Mohon tunggu...
Sarkoro Doso Budiatmoko
Sarkoro Doso Budiatmoko Mohon Tunggu... Dosen - Penikmat bacaan

Bersyukur selalu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Yang Waras Jangan Kalah

8 Maret 2022   15:07 Diperbarui: 8 Maret 2022   17:12 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Padahal, di sisi lain, korupsi mengakibatkan banyak orang tidak berdosa dirugilan. Ribuan pensiunan tidak menerima uang pensiunannya selama beberapa bulan akibat lembaga keuangan penjaminnya terseret kasus korupsi. 

Bayangkan lagi, masih banyak orang yang hidupnya masih sangat mengandalkan gaji bulanan, upah harian atau laba harian dari usahanya yang seadanya atau kerjanya yang serabutan. Uang yang diperoleh hari ini untuk makan hari ini. 

Maka, dilihat dari sudut pandang kewarasan, perbuatan korupsi berapapun jumlahnya, pantas masuk level tidak waras level "super duper" parah. 

Melihat keparahan ini, rasanya seperti ada sesuatu yang penting yang hilang dari masyarakat. Hilang rasa malu, hilang rasa peduli terhadap nama baik, hilang pentingnya harga diri, menipisnya kesopanan dan kesantunan serta tumpulnya rasa perikemanusiaan. Semua seperti sudah tenggelam oleh nafsu menumpuk harta. 

Inikah hasil dari pengaruh gaya hidup hedonis dan pola hidup konsumtif? Ternyata, tanpa dinyana, pelan tapi pasti dan tidak terlalu disadari, banyak tontonan dan iklan yang memamerkan gaya hidup hedonis dan pola hidup konsumtif yang telah merasuki kalbu sebagian besar masyarakat. Tontonan yang disajikan dengan sangat menarik, menghibur dan merayu-rayu telah banyak ditiru dan kini menjadi gaya hidup baru. 

Pengaruhnya kini dengan telak mengalahkan ajaran, tuntunan dan kearifan lokal untuk hidup lurus, hidup sederhana dan hidup bermanfaat bagi sesama. Sekarang banyak orang lebih suka memanfaatkan yang lain, mengeluarkan sedikit usaha untuk mendapat tambahan segunung kekayaan. Orang ingin serba instan, kurang menghargai arti sebuah proses. Banyak yang lupa ajaran bahwa hidup dan perilaku selama di dunia ini akan dituntut tanggungjawab sekarang dan pada saatnya "nanti". 

Untungnya, entah seberapa besar kekuatannya, masih ada berita dan cerita positif yang bisa mengumandangkan pesan penting:" masih ada orang punya hati dan banyak orang baik disekeliling kita". Pesan-pesan positif yang mampu membalikkan arah. Seperti diangkat oleh portal RM.id pada tanggal 29 Januari 2022 tentang pencuri handphone (hp) di Garut dan Pangkal Pinang yang dibebaskan jaksa. Bahkan anak si pencuri kemudian diberi hp untuk keperluan belajar secara "daring". 

Masyarakat Jawa memiliki "wayang kulit", karya leluhur yang penuh kisah keteladanan hidup seperti membela kebenaran, keadilan dan kejujuran. Wayang kulit juga banyak bercerita tentang nilai kesusilaan, filsafat, psikologi, kepahlawanan dan aneka rupa masalah kehidupan manusia. Sumber ajaran moral yang ampuh untuk membangun kehidupan penuh nilai, moral dan etika.   

Sayangnya semakin hari peminat wayang kulit semakin berkurang. Anak-anak jaman sekarang juga lebih mengenal tokoh-tokoh imajiner seperti Batman, Superman, Ipin, Upin dan bahkan Peterpan. Demikianpun yang tua, lebih mengenal bintang India, Barat atau K'Pop dibanding tokoh-tokoh nasional bangsa sendiri. 

Bisa jadi suatu saat nanti mengidolakan tokoh pewayangan, tokoh nasional maupun tokoh agama menjadi tidak populer dan diberi cap "gendeng", "edan" atau kata-kata lain senada semakna. Cap seperti ini bisa menjadi tanda terjadinya ukuran kewajaran, kepantasan atau kelumrahan dalam kehidupan masyarakat. Kalau ukuran kenormalan adalah berdasar banyaknya jumlah penyuka, saat itulah telah terjadi peregseran nilai, norma dan etika. Karena tidak selamanya sesuatu yang diikuti banyak orang selalu bagus, dan sebaliknya yang sedikit pengikut selalu jelek dan lalu dianggap "gila". 

Sekarang inipun sudah muncul pertanda orang yang kehabisan akal bagaimana caranya mempertahanlan kewarasannya seperti tercermin dalam ungkapan: "sing waras ngalah". Ungkapan yang berarti: "yang sehat agar mengalah". Sebuah perlambang ketidakberdayaan melawan ketidakwarasan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun