sudah sekian lama belum juga berhasil memiliki mobil nasional tangguh dan berdaya saing tinggi. Padahal referensi yang berisi cerita tentang upaya untuk memproduksi mobil dalam negeri bukannya tidak ada. Beberapa pustaka dunia maya menyebut upaya mempunyai mobil nasional (mobnas) sudah ada sejak tahun 60an.Â
Orang awam pasti susah memahami. Salahnya dimana dan kesulitannya apa, sudah sekian puluh tahun mampu merakit mobil dan kemudian membuat mobil bermerk luar negeri, tapi tidak kunjung mampu memiliki mobil sendiri. Sedangkan dalam kenyataannya telah mampu membuat pesawat terbang, meskipun belum bisa memasarkannya secara massal.Â
Mungkin saja ada yang berpikiran, apa perlunya memproduksi mobil sendiri, sedangkan memproduksi dan bahkan mengekspor mobil meskipun dengan "brand" luar negeri sudah mampu. Apalagi membeli mobil pun bagi masyarakat Indonesia sekarang bukan hal yang mewah dan mungkin malah lebih murah daripada memproduksi mobil sendiri.
Pendapat seperti itu mungkin saja ada benarnya, tetapi kemampuan memproduksi dan memiliki mobil sendiri bisa menjadi bukti bahwa kita adalah bangsa yang mampu berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) dan bangsa yang menguasai teknologi. Pasti ada kebanggaan tersendiri untuk tidak melulu menjadi pengguna teknologi apalagi korban teknologi walaupun mampu membeli.Â
Bisa jadi karena banyak orang yang tidak sabar menunggu mimpi menjadi nyata, maka terciptalah kendaraan yang populer disebut "Odong-odong" bermotor dan "Bentor" atau becak bermotor. Dua kendaraan hasil kreativitas masyarakat yang sudah lama "mengaspal" di jalanan meskipun kelayakannya masih dipertanyakan.Â
Siapa tahu suatu saat nanti berkembang menjadi kendaraan "Odong-odong Nasional" dan "Bentor Nasional". Karena memang kita tidak pernah tahu dengan pasti apa yang akan terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H