Mohon tunggu...
Sarkoro Doso Budiatmoko
Sarkoro Doso Budiatmoko Mohon Tunggu... Dosen - Penikmat bacaan

Bersyukur selalu.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jegigisan, "Hangout" ala Ngapak

29 November 2021   16:05 Diperbarui: 29 November 2021   16:20 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak orang muda dari wilayah Banyumas sebagaimana juga orang muda dari daerah lain, memiliki impian untuk bisa sekolah, kuliah dan bekerja di rantau atau kota besar. 

Tujuannya, suatu hari nanti pulang kampung sebagai orang sukses. Meskipun sebenarnya di wilayahnya sendiri sudah banyak berdiri sekolah, perguruan tinggi negeri maupan swasta yang bagus, dan kesempatan kerja yang juga bagus. Tetapi impian seperti itu tetap ada. 

Kota besar itu memang seperti magnet. Memiliki daya tarik tinggi bagi pendatang dari berbagai pelosok negeri. Di sana tersedia banyak pilihan sekolah, tempat kuliah, lowongan pekerjaan dan tawaran gaji yang menarik, meskipun biaya hidupnya juga tinggi. 

Lepas dari apakah akhirnya mereka sukses atau tidak, tetapi uniknya, orang dari wilayah Banyumasan (Cilacap, Purbalingga, Purwokerto dan Banjarnegara) yang tinggal di kota-kota besar ataupun di kota manapun seperti tidak pernah lupa kacang akan kulitnya. Banyak dari mereka menjaga, memakai dan memelihara budaya asal, terutama dalam berbahasa Banyumasan. 

Di rantau, antar mereka juga akrab, guyub dan rukun. Pesedulurannya malah terasa lebih kental. Bisa terjadi, orang yang semula tidak saling sapa di kampung, di tempat jauh berbalik menjadi saudara dekat. Himpunan atau kumpulan warga Banyumasan di kota-kota manapun dengan gampang bisa ditemui. 

Kesempatan untuk bisa berkumpul sedulur di rantau bisa dimanfaatkan untuk mempererat peseduluran dan kangen-kangenan ngobrol memakai Banyumasan. Sesuatu yang sering dirindukan karena bicara banyumasan dengan "orang lain" seringkali bukan hal mudah. Berbeda dengan bahasa 'Jawa Wetanan", tidak sebanyak itu orang mengerti kekhasan Banyumasan. 

Dialek Banyumasan terasa beda karena "telak menghentak" (tidak mendayu-dayu) dan didominasi vokal "a" serta pengucapan huruf "k" pada akhir sebuah kata secara lugas. Oleh karena itu bahasa Banyumasan dikenal juga sebagai "Ngapak". Kalau Anda bisa mengucapkan kalimat ini: "ora ngapak ora kepenak" dengan "baik dan benar", Anda boleh mengaku ahli dan lulus "TOEFL" Ngapak.

Bukan hanya "a" dan "k" saja yang membedakan dengan bahasa daerah lain. Ngapak memiliki banyak kekhasan yang belum tentu bisa dipahami dengan baik oleh orang luar Banyumasan. Kekhasan itu menyangkut kosa kata dan pengucapannya. 

Misalnya, apabila Anda mendengar beberapa kata ini, dapat dipastikan itu berasal dari bahasa Ngapak. Pertama "inyong" berarti aku dan "rika" berarti kamu. Kemudian: kencot (lapar), kepriben (bagaimana), batir (teman), toli ('kan), mbok ('kan/kalau-kalau),  maning (lagi, tambah) dan tentu saja banyak lagi lagi kosa kata lainnya. 

Mengerti makna dan menguasai kata-kata khas tersebut di atas pun belumlah cukup untuk bisa ngobrol Ngapak. Berkomunikasi adalah interaksi dua pihak. Bukan hanya soal menyuarakan kehendak hati dan pikiran lewat kata-kata yang keluar dari bibir saja. 

Berkomunikasi juga melibatkan nada, gerak bola mata, tangan, kepala bibir, hidung dan kalau perlu anggota badan lainnya. Termasuk ungkapan "kasar/slank", sesuatu yang khas dan tidak tergantikan. 

Dalam hal nada, misalnya, ada nada tanya, nada setuju, nada penolakan, nada senang, nada benci. Nada-nada yang sudah sangat familiar di telinga, sehingga tanpa tanya ini-itu otomatis dipahami maksudnya. Apalagi, mengangguk juga tidak selalu berarti setuju, tergantung nada dan bahasa tubuh lainnya. 

Dari bahasa, nada dan bahasa tubuhnya itulah orang Banyumasan sering dikategorikan berkarakter cablaka, blakasuta, egaliter, apa adanya dan kurang bisa basa-basi.  Orang Banyumasan biasa mengedepankan keterusterangan atau kejujuran, baik dalam berbicara maupun bertindak.   

Mungkin karena itu jugalah tidak ada senjata tajam yang menjadi ciri orang Banyumas. Kalau boleh disebut sebagai benda tajam yang khas Banyumas, namanya "kudi". Kudi, sebuah alat bantu untuk memotong atau membelah benda keras. Bentuknya sangat khas dan bisa dilihat dalam dunia pewayangan. Tokoh Bawor digambarkan selalu membawa kudi ke manapun dia pergi. 

Kudi bukanlah alat untuk menyelesaikan masalah. Orang Banyumas kalaupun ada masalah, memilih menyelesaikannya dengan "jegigisan". 

Jegigisan adalah istilah Banyumasan yang maknanya ngobrol dalam suasana bebas dan santai. Jegigisan membuat orang bisa lebih komunikatif karena masing-masing bisa mengekspresikan isi hati hampir tanpa hambatan. 

Jegigisan, ketawa-ketiwi bersama sambil makan mendoan dan medang kopi panas. Itu adalah suasana yang sangat disukai dan dirindukan orang. 

Dengan jegigisan orang bisa menyelesaikan banyak masalah. Dari masalah cinta, rumah tangga, belajar bersama, mengerjakan PR, konsultasi skripsi hingga soal politik dan masalah kebangsaan.   

Jangan bayangkan jegigisan hanya dilakukan di pos kamling, angkringan, warteg dan warung kopi pinggir jalan. Jegigisan juga bisa dilakukan di caf dan restoran hotel berbintang. Bisa jadi orang-orang Banyumasan yang sudah sukses jegigisan di sana. Jegigisan, hangout ala Ngapak. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun