Dalam percakapan sehari-hari sering terdengar omongan "waras". Kata yang pada umumnya dipahami sebagai penggambaran untuk orang yang tidak hanya sehat jasmani tetapi juga sehat rohani. Kalau orang memiliki jasmani yang sehat tetapi rokhani tidak sehat, sering disebut tidak waras.Â
Tentu saja ini omongan di luar pengertian dunia medis. Kalau persoalan medis, hanya dokter yang berwenang menyatakan seseorang itu sehat atau sakit.Â
Banyak istilah lain yang bermakna tidak waras, seperti gila, gendeng, edan, gelo, gemblung, sakit jiwa dan seterusnya. Masing-masing istilah meski kurang lebih sama maknanya, tetapi memiliki banyak tafsir sesuai konteks kalimatnya. Â Â
Contohnya, komentar kawan ketika melihat orang tidak waras lewat: "enak betul orang gila itu, hidupnya bebas merdeka, semerdeka-merdekanya". Saat itu si tidak waras berjalan di tengah kota dengan bebasnya, tanpa rasa sungkan, khawatir, takut dan malu terhadap keadaan tubuhnya yang tidak tertutup kain sehelai pun. Gila seperti ini cocok kalau masuk kategori tidak waras level parah.Â
Ada lagi istilah gila bola, gila kerja, gila harta dan gila-gila lainnya yang memiliki makna, menyukai sesuatu secara berlebihan. Â Bagi penggila bola, dia akan rela nonton bola semalaman hingga pagi, sementara yang lain memilih tidur pulas. Atau menonton tim sepakbola favoritnya di manapun bertanding. "Bonek", "viking", "jak-mania", "bobotoh" adalah contoh penggila bola.Â
Bagi penggila kerja, bekerja adalah dunianya. Kapanpun, dimanapun dan dalam acara apapun, bekerja selalu ada di kepalanya. Digunakannya waktu sibuknya maupun waktu luangnya untuk kerja-kerja dan kerja, siang malam, karena memang itulah dunianya.Â
Bagaimana dengan gila harta? Ia itu orang yang sangat mencintai harta. Begitu cintanya, sampai-sampai segala sesuatu diukur dengan harta. Cintanya pada harta berlebihan, artinya, melebihi kepantasan, kewajaran, bahkan sampai lupa diri, lupa daratan.Â
Sisi baiknya, seorang penggila harta akan bekerja dan berusaha keras demi mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Hartanya bisa digunakan untuk dirinya sendiri, keluarga atau mensejahterakan masyarakat lingkungan dekatnya. Memang tidak jelek  menjadi gila harta asalkan jalan yang ditempuh tidak menyalahi norma, etika dan tidak melanggar hukum.Â
Sisi jeleknya, apabila dia menempuh jalan salah dan merugikan pihak lain dalam mencari dan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya itu. Misalnya, mengambil harta bukan haknya, menipu, suap menyuap, merampok, membegal, menjambret, bahkan membunuh. Lebih ngeri lagi ada orang yang mencari harta dengan berpura-pura tertabrak mobil lalu memeras. Kelakuan buruk seperti ini tentu mengundang masalah.Â
Apalagi kalau mencari harta dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian Negara. Menurut UU No. 31 th 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, perilaku seperti itu masuk kategori tindak pidana korupsi dan bisa dipidana penjara.Â
Walau begitu, sepertinya tindak pidana korupsi ini bagi sebagian orang dianggap sebagai sebuah "usaha" yang menggiurkan. Buktinya, meskipun banyak yang sudah ditangkap dan dihukum, pelakunya terus saja ada dengan jumlah uang yang dikorupsi semakin hari pun semakin gila. Begitu gilanya hingga banyak orang tidak mampu membayangkan dan tidak habis pikir, uang hasil mencuri sebesar itu digunakan untuk apa.Â
Padahal, di sisi lain, korupsi mengakibatkan banyak orang tidak berdosa dirugilan. Ribuan pensiunan tidak menerima uang pensiunannya selama beberapa bulan akibat lembaga keuangan penjaminnya terseret kasus korupsi.Â
Bayangkan lagi, masih banyak orang yang hidupnya masih sangat mengandalkan gaji bulanan, upah harian atau laba harian dari usahanya yang seadanya atau kerjanya yang serabutan. Uang yang diperoleh hari ini untuk makan hari ini.Â
Maka, dilihat dari sudut pandang kewarasan, perbuatan korupsi berapapun jumlahnya, pantas masuk level tidak waras level "super duper" parah.Â
Melihat keparahan ini, rasanya seperti ada sesuatu yang penting yang hilang dari masyarakat. Hilang rasa malu, hilang rasa peduli terhadap nama baik, hilang pentingnya harga diri, menipisnya kesopanan dan kesantunan serta tumpulnya rasa perikemanusiaan. Semua seperti sudah tenggelam oleh nafsu menumpuk harta.Â
Inikah hasil dari pengaruh gaya hidup hedonis dan pola hidup konsumtif? Ternyata, tanpa dinyana, pelan tapi pasti dan tidak terlalu disadari, banyak tontonan dan iklan yang memamerkan gaya hidup hedonis dan pola hidup konsumtif yang telah merasuki kalbu sebagian besar masyarakat. Tontonan yang disajikan dengan sangat menarik, menghibur dan merayu-rayu telah banyak ditiru dan kini menjadi gaya hidup baru.Â
Pengaruhnya kini dengan telak mengalahkan ajaran, tuntunan dan kearifan lokal untuk hidup lurus, hidup sederhana dan hidup bermanfaat bagi sesama. Sekarang banyak orang lebih suka memanfaatkan yang lain, mengeluarkan sedikit usaha untuk mendapat tambahan segunung kekayaan. Orang ingin serba instan, kurang menghargai arti sebuah proses. Banyak yang lupa ajaran bahwa hidup dan perilaku selama di dunia ini akan dituntut tanggungjawab sekarang dan pada saatnya "nanti".Â
Untungnya, entah seberapa besar kekuatannya, masih ada berita dan cerita positif yang bisa mengumandangkan pesan penting:" masih ada orang punya hati dan banyak orang baik disekeliling kita". Pesan-pesan positif yang mampu membalikkan arah. Seperti diangkat oleh portal RM.id pada tanggal 29 Januari 2022 tentang pencuri handphone (hp) di Garut dan Pangkal Pinang yang dibebaskan jaksa. Bahkan anak si pencuri kemudian diberi hp untuk keperluan belajar secara "daring".Â
Masyarakat Jawa memiliki "wayang kulit", karya leluhur yang penuh kisah keteladanan hidup seperti membela kebenaran, keadilan dan kejujuran. Wayang kulit juga banyak bercerita tentang nilai kesusilaan, filsafat, psikologi, kepahlawanan dan aneka rupa masalah kehidupan manusia. Sumber ajaran moral yang ampuh untuk membangun kehidupan penuh nilai, moral dan etika. Â Â
Sayangnya semakin hari peminat wayang kulit semakin berkurang. Anak-anak jaman sekarang juga lebih mengenal tokoh-tokoh imajiner seperti Batman, Superman, Ipin, Upin dan bahkan Peterpan. Demikianpun yang tua, lebih mengenal bintang India, Barat atau K'Pop dibanding tokoh-tokoh nasional bangsa sendiri.Â
Bisa jadi suatu saat nanti mengidolakan tokoh pewayangan, tokoh nasional maupun tokoh agama menjadi tidak populer dan diberi cap "gendeng", "edan" atau kata-kata lain senada semakna. Cap seperti ini bisa menjadi tanda terjadinya ukuran kewajaran, kepantasan atau kelumrahan dalam kehidupan masyarakat. Kalau ukuran kenormalan adalah berdasar banyaknya jumlah penyuka, saat itulah telah terjadi peregseran nilai, norma dan etika. Karena tidak selamanya sesuatu yang diikuti banyak orang selalu bagus, dan sebaliknya yang sedikit pengikut selalu jelek dan lalu dianggap "gila".Â
Sekarang inipun sudah muncul pertanda orang yang kehabisan akal bagaimana caranya mempertahanlan kewarasannya seperti tercermin dalam ungkapan: "sing waras ngalah". Ungkapan yang berarti: "yang sehat agar mengalah". Sebuah perlambang ketidakberdayaan melawan ketidakwarasan.Â
Mirisnya, jika nanti batas antara waras dan tidak waras menjadi sangat tipis dan tidak jelas. Saat itulah orang waras harus bisa membuktikan dirinya benar-benar orang yang "waras". Sekarang saatnya untuk selalu menjaga diri dan lingkungan dekat agar tetap waras. Karena kewarasan harus menang dan memimpin di depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H